Halaman 28

1.7K 230 53
                                    

Mengulum senyum, Sehun terus mencolek bahu Irene jahil. Karena insiden di pasar tadi, Irene memutuskan untuk melakukan aksi mogok bicara dengan Sehun. Irene tidak peduli, Irene kesal juga malu.

Sehun melingkarkan tangannya, memeluk wanitanya dari belakang seraya menancapkan dagunya pada pundak Irene. Senyumnya masih bertahan tidak mau luntur.
“Sayang...”

Memejamkan matanya rapat, Irene berpura-pura tertidur saja. Biar saja Sehun bicara sendiri.

Sehun terkekeh pelan. “Sudah cukup marahnya. Aku minta maaf, ya?”

Tetap saja tidak ada reaksi. Irene bersikukuh untuk tidak meladeni Sehun.

“Rene...” rengek pria itu memelas mencoba mengharapkan maaf dari sang isteri yang terlanjur marah.

Irene melayangkan pelototan tajam, satu telunjuknya mendorong tubuh Sehun agar menjauh. Lantas wanita itu kembali pada posisi semula.

Namun, Sehun kembali mendekat memeluk tubuh mungil itu. “Kau membuatku cemas tadi. Aku membayangkan jika nantinya kau tak dapat kutemukan,” tuturnya.

“Aku sudah 27 tahun, bukan lagi bocah taman kanak-kanak. Itu hanya pasar bukan hutan!” Irene meloloskan kalimatnya seolah lupa bahwa suaminya memiliki rasa takut yang berlebihan.

Itu seperti sedikit menampar Sehun. Didalam kepalanya, ia terus berpikir, hingga kediaman cukup lama tercipta. Apa benar ia menjadi seberlebihan seperti itu? Karena begitu mendengar Irene tidak ada, ia sudah tidak bisa lagi berpikir dan menyikapinya dengan tenang. Panik, itu yang selalu terjadi di awal dan akhirnya fokus pria itu hanya satu, menemukan Irene. Tidak memikirkan hal lain-lain lagi.

Irene tak lagi mendengar Sehun bersuara. Ia menolehkan kepalanya sedikit kebelakang. Yang terlihat Sehun hanya diam dan kelihatan sedang berpikir. Wanita itu kembali pada posisinya semula, ada sedikit perasaan bersalah setelah mengatakan hal itu. Karena kesalnya pada Sehun, apapun jadi terucap begitu saja tanpa disaring.
“Maaf...”

Sehun mendapati Irene sudah memposisikan diri menghadap kearahnya, gurat sesal nampak terlihat dari wajah cantik tanpa polesan riasan itu.

“Aku kesal, kau melakukannya didepan umum. Aku malu, tau?” ujar Irene mengerucutkan bibirnya.

Sebuah senyum tipis tercipta. Sehun menarik Irene agar wanita itu membenamkan diri kedalam pelukannya.
“Aku juga minta maaf kalau sudah berlebihan,” bisiknya.

Dalam tubuh besar itu, Irene mengangguk. “Ehm Sehun?”

“Hmm?”

“Aku melihat sepasang sepatu lucu saat di pasar. Di bagian bawahnya bisa menyala ketika sepatu digunakan untuk berjalan. Aku gemas ingin membelinya.”

Dahi Sehun mengkerut, pandangan matanya terarah penuh pada figur sang isteri. “Sepatu untuk orang dewasa?”

“Bukan. Untuk balita. Aku... Ingin bayi,” vokal Irene dengan suara yang semakin mengecil sementara tangannya bergerak menyentuh permukaan perutnya.

Ada sesuatu yang menyentuh tepat pada hati Sehun. Melihat sorot mata penuh harap yang Irene tunjukkan, membuatnya merasa hangat. Ia tersenyum teduh, mengelus kepala Irene lembut ia membisikkan sesuatu, “Kalau begitu ayo lakukan!”

“Apa?” Irene bertanya polos.

“Katanya mau bayi,” sahut Sehun menyingkirkan rambut Irene yang menutupi sebagian wajah wanita itu.

“Kemarin lalu kemarinnya lagi kita kan sudah coba buat?” Irene menggunakan telunjuknya untuk menggambar random pada dada bidang Sehun.

“Tidak apa-apa kita coba terus. Kita buat setiap hari,” balas Sehun. “Rene, hentikan geli!” Sehun menarik tangan Irene menjauh namun, Irene lagi-lagi mendaratkan telunjuknya disana.

𝙏𝙝𝙖𝙣𝙩𝙤𝙥𝙝𝙤𝙗𝙞𝙖Where stories live. Discover now