Halaman 29

1.9K 220 49
                                    

Irene mendesah pelan. Usahanya untuk membujuk Sehun untuk segera pergi mengajar berakhir sia-sia. Suaminya itu tetap bersikukuh dengan pendiriannya yakni menjaganya di rumah selama 24 jam penuh. Irene berpikir, mana bisa begitu?

Tingkat kecemasan dan posesif Sehun semakin meningkat tiap harinya. Irene sama sekali tak diijinkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah apapun begitu Sehun tahu bahwa ia dinyatakan positif mengandung. Rasa senang membuncah itu tak bertahan lama kala Sehun tiba-tiba berubah layaknya sipir yang tengah mengawasi seorang tahanan.

Tahu begini Irene rahasiakan saja dulu kehamilannya dari Sehun!

“Aku mau buang air, jangan ikuti aku terus!” Irene lelah sungguh.

Tanpa berucap, Sehun memasuki kamar mandi untuk mengecek kondisi lantai, licin atau tidak. Padahal satu jam yang lalu baru saja disikat oleh dirinya sendiri. Irene mengusap wajahnya kasar.

“Hati-hati,” ucap Sehun memperingati. Lantas ia keluar dari sana dan mempersilakan Irene untuk masuk.

Karena sedikit kesal, Irene melangkahkan kakinya setengah menghentak. Setelah ini keputusannya untuk membawa Sehun ke psikolog akan segera ia wujudkan. Sehun butuh penanganan.

“Rene, jangan seperti itu! Berjalanlah pelan-pelan, kasihan bayi kita,” protes Sehun.

Yang gerak bibirnya segera ditirukan oleh Irene. Pintu kayu berwarna putih itu tertutup dan menimbulkan bunyi agak keras kemudian.

Duduk di kloset, Irene terus mencibir semua perlakuan berlebihan Sehun padanya. Hamil muda saja sudah begini apalagi nanti jika perutnya sudah membesar, terlebih-lebih ketika si kecil sudah keluar. Bisa-bisa Irene dan si kecil akan diisolasi didalam rumah. Tidak akan membiarkan mereka untuk keluar rumah hanya sesaat.

Irene menepuk dahinya. “Aku tidak bisa membiarkan hal ini lebih lama lagi!”

“RENE, SUDAH SELESAI?” suara Sehun menembus pintu kayu yang membatasi luar dan dalam kamar mandi. Terdengar ketukan sebanyak tiga kali selanjutnya.

Astaga, Irene tarik nafas buang nafas. Begitu saja terus sampai besok ia akan membawa suaminya itu untuk diberi penanganan.

“Saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Saya... Saya hanya takut jika dia meninggalkan saya,” jujur Sehun menjawab pertanyaan dari seorang psikolog yang tengah duduk di hadapannya juga Irene saat ini. Dua obsidiannya melirik kearah Irene yang duduk disampingnya.

Padahal ketakutan Sehun itu tercipta atas dasar pemikirannya sendiri. Irene tidak akan mungkin meninggalkannya.

“Apa yang membuat anda memiliki pemikiran seperti itu?” Wanita dengan rambut pendek yang diikat itu bertanya kembali. Suaranya terdengar tenang.

Lagi-lagi Sehun melihat kearah Irene yang mana Irene tengah tersenyum tipis menatapnya. “Saya pernah kehilangan sosok yang begitu saya sayangi. Saya takut itu akan terjadi untuk yang kedua kalinya. Saya tidak mau itu terjadi,” jawabnya mengingat-ingat kembali kala mendiang Ibunya meninggal dunia karena sakit. “Saya terus berupaya untuk menjaganya, membatasi ruang geraknya agar dia tidak kelelahan, tidak sakit dan akan tetap berada disamping saya.” Sehun melanjutkan.

𝙏𝙝𝙖𝙣𝙩𝙤𝙥𝙝𝙤𝙗𝙞𝙖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang