Sepuluh

70 24 55
                                    

“Hari ini kita tidak akan membahas materi, karena saya anggap kalian sudah mengerti. Kali ini saya membawa satu artikel yang sedang ramai di sosial media.”

Dosen Sastraningrat, dosen kesayangan anak-anak jurusan jurnalistik karena materi yang diterangkan beliau cukup jelas, tugasnya sedikit, dan memiliki pemikiran khas millenial. Aku sendiri bisa bernapas lega sekaligus beristirahat di jam Pak Sastraningrat, tanganku tak harus menulis karena memang tak ada yang harus di catat di jam pelajarannya. Aku mendengarkan cerita sosok yang hobi mengenakan pakaian batik merah ini.
Pak Sastraningrat mengangkat kertas yang kuasumsikan sebagai artikel.

“Kalian tahu, apa judul artikel kontroversial ini?” Tak ada yang menjawab.

Pak Sastraningrat membacakan judul artikel itu, dan seketika bulu kuduk di tangan serta kakiku merinding.

TUKANG JAGAL PENCURI ORGAN DALAM MANUSIA BERKEDOK DOKTER PROFESIONAL, INI SISI GELAP FRANS MOREAU

Sialan! Sungguh sialan!

Aku tak berhenti mengumpat dalam hati, tubuhku menegang seketika. Sementara anak-anak jurnalistik lain sudah saling berbincang, terkejut dengan judul itu.

Tentu saja.

Frans Moreau.

Seorang dokter bedah profesional lulusan universitas asal Perancis dengan gelar cumlaude. Kemudian pindah ke Indonesia dan memilih menetap setelah menikahi seorang perempuan Indonesia. Ya, meskipun sekarang istrinya itu sudah tidak ada...

Prestasi Dokter Frans sudah mendunia. Dokter relawan yang membantu korban peperangan Israel-Palestina dan orang pertama yang mendirikan klinik kesehatan di pedalaman pulau timur. Seorang jenius yang kepandaiannya sudah mendunia. Klinik kecilnya ada dimana-mana.

Dan ternyata? Dia seorang tukang jagal.

Berita yang kutulis memenuhi tren twitter, berdesakan dengan tagar-tagar yang lain. Dibicarakan di semua forum. Dan sekarang pihak kampus serta Dokter Frans sendiri sibuk membersihkan nama baik sambil terus keukeuh memburu sang penulis. Sang juruwarta. Mereka tidak akan pernah tahu, sang penulis adalah mahasiswa mereka sendiri.

Dari sekian banyak pihak kampus yang menganggap kasus Dokter Frans adalah tabu, hanya Pak Sastraningrat yang blak-blak’an tentang kasus ini. Beliau adalah sosok yang mengingatkan pada jurnalis-jurnalis tua di era penjajahan. Berani. Sayap kiri. Tajam. Frontal. Vulgar.

“Akhirnya, satu rahasia kekayaan Dokter Frans mencuat ke permukaan. Rasanya memang tidak mungkin hanya dengan mendapat prestasi seperti begitu saja, bisa membuka klinik kecil di seluruh Indonesia. Biaya dari mana? Tidak mungkin kalau hanya dari orang berobat. Kalau tidak ilmu hitam, ya bisnis hitam. Dan sekarang opini itu benar.”

Lihatlah, lisan seorang Sastraningrat yang tak ragu melontarkan opini tajam terhadap si tukang jagal.

“Saya salut dengan penulis berita ini. Berani. Menerapkan prinsip jurnalistik yang dibangun Bapak Tirto, berita itu dicari bukan ditunggu. Penulis ini berani menulis berita yang dia cari, berani mengkritik. Seharusnya jurnalis memang begini. Berani, cermat, cerdas, dan berpihak pada masyarakat. Bukan pada kaum atas yang mempunyai kedudukan. Tepuk tangan untuk penulis berita ini, Hema Agni.”

Semua bertepuk tangan, menyanjung Hema Agni. Tanpa tahu bahwa sosok Hema Agni ada di antara mereka. Ikut bertepuk tangan pelan untuk menyamarkan.

Jika Minke mempunyai Juffrow Magda Peters, maka aku mempunyai Pak Sastraningrat. Seseorang yang selalu menyanjung sebuah berita yang bersifat berani, tanpa pernah sadar bahwa penulis dari berita yang disanjungnya ada di sekitar sini. Tidak pernah tahu bahwa pelajarnya sendiri yang menulis berita itu.

Niskala MayapadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang