0.0 ✅

1.1K 207 293
                                    

CERITA BERIKUT ADALAH FIKSI.

SELURUH KARAKTER, TEMPAT, ORGANISASI KEPOLISIAN, AGAMA, DAN
INSIDEN DALAM CERITA INI TIDAK NYATA.

Selamat membaca cerita Bukan Salah Nada ❣

HANYA ada satu papan dipan berukuran kurang dari satu meter di dalam ruangan tertutup itu. Sebenarnya, lebih layak disebut macam gua alih-alih ruangan, lantaran setiap orang dewasa yang masuk kemari harus seraya membungkuk agar bisa melihat apakah di dalam ada makhluk hidup atau tidak. Sempit dan cukup pengap. Diujung sebelah kanan, terdapat sebuah pintu berukuran kecil dan ada gerbang besi menghalangi pintu.

Satu hal penting yang membuat siapa saja tidak akan betah berada di sini barang lima detik saja, bau menjijikkan ini perpaduan lebih dari satu aroma—tetapi anyir lebih mendominasi. Ventilasi hanya berasal dari pintu kecil itu saja.

Bocah lima tahun itu tidak sendiri, dia bersama seorang bocah lelaki yang tampak seusia dengannya. Penampilan bocah lelaki tampak sangat memprihatinkan, bagaimana tidak—bocah seusianya memiliki luka lebam nyaris memenuhi wajahnya terlihat seperti seseorang yang terkatup serangan lebah, yang lebih fatal lagi adalah terdapat luka goresan benda tajam di area tengkuk dan sebagian dada. Dia bisa melihat dengan jelas lantaran bocah lelaki hanya mengenakan celana kolor.

Kendati demikian ada bekas luka sayatan sebesar kelingking di pipi kanan, tampaknya luka tersebut terlihat masih baru. Penampilan bocah lelaki lebih lusuh dari bocah perempuan. Mereka tidak tahu pasti sudah berapa hari terkurung di tempat ini, selama berhari-hari itu pun mereka bersama tanpa adanya komunikasi. Bocah perempuan saban hari hanya menangis lantaran jiwanya sangat terpukul, bahkan dia pun sampai lupa dengan namanya sendiri.

Sampai saat itu tidak ada tanda-tanda mereka akan dibunuh atau dilepaskan begitu saja, yang jelas selama itu bocah lelaki selalu mendapat siksaan dari dua orang dewasa yang tengah berjaga.

"Ketika kamu mati, kebenaran akan lenyap selamanya," suaranya rendah bariton, tetapi jelas dia adalah seorang perempuan.

Seiring kalimat tersebut terucap, spontan kedua bola mata Nada kembali terbuka. Pantulan cahaya dari lampu tidur tepat di atas kepala membuatnya tersadar, jika sudah kembali ke ruangan serba putih susu ini. Tarikan napasnya terdengar megap-megap sampai dia memukul dadanya berulang kali pelan-pelan.

Dokter Salma tampak berdiri dari tempat duduknya, lalu kembali di hadapan Nada dengan membawa cangkir berisi air bening. Wanita berusia 40-an itu menyodorkan cangkir tersebut yang kemudian diterima lapang dada oleh Nada.

"Hari ini kamu jauh lebih baik, tetapi sudah cukup sampai di sini. Saya tidak akan terlalu memaksa terlalu berisiko nanti." Dokter Salma tergelak pelan di ujung kalimat, Nada hanya mengangguk sebelum menghabiskan minumannya.

Dokter Salma sibuk mengamati gerak-gerik Nada karena gadis itu tampak murung setelahnya. Keraguan jelas terpatri menghiasi wajah ayunya, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi enggan. Sepertinya Nada sadar kalau sedang diperhatikan, kemudian dia bertutur kata yang membuat jantung Dokter Salma kaget bukan main. "Saya nyaris melihat wajah seseorang, Dok." Nada menghentikan bicaranya sambil terus mengingat apa yang baru saja terjadi, "dia seorang wanita dan dia selalu mengucapkan kalimat aneh," lanjutnya setelah sekian lama membisu.

"Kalimat apa yang dia katakan?" tanya Dokter Salma penasaran, tetapi dia berusaha menyembunyikan raut tersebut.

Nada menggeleng tanpa berpikir panjang. Nada tidak dapat mengingat apa yang si wanita katakan, padahal sangat jelas didengar oleh Dokter Salma sebelum dia kembali membuka mata kalimat itu Nada ucapkan tanpa terbata-bata. Namun, sekarang Nada seolah lupa dan seperti tidak sadar pernah mengucapkan kalimat tersebut.

Pada akhirnya Dokter Salma dapat mengembuskan napas dengan lega. Melihat kondisi Nada yang sudah baik-baik saja, perasaan syok atau takut tidak terlihat—tidak seperti dua pertemuan sebelumnya. "Kemungkinan pelakunya seorang wanita," ujar Dokter Salma bergumam kepada diri sendiri, kendati demikian samar-samar Nada masih bisa mendengar, tetapi gadis itu urung untuk menanyakan lebih detail lagi. Sudah cukup lelah kegiatan hari ini, tidak mau menambah beban akan sesuatu yang belum pasti.

"Baiklah kalau begitu saya permisi. Terima kasih banyak untuk hari ini, Dokter Salma." Nada membuka suara memecah keheningan.

Dokter Salma mengangguk-angguk, kemudian menjawab, "Sama-sama, Nada. Selanjutnya seperti biasa, bukan?"

Nada memaksakan senyuman kaku seraya mengangguk pelan sebelum menjawab. "Iya, Ibu yang akan mengurus sisanya."

Tidak lama setelah itu Nada beringsut dari ruangan tersebut beberapa detik setelah Dokter Salma memberikan pelukan singkat.

Selang beberapa menit setelah kepergian Nada, telepon berdering—deringnya lirih. Dokter Salma membuka laci nomor dua pada meja kerjanya. Dahinya tampak mengernyit agak lama setelah mengetahui nama yang tertera dilayar ponsel, dia menerima panggilan tersebut dengan raut wajah kesal setengah mati. "Iya?"

"Katakan intinya," kata suara seorang lelaki di ujung sana. Mendengar ucapan tersebut seperti ada tawa meledak yang sangat riuh di dalam lubuk hati Dokter Salma. Namun, tidak lama setelahnya dia seperti mati rasa.

"Ketika kamu mati, kebenaran akan lenyap selamanya. Itu yang dia katakan."

Gelak suara terdengar sangat nyaring oleh si penelepon, Dokter Salma mendengkus sebal hanya tujuh kalimat tak berarti bisa membuatnya kegirangan seperti orang gila. Tidak lama setelah itu si penelepon kembali membuka suara.

Dokter Salma agak ragu setelahnya, dia menatap kertas yang kusut di meja sisi kanan terdapat judul yang tertulis pada kertas tersebut. Denada Ananda Putri. Dia menggeram, lalu menarik napas pendek. "Dia baru saja pergi akan tampak mencurigakan, jika saya bergerak sekarang."

Si penelepon terdengar sangat marah, kemudian mengulang kalimat yang sama agar Dokter Salma menyerahkan berkas file tersebut hari ini juga. Tanpa menunggu jawaban, Dokter Salma langsung memutuskan panggilan tersebut secara sepihak persetan dengan cacian si penelepon tidak tahu diri itu. Dia hanya ingin hidup normal seperti orang lain.

Tidak ada gunanya punya banyak uang, jika tidak bisa pergi menaiki pesawat. Untuk sejenak dia merelaksasikan diri dengan memejamkan kedua matanya seraya bergumam lirih. "Denada, harus mati!" Tak lama alunan musik klasik Lacrimosa menggema memecah keheningan ruangan bernuansa putih susu itu.


***

Terima kasih sudah berkenan membaca. Sampai jumpa pada chapter selanjutnya.





Awal terbit: 18, Maret 2020

Terbit ulang : Oktober 2023.

Itsweet_creamcake ❣

Bukan Salah Nada (REVISI)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ