Sembilanbelas.

94 27 0
                                    

"Nggak boleh!" sergah Lana membuat bahu Yan sedikit terguncang karena kaget.

Lana berjalan mengitari kasur agar bisa menghadap Yan, "Pergi mandi sekarang, ayo keluar dari sini!" lanjutnya sambil menarik lengan Yan untuk bangkit dari tidur sampai turun dari kasur.

"Ngapain sih Lan? Aku masih ngantuk tahu," gerutunya ketika Lana menariknya menuju pintu kamar mandi.

"Kata Kak Retha kamu udah kaya gini sejak tiga hari lalu, tiga hari Yan!" sergah Lana menggebu di tengah perjalanan ke kamar mandi yang terpaksa terhenti, "Itu udah nggak bener. Kamu harus keluar rumah hari ini, aku temenin."

"Tapi aku nggak pengen keluar Kelana," balas Yan tampak ogah-ogahan.

Lana pun melepaskan tangannya yang tadi menarik Yan menuju kamar mandi, beranjak naik ke kasur dan duduk bersila di sana. Yan melenguh dalam hati, paham betul ekspresi macam apa yang ditampilkan kakak kelasnya saat itu. Lana bersedekap sambil menunjukkan wajah tidak menerima bantahan, wajah "Apa yang Lana ingin, Lana harus dapatkan". Bahkan dalam keadaan Yan sekarang ini, ia tidak akan bisa hanya mengabaikan kakak kelasnya yang sudah seperti itu atau keadaan akan makin melelahkan.

Setelah memejam gemas dan menghela napas panjang, Yan melanjutkan langkahnya ke kamar mandi dan menutupnya dengan debum keras. Selanjutnya suara keran diputar dan air shower yang mengucur memenuhi kamar itu. Lana lantas tersenyum bangga dari atas kasur.

"Good good! Yan emang paling nggak pinter ngebantah," gumamnya tanpa sadar diri bahwa dirinyalah yang terlalu pintar membuat orang enggan membantahnya.

Yan menghabiskan banyak sekali waktu di kamar mandi membuat Lana bosan dan kelaparan. Ketika akhirnya Yan keluar dari kamar mandi, ia mendapati kakak kelasnya itu sudah terduduk di lantai menghabiskan satu bungkus bubur ayam Pak Mamat yang tadi dibelinya. Merasa ditatap dengan tuduhan, Lana meringis dan berkata, "Kamu lama banget di kamar mandi habis c-"

Belum selesai Lana mengucapkan apa yang ada di ujung lidahnya, handuk Yan sudah mendarat telak menutupi wajah si kakak kelas.

"Sembarangan," gerutunya sambil berjalan kembali ke kasurnya dan duduk di sana.

"Hehe, habisnya..." kekeh Lana kemudian. Yan hanya memandangnya lurus, menyimpan sendiri alasannya berlama-lama di kamar mandi karena berharap Lana bosan dan meninggalkannya. Tapi seperti yang ia duga juga, Lana tidak semudah itu untuk diusir. Jadi ia sadar telah melakukan hal yang sia-sia.

"Nih, sarapan dulu. Gegara kamu kelamaan di kamar mandi buburnya jadi dingin," ujarnya sambil mengulurkan boks sterofoam lain ke arah Yan yang duduk di kasur.

"Nggak usah, nggak lapar," seketika alis Lana bertautan, berpikir bahwa Yan yang menolak bubur ayam favoritnya adalah sebuah kasus langka. Artinya apapun penyebabnya, itu adalah hal yang serius.

Tapi Lana tidak pernah mudah untuk dikalahkan hanya dengan penolakan. Ia menempatkan diri di samping Yan dan membuka penutup sterofoam. Yan hanya memandanginya ketika ia menyendokkan sejumlah besar bubur ayam yang harusnya tampak menggiurkan dan mengarahkannya ke mulut Yan, membuatnya menghindar enggan.

"Aaa..." Lana berusaha menyuapkan paksa bubur ke mulut Yan yang membuat wajah Yan makin masam. Rasanya Yan sudah ingin meledak.

"Kelanaaa... Kenapa kamu harus balik dari Kanada hari ini siihh? Sumpah aku cuma pengen tidur dengan tenang!" gerutu Yan setengah merengek ketika harus menghadapi keabsurdan Lana di saat seperti ini.

Lana hanya terus memasang wajah tanpa dosanya dengan sendok bubur masih melayang di depan mulut Yan. Dengan gemas dan terpaksa, Yan membuka mulut dan mencaplok bubur yang ada di depannya.

"Sini, aku makan sendiri!" pasrah untuk kesekian kalinya, ia merampas sendok dan sterofoam dari tangan Lana. Dengan tidak khidmat Yan memakan bubur ayam yang akan selalu jadi favoritnya di hari selain hari ini. Hatinya makin dongkol melihat senyum inosen Lana di depannya.

Seusai sarapan dan bersiap-siap, Lana akhirnya berhasil membawa Yan keluar dari sarangnya.

"Mau kemana sih?" dengan wajah memicing karena sinar mentari yang begitu terang di luar, ia bertanya. Baru tiga hari ia mengurung diri, cahaya matahari rasanya sudah jadi musuhnya karena bersinar dengan teriknya hari itu.

"Kemana aja penting kamu keluar kamar, biar kamu nggak murung terus di kamar," jawab Lana menghampiri Cooper kuningnya.

"Kamu paling tahu aku nggak suka kegiatan di luar rumah, malah ngajak aku keluar siang bolong begini. Kamu mau menghibur apa nambahin masalahku sih Lan?" Lana hanya terkekeh mendengar gerutuan adik kelasnya yang jelas uring-uringan itu.

"Udahlah, kamu nggak kangen sama aku apa, sepuluh hari nggak ketemu?" goda Lana yang mendapatkan balasan kerutan di hidung Yan.

"Ada yang pernah bilang nggak, kalau muka sangarmu itu nggak cocok banget sama Mini Cooper kuning bunda?" itu hal pertama yang Yan cetuskan ketika mereka sudah duduk di kursi depan dan tengah sibuk dengan sabuk pengaman masing-masing. Lana lantas mengangkat satu alisnya heran, "Lagian Audi-mu itu apa nggak jamuran kamu diemin di garasi mulu?" akhirnya Lana terkekeh paham.

"Ada yang nggak ngaca, Porsche punyamu itu mending di museumin aja daripada nggak kepake," mobil Lana menderu pelan meninggalkan kompleks perumahan Yan.

Keheningan menghiasi sebagian besar perjalanan ini. Lana yang sibuk dengan kemudinya serta Yan yang sibuk menonton ke luar jendela dengan pandangan menerawang. Sebenarnya Lana gatal sekali untuk bertanya, tapi ia tahu benar adik kelasnya tidak suka dipaksa bercerita. Jika Yan merasa perlu untuk bercerita, maka dia akan melakukannya tanpa sungkan. Hanya saja gelagat Yan yang lebih mudah terbaca duluan timbang penjelasannya yang akan datang di kala selanjutnya, membuat Lana suka gemas sendiri. Ia jadi harus sibuk dengan pikirannya menebak-nebak apa yang sedang terjadi pada karibnya itu.

"Gimana Kanada?" kehingan dipecahkan oleh pertanyaan tiba-tiba dari Yan.

"Bagus, cuacanya menyenangkan. Aku jadi kepikiran mau lanjut di sana," jelas Lana yang akhirnya memilih untuk membahas dirinya.

"Di almamater bunda?" lanjutnya masih melihat ke arah jendela.

"Mungkin, nggak tahu juga. Banyak kampus bagus di sana," Lana memutar roda kemudi untuk belok kanan. Sudut bibirnya terangkat ketika mengetahui tujuannya sudah dekat, "Sayang banget aku ke sana bareng Bunda jadi gabisa pergi jauh-jauh, apalagi menikmati dunia malam Kanada," sambungnya dengan memasang wajah sok menyesal.

Yan mengalihkan maniknya pada Lana dan melemparkan pandangan menghakimi. Lana yang sadar akan hal itu terkekeh ringan, "Bercanda Yan, toh Bunda yang lebih tahu Vancouver timbang aku. Aku bisa nyasar di sana kalau nggak ada bunda."

"Nyasar dan akhirnya emang nggak mau pulang karena betah hidup di sana tanpa pengawasan siapapun. Tipikal Kelana Raya banget," sudut bibir Yan sedikit terangkat ketika mengatakan cibirannya itu.

Lana hanya tergelak mendengarnya, sekaligus bersyukur dalam hati karena tampaknya mood Yan agak meningkat dari waktu pertama kali mereka keluar rumah.

Beberapa menit kemudian, mobil Lana memasuki area parkir di belakang sebuah bangunan. Dari jendela mobil, Yan memperhatikan tempat yang cukup melebar itu dengan plang nama berlampu led bertuliskan "Ding Dong". Sejujurnya ia hampir tertawa melihat papan nama itu, bertanya dalam hati siapa yang memberi nama tempat antah berantah itu dengan sebutan kuno macam itu.

"Ketawa aja kali, aku aja masih nggak terbiasa sama nama kuno tempat ini," kata Lana seakan bisa membaca pikiran Yan.

"Tempat apaan sih ini Lan?" tanya Yan ketika mereka turun dari mobil.

"Kamu nggak bisa tebak dari namanya?" balas Lana sambil mengangkat sebelah alis penuh teka teki. Yan hanya menggeleng sebagai balasan, "Lihat aja nanti," Lana berkata dengan sok misterius sambil terus berjalan menuju pintu masuk yang diikuti Yan di belakangnya.

Innocently Evil || Side Story [FIN]Onde histórias criam vida. Descubra agora