Part 11Di ruang tengah Nurlan, Aira dan Pak Giman sedang berbincang-bincang mengenai sesuatu yang sangat penting. Mereka membahas tentang pembagian warisan. Pak Giman menyatakan kalau seluruh warisannya akan jatuh pada cucunya. Tapi, Nurlan membantah keinginan Ayahnya tersebut karena seharusnya dirinyalah yang pantas mendapatkan semua warisan bukan anaknya.
"Nurlan, apa kau yang akan mengatur Ayah?" ketus Ayahnya.
"Tapi kenapa Ayah? Kenapa anakku yang akan menjadi pewaris rumah ini?" tanya Nurlan sedikit mengeluh. Aira hanya diam saja. Ia tak mau berkomentar apa pun.
"Nurlan." Pak Giman bangkit dari duduknya. "Ayah tidak mau kalau kau yang menjadi pewaris. Dan yah, keputusan Ayah tidak boleh diganggu gugat!" kata Pak Giman. Nurlan menatap Ayahnya kesal. Bagaimana bisa hak ku jatuh ke tangan anakku yang belum lahir? umpat Nurlan dalam hati.
"Aira, besok kau bawa berkas ini ke kantor Pak Syam. Ayah sudah bicara dengannya, dia yang akan membantu kita untuk segera menyelesaikan pembagian warisan," ujar Pak Giman. Aira hanya mengangguk walau sebenarnya ia merasa kurang setuju karena harus berurusan dengan Syam, mantan kekasihnya.
"Kenapa Ayah menyuruh Aira dan bukannya aku?" timpal Nurlan.
"Karena Ayah tidak percaya padamu," jawab Pak Giman.
"Kalau aku tahu anakku yang akan mewarisi rumah ini lebih baik jika aku tidak punya anak," gumam Nurlan. Pak Giman dan Aira sontak terkejut mendengar perkataan Nurlan barusan.
"NURLAN!" Aira melayangkan tangannya ke wajah Nurlan. "Apa kau sudah tidak waras? Kau ingin kita tidak punya anak?" Aira tampak marah dengan pernyataan Nurlan.
"Jika itu lebih baik maka aku tidak akan menyesal!" balas Nurlan dengan suara dingin. Ia kemudian pergi meninggalkan Aira dan Pak Giman tanpa meras bersalah.
"Anak itu benar-benar keterlaluan! Dia selalu saja marah-marah. Jika dia tau alasan yang sebenarnya maka sudah pasti ia tidak akan berubah dengan serius," kata Pak Giman seraya memandangi Nurlan yang berjalan keluar dari rumah. Aira menoleh ke arahnya.
"Memangnya apa alasan Ayah?" tanya Aira penasaran.
Pak Giman pun kembali duduk lalu menjelaskannya pada Aira. Aira sedikit terkejut mendengar alasan Ayahnya tersebut tapi demi keutuhan rumah tangganya ia harus setuju dengan Ayahnya dan harus mampu menghadapi sikap Nurlan meskipun jika suatu hari Nurlan membenci anaknya sendiri karena telah merebut posisinya menjadi pewaris rumah keluarga Assegaf.
"Ayah, kalau Nurlan tetap saja berniat untuk meninggalkanku apakah aku yang akan pergi dari rumah ini?" tanya Aira.
"Tidak Nak! Yang pergi adalah Nurlan. Tapi Ayah yakin Nurlan tidak akan pernah meninggalkanmu karena jika dia meninggalkanmu dia akan kehilangan semua properti yang Ayah berikan padanya," sahut Pak Giman.
Di perjalanan Nurlan terus saja mengebut karena emosi mengingat perkataan Ayahnya. Ia mengemudikan mobilnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ting ... Notif ponselnya tiba-tiba berdering. Sejenak ia berhenti di pinggir jalan dan membaca pesan yang masuk di WhatsApp-nya.
[Kau di mana sobat? Sudah sangat jarang kau ke rumahku,]
"Ternyata pesan dari Arul," ucap Nurlan.
[Aku di jalan, mau ke rumahmu.] balas Nurlan. Dengan cepat Nurlan memutar mobilnya menuju rumah Arul. Sesampainya di sana ia langsung masuk ke kamar Arul dan merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
"Kau kenapa Nurlan?" tanya Arul sembari menghampiri Nurlan.
"Huuufftt." Nurlan menghela napas. "Aku sedang hancur Rul," gumamnya.
"Hancur bagaimana?" tanya Arul lagi. Nurlan memutar bola matanya sambil menghembuskan napasnya lemes.
"Itu." Nurlan tidak berani melanjutkan kalimatnya.
"Itu apa?" Arul semakin penasaran.
"Bukan apa-apa," balas Nurlan. Arul berdeham lumayan kesal karena Nurlan tidak ingin bercerita dengannya.
"Jadi kau mulai menyembunyikan sesuatu dariku?" Arul tersenyum miring ke arah Nurlan.
"Ah, bukan begitu! Meskipun aku menceritakan masalahku padamu pasti kau tidak akan punya solusi yang baik untukku," ujar Nurlan. Arul terkekeh mendengar penuturan Nurlan.
"Sejak kapan aku tidak memberimu solusi yang baik?" tanya Arul seraya menarik tangan Nurlan agar bangun dan duduk di sampingnya.
"Tidak tahu," jawab Nurlan.
"Ceritalah, aku ingin mendengarnya!" seru Arul. Dengan berat hati Nurlan pun menceritakan semuanya kepada Arul. Arul sedikit terkejut mendengarnya tapi ia tidak bisa menyangkalnya.
"Nurlan, apa kau pernah membuat kesalahan?" tanya Arul memotong pembicaraan Nurlan. Nurlan mengangguk. "Pantas saja Ayahmu tidak ingin kau menjadi pewaris rumah," sambung Arul.
"Jika seperti ini itu artinya aku tidak bisa meninggalkan Aira," lirih Nurlan. Mata Arul terbelalak mendengar perkataan Nurlan.
"Apa aku tidak salah dengar?" Arul menatap wajah Nurlan lebih dekat.
"Ihhk, menjauhlah." Nurlan mendorong Arul yang menatapnya sangat dekat.
"Apa kau sudah gila? Kau ingin meninggalkan istrimu? Nurlan! Dia itu sedang hamil. Jangan berniat seperti itu," ujar Arul. Nurlan hanya mendengarkan Arul dan tidak berkomentar apa pun.
Arul yang sedari tadi berdiri membelakangi Nurlan langsung menoleh saat Nurlan bilang bahwa ia lupa memberitahunya tentang satu hal.
"Hal apa yang ingin kau beritahu padaku?" tanya Arul."Aku menikahi Aira hanya untuk balas dendam bukan karena aku mencintainya," sahut Nurlan tanpa merasa bersalah. Arul menganga tidak menyangka.
"Balas dendam apa yang kau maksud?"
"Ceritanya panjang," jawab Nurlan kemudian keluar dari kamar Arul meninggalkan Arul yang sedang berdiri terpaku sambil menganga.
Jangan lupa vote n comment....
Biar mimin makin semangat nulisnya;)

YOU ARE READING
Suamiku Tidak Mencintaiku
RomanceSeorang pria bernama Nurlan Assegaf terpaksa menikahi Aira demi membalaskan dendamnya pada Syam, mantan kekasih Aira. Tapi niatnya yang ingin balas dendam berubah menjadi cinta karena kebaikan dan sikap Aira yang membuatnya terpana.