Aku lemas.
Sejak pertama kali berkelahi di kelas 5 SD, baru kali ini aku kalah.
OK. Yang tadi itu bukan berkelahi. Itu tadi kumite, latih tanding. Pengalaman berkelahiku harusnya sudah mengasah refleks terbaik dan kelincahanku. Menumbangkan raksasa sebesar itu pernah kulakukan sebelumnya. Emang sih, agak brutal. Melibatkan botol minuman dan gigitan di telinga. Tapi, lawanku yang dulu bukan Brandon. Bukan anak polisi yang juga Karateka.Ralat. Bukan anak polisi yang jangkung, kekar, dan berbau badan memabukkan.
"Boss. Datang teman ta!!" Suara cempreng Aco mengejutkan segerombolan kelelawar di depan rumahku.
Aco, ini letnanku. Komandan lapangan paling setia yang kupercaya. Badan kerempengnya sangat gesit di tiap perkelahian.
Sekarang di sampingnya ada raksasa 185cm yang tersenyum dengan tenang. Asu.Kenyataan bahwa ada anak polisi berani masuk kompleks tentara sendirian adalah prestasi. Kenyataan bahwa dia mengaku sebagai temanku, itu lebih ajaib lagi. Semoga para petugas piket di depan sana tidak ada yang tersedak atau malah nangis terharu. Ini semua terlalu cepat. Terlalu segera.
Ini pukul 21:00. Brandon datang dengan kaos putih, jeans biru dan jaket hitam. Beberapa anggota warga kompleks mengamati kami.
Aku hanya menganggukkan kepala pada Aco. Ia pergi bersama beberapa anak lain. Ada Andre di sana. Mata mereka terlihat berapi-api.Brandon tersenyum sopan. Tangannya menjabat erat tanganku.
Dia membawa martabak.
"Nda ada bapak ku di rumah, ces. Sendirian ji saya." Ujarku menahan tawa. "Baru itu makanan untuk bapaknya pacar to.? Belum ko jadi pacarku." lanjutku berusaha ramah.
Brandon seperti tersedak ludahnya sendiri. Ia lalu tersenyum, memeluk tubuhku ke dadanya dan membuatku terdiam.Sejam kemudian adalah keadaan paling tolol bagi kami berdua. Ia makan sendiri martabaknya, dan aku asyik membaca buku. Setelah martabak habis separuh, ia mulai push up di depanku karena sepertinya bingung mau melakukan apa. Sementara itu, aku yang kebingungan masuk kamar, memutar album "Wind of Change" Scorpion lalu kembali membaca.
"Kamu ada celana pendek?" Suara bass itu tiba-tiba terdengar. Aku tercekat. Eh? Celana pendek? Adede.. Lupa... Dia ke sini untuk bermalam.
Aku ke kamar dan dia mengekor. Tiba-tiba terdengar suara "Duaakkk, disusul aduh, dan makian... Sambala'..."
Rupanya Kepala Brandon kejeduk ambang pintu.Ia nyengir. Kuulurkan sebuah celana pendek. Tanpa banyak omong, dia membuka baju dan celananya di depanku. Asu. Kenapa aku deg-degan macam ini?
Usianya 16 dan badannya... Oke, sempurna. Si Ambon ini punya bahu bidang, perut rata dan wajah yang jantan. Saat tangannya meraih saklar lampu dan memelukku ke ranjang aku terdiam.
"Kenapa Bran?" tanya ku dengan tatapan langsung ke matanya.
"Sa ingin tidur sama kau. Sa suka ko. Sa nda mau liat orang lain. Sa cuma mau liat ko." suaranya terdengar berat di antara dengus nafasnya.
"Iyo? Tapi, bagaimana cara mu liat saya, kalau ko matikan lampu?"
"Karena sa hapal mukamu. Sa ingat badanmu. Sa tandai tai lalatmu."
Tiba-tiba bibirnya sudah menguasai seluruh mulutku. Ini bukan ciuman. Lebih mirip praktek napas buatan.
Kayaknya dia tidak tahu bagaimana cara berciuman. Jangan-jangan, saya ini benar-benar yang pertama buatnya.Baiklah. Saya kalah 5-0 di kumite tadi sore. Sepertinya saya bakal menang di medan laga lain.
Ku telentangkan badannya, Brandon tak memakai baju. Keadaannya sudah lebih dari cukup untuk membuatku bernapsu. Ku lumat bibir bawahnya, kucari-cari kumisnya. Perlahan dia mengerti, ciuman harusnya beda dengan nafas buatan.
Setelah ciuman panjang, bibirku menuju puting dadanya. Puting kiri selalu lebih sensitif... Tak ada suara lain terdengar selain erangannya.
Dengan tergesa, ia membuka kausku, posisiku yang sebelumnya duduk di atas perutnya langsung berubah... Kini ia menindihku. Dua lengannya menahan badannya, sementara bibirnya yang penuh tak habis menciumi wajahku, melumat bibirku, dan akhirnya menuju puting dadaku. Aku benar-benar merintih nikmat. Ia menguasaiku, tak ada yang bisa kulakukan selain meremas otot bisep dan trisepnya, serta meraih tengkuknya.
Saat ia memutuskan untuk berhenti, kuputuskan untuk meraih kontolnya. Saat itu aku terdiam.
Ini bukan kontol medan bang Daud. Kontol Brandon adalah batang panjang melengkung yang keras. Aku bergidik, takut sekaligus amat bernapsu. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalaku ketika kubisikkan padanya, "Bran, masukkan ke aku!"
Brandon menatapku tak percaya. Tapi tanpa banyak omong, dilepaskannya celanaku, dikangkangkan pahaku,
Dan diarahkannya batang itu padaku. Ia mencari lobang.
Nafasnya mendengus kencang, dadanya berdebar tak karuan. Ini tahun 90an.
Kami tak pernah nonton film porno homo, yang kami punya hanya naluri. Aku tahu jika dia hendak masuk, lobang itu yang dia tuju.
Kuarahkan batangnya ke situ, dia mendesak-desak mencoba mendorong dan masuk, tiba-tiba ia terdiam. Kami berdua terdiam, semburan hangat pejuh Brandon menyiram pintu lobangku. Matanya menatapku seolah tak percaya, dengan mulut ternganga. Nafasnya tersengal-sengal antara kecewa, tak percaya, dan nikmat tiada tara. Refleks kepeluk erat tubuhnya menindihku sepenuhnya.
"Marc, aku keluar." Keluhnya dengan nafas tersengal. Kukecup pelipisnya, sambil berbisik pelan, "Sabar Bran. Aku gak tau gimana caranya dan rasanya. Aku cuma merasa bahagia."Aku tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Karena pelukan tindihan tubuh Brandon justru membuatku sangat nyaman, hingga kontolku pun memuntahkan isinya dengan perlahan.
Aku hanya teringat, pagi harinya kami berdua terbangun dengan tubuh telanjang. Bau pejuh kering memenuhi kamarku. Kepalaku ada di dadanya, dan dia tak hentinya mengelus rambut cepakku.
"Marc. Ini hari minggu, kan.? Sa nda mau ke gereja. Ko juga tidak to?"
Aku menjawabnya dengan tatapan yakin langsung ke matanya. Kami punya seharian ini untuk mencoba lagi.

STAI LEGGENDO
Anak Kompleks Militer
CasualeKisah anak yang hidup di dunia laki-laki yang hanya suka laki-laki