1

10 0 0
                                    

Hari ini adalah hari kembalinya semua santri kelas akhir. Sesuai jadwal pagi ini semua santri sudah masuk mengisi lembar kedatangan. Aku yang sudah sedari dua hari kemarin menyebrangi selat Madura, baru hari ini kembali. Sengaja aku datang lebih awal, ingin sekali aku menengok kabar kawan lama dirumahnya. Seperti sudah Tiga tahun kita tidak bertemu wajah dengan wajah, biasanya kita hanya bertatap-tatapan dengan kamera yang saling terhubung.

Kata ibu dari rumah, ibu kata ustad di Pesantren. Kalau akhir pengisisan lembar kedatangan hanya sampai Sholat Dhuhur. Jadi dengan hati yang terpaksa, pagi-pagi betul aku pulang ke Pesantren dan sudah mungkin kita harus berjarak lagi.

“Lah, mau pagi-pagi? Gak nanti aja jam Sembilanan? Sekalian dari sini bareng Aku dan Keluarga naik mobil.” Dia menawarkan tumpangan.

“Emm… Kayak enggak deh, udah terlalu banyak ngerepotin.”

“Ya tapi ini masih pagi banget loh.”

“Ya takut kalau kesiangan nanti sampai disana kapan?” Tanganku sambil menghitung estimasi perjalanan.

“Alah kaya ga biasanya kalian datang telat-telatan.” Dia ngeyel.

“Ya bisa aja si sebetulnya…” Aku garuk-garuk kepala. “Tapi,”

“Ya udahlah nanti aja. Nanti kamu turun di Tangkel, kalau sekarang kayanya bis belum ada.”

“Beneran!?”

“Jarang si.”

Aku masih berfikir. “Gak deh, sekarang aja.”

“Oh, ya sudah. Aku izin keluar ke ibuku dulu.”

Aku mengangguk. Sebetulnya siapa mau kita berpisah, jika bukan karena aku harus balik sebelum matahari tepat diatas kepala dan Nurul juga keluarganya tidak bias meng-cancel lagi keberangkatan mereka ke Jakarta karena kedatanganku, ya kita bias apa. Mungkin hanya bisa berharap kita bertemu lagi nanti.

Amin…

Nurul sudah pamit mengantarku, keluarganya juga sudah menahananku untuk pulang nanti. Tapi aku sudah teuh dengan pilihanku, ya apa boleh buat.

Sesampainya di Tangkel, aku baru bisa membenarkan kata-kata Nurul. Bis dari arah Surabaya-Sumenep masih belum panas mesinnya. Ada kiranya 30 menit kami menunggu, sampai sebuah ide datang lebih awal dari pada bisa yang ditunggu.

“Eh fat! Biar cepet nih, ibuku dari tadi udah nanya-nanya mulu. Mending kamu naik angkot aja.”

“Emang bisa?” Tampaknya aku ragu.

“Bisa!. Nih dari sini kamu ambil jurusan Pamekasan, habis itu kamu transit di Terminalnya, habis itu naik angkot jurusan Sumenep. Nyampe deh.”

Sepertinya aku masih ragu, banyak pertimbangan yang berputar dikepalaku. Kalau transit, pasti capek naik-turun kendaraan. Belum juga pertimbangan naik angkot harus berhenti setiap jarak yang tak pasti, menurunkan penumpang menaikkan penumpang. Belum lagi aku pasti bakal dapat kesan yang aneh-aneh dari dalam angkot. Tapi…

“Ya sudahlah, dari pada waktuku terbuang menunggu, lebih baik aku habiskan waktuku diperjalanan.” Keputusanku.

“Nah! Cakep!.”

Hingga sebuah mobil Carry menepi melihat kami melambaikan tangan, yang kami para penduduk sini sebut taksi atau kalian sebuat dengan angkot.

***

Mungkin disepanjang perjalanan, ada sebuah cerita yang tidak mungkin aku ceritakan pada orang lain. Karena hingga sampai saat ini, aku belum pernah menemukan sebuah topik yang bisa aku kaitkan dengan peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan Bangkalan-Sumenep.

Dari bangku angkot, aku bisa merasakan apa yang menendang-nendang pantatku dari dalam. Sebuah ampas makan dari dalam perutku yang sepertinya aku lupa membuangnya dari kemarin. Tapi agaknya, dorongan yang aku rasakan beda dari biasanya, yang biasanya agak kalem sekarang lebih terasa meronta-ronta.

Di kilometer pertama, yang bergejolak ini cukup dapat bisa ditahan. Beberapa kali aku merapihkan dudukku. Sesekali jari-jariku memastikan tidak bau, cemas ada yang  keluar tak disengaja.

Bangkalan sudah lewat, gapura kabupaten Sampang sudah menyapa. Aku melihat sekitarku, sepertinya mereka baik-baik saja. Tidak mencium aroma yang tidak sedap dari kentut atau memperhatikaku yang seperti terkena ambeyen, yang selang tidak sampai 5 menit kembali memperbaiki posisi duduk.

Hingga mungkin di kilometer terakhir, dorongannya bertambah kuat. Keringat dingin sudah mengalir dari dada hingga perut. Dari punggung atas hingga menyentuh kencang ikat pinggang. Sesekali aku perfikir untuk turun mencari masjid terdekat dan memuntahkannya, tapi jangan kata fikiran yang lain. Hingga berjalanan ini berakhir, aku turun dari angkot dengan sangat terburu-buru, menyebrang, berlari menuju gedung BAPENTA, tapi sampai di depan kamar pos keamanan didepan gedung penyiaran, dorongannya semakin kuat. Fellingku cepat, di kamar pos keamanan ada kamar mandi yang agak tertutup, bergegas membuka resleting celana, mengendorkan ikat pinggang, yang ada difikiranku adalah “Entah bagaimana caranya, ketika sampai didalam kamar mandi aku hanya tinggal jongkok.” Dan sial! Ini kamar mandi dengan Water Closet tipe duduk, dan Oookh!. Ini kamar mandi yang rusak.

Brottt!!!

Jijik sekali aku membayangnya, semuanya tumpah diluar celanaku tapi bukan pada lubang yang benar.

“Ah sudahlah yang penting celanaku selamat.” Yang ada difikiranku hanya itu.

Aku mulai menyiram yang berserakan disini, sesekali mengintip keluar. Tidak ada yang tau aku seperti ini. Tapi sial lagi!. Saluran pembuangannya mampet, membuat kamar mandi banjir. Mereka hanya berputar-putar disini. Berkali-kali aku paksa tapi imbasnya tambah banjir. Sampai hingga keadaanya membaik aku tinggalkan. Dan bertingkah seakan-akan telah tidak terjadi apa-apa denganku.

***

Sepertinya aku pandai mengcover diri, buktinya teman-teman yang berpapasan denganku melihatku seperti tidak setelah terjadi apa-apa. Menyapa dengan santai, saling bertanya

“Oy! Sampai kapan?”

“Baru saja. Ini aku belum masih menggendong tas. Kamu kapan?”

“Wah dari kemarin malam aku disini.” Maklum dia orang jauh, kesini menaiki brung besi agar cepat sampai, atau denga kapal laut yang bisa berhari-hari diatas laut.

Aku lanjut jalan dengan santai setelah bersalaman kebeberapa kawanku, dan memastika tanganku tidak bau.

“Oy fat!”

“Yo!”

Dari depan kantor administrasi, kawan-kawan yang sudah datang berkumpul dan memanggilku. “Fat! Sini isi lembar chek-ini dulu.”
Menurut pengalamanku, kalau aku langsung kesana, mengisi lembarannya, aku pasti langsung digundul. Karena mereka berkumpul untuk mengantri penggundulan.

“Oh ya! Saya naro barang-barang dulu yah.” Fikirku cepat.

Seperti yang kulihat, seseorang dengan perawakan agak berisi, alis yang mengerut ketengah sedang duduk menatapku tajam. Tangannya memgang daftar santri kelas akhir yang sudah datang dan mencukur rambut, adalah salah seorang ustad dari panitia kelas akhir yang diberi tugas mengurusi santri kolot seperti kami ini. Sebut saja Ustad Fathi yang bola matanya mengikuti langkahku dan seseorang yang lebih tua sedang berdiri dekat motornya. Kumis tebalnya khas sekali, tangannya masuk kedalam baju kokonya. Matanya tidak menatapku, fokus pada kawan-kawan yang berebut mencukur, beliau adalah ayah bagi kamu, sebut saja ustad Maliji. Namanya seperti orang Sunda yang diulang-ulang seperti Entis Sutisna. Nama lengkapnya Maliji Jalali, mereka panggil Abah.
Aku tetap saja menghiraukan tatapan tajamnya, lanjut berjalan menuju kantor organisasi, sesekali kawan yang lain menyapa, mereka bersemangat untuk cukur rambut.

“Nanti ajalah, masih ramai kok. Samaku entar.” Aku membujuk kawan dekatku yang sudah datang selang Satu Jam denganku.

“Ya sudah, hayu nanti saja.”

“Yes!” Dia kemakan omonganku.

Di kantor, layaknya sebuah ruangan yang sudah lama dihuni agak terasa panas. Berdebu di meja-meja. Kursi yang masih rapi terbalik diatas meja. Lampu yang terus nyala sepanjang hari. Tanaman agak mengering, jarang disemprot. Sekarang yang kugendong sudah kulepaskan diatas meja kerjaku. Menyapu, menurunkan kursi-kursi, menyalakan kipas, hingga saatku menyiram tanaman, Adzan Dhuhur berkumandang.

“Alhamdulillah.”

Aku dan kawan dekatku yang kupanggil Habib bergegas menyelesaikan kegiatan membereskan kantor. Siap-siap sholat Dhuhur, bertemu lebih banyak kawan-kawan ditempat wudhu, sholat Dhuhur, mengaji, mengobrol sebentar hingga lupa makan siang dan tepat mati lampu saat aku sampai ditempat cukur rambut.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 25, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Big ZWhere stories live. Discover now