HILANG YANG TERULANG

325 17 1
                                    

Malam itu angin bertiup tidak biasa, dinginya membuat Gibran, Arif dan Sonia mengeratkan jaket mereka. Warung pak Leman memang tempat yang pas bagi mereka yang tidak bisa tidur dan memilih nongkrong ditemani kopi dan sepiring pisang goreng.

Hampir tengah malam mereka masih asik mengobrol membahas kegiatan KKN besok, sedangkan yang lain sudah tidur tenang dirumah warga yang menjadi tempat menginap sampai lusa. Ya, besok hari terakhir mereka bertugas di kampung ini.

"Bagaimana kalau besok kita main di Batanghari?" Usul Arif, lelaki berkacamata.

"Aku setuju! Sudah lama tidak main ke sungai, dulu saat Di Padang Aku sering mandi disungai." Ucap Sonia.

Sementara itu, Gibran satu-satunya yang tidak setuju, "bahaya, kalau hanyut gimana? Arus Batanghari tidak seperti yang kalian pikir. Apalagi Kau, Son. Kau tidak bisa berenang jadi jangan coba-coba."

"Aku bisa tahu! Jangan asal bicara," sanggah Sonia kesal. Dia paling benci jika diremehkan.

"Aku tidak bermaksud begitu, lagi pula kau perempuan, takutnya kau malah tenggelam."

"Memangnya sungai bisa milih gender dan perempuan otomatis akan tenggelam, gitu? Lagi pula Aku dulu pernah ikut pelatihan renang, bahkan sampai lomba walaupun tidak menang. Setidaknya Aku tahu dasar-dasarnya!" Ucap Sonia tidak santai.

Tak lama dengan perdebatan itu, pak Leman datang membawa tutup bekas kaleng roti dengan obat nyamuk. Ia menghidupkan benda spiral itu dengan pancis, meletakannya didalam tutup bekas kaleng dan digeser kebawah tempat duduk mereka. Semakin malam nyamuk semakin gencar menyerang.

"Apa yang kalian perdebatkan?" Tanya pak Leman.

"Gini, pak. Besok, Kan, hari terakhir kami disini. Jadi kami ingin merayakannya dengan bermain di Batanghari. Tapi Gibran tidak sutuju karena katanya bahaya." Jelas Arif.

"Memang bahaya," sahut pak Leman dengan cepat. Semua terdiam, Sonia yang tadinya ingin mengutarakan pendapatnya langsung bungkam, Gibran tersenyum penuh kemenangan, dan Arif langsung menatap kecewa. "Bahaya kalau kalian berenang sampai Penyengat Olak sana, karena arus ditengah sungai itu lumayan kencang. Saya aja tidak berani."

Sonia mencicit senang, "tidak, Pak, tidak. Mana berani kami berenang sejauh itu, paling cuman dipinggir-pinggirnya aja."

"Ya kalau begitu silahkan, dan hati-hati. Kami di desa ini percaya kalau setiap batanghari surut, dia datang untuk mengambil tumbal."

Mendadak, suasana sekitar menjadi mencekam. Entah kenapa bulu kuduk langsung berdiri, perasaan merinding langsung menjalari.

"Dia siapa, pak?" Tanya Sonia pelan, hampir berbisik.

Pak Leman mencondongkan tubuhnya yang otomatis diikuti tiga mahasiswa itu, seakan-akan itu adalah rahasia yang tidak boleh bocor ke orang lain.

KUMPULAN CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang