Bagian Ketiga

5.3K 406 13
                                    

Arik menuju kamarnya, keputusannya sudah bulat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Arik menuju kamarnya, keputusannya sudah bulat. Memang lebih baik ia pergi daripada harus membuat Adit tak nyaman akan hadirnya. Lagi-lagi Arik harus terhenti di depan pintu kamar Adit. Menatapnya cukup lama, disaat itu juga rasa sakit mulai menjalar. Sudah dipastikan ia tidak akan bisa memasuki ruangan itu, karena malam ini, dia harus pergi.

Arik menatap sekeliling kamarnya. Memandangi setiap sudut kamar itu, rasanya begitu berat untuk meninggalkan tempat dimana ia dibesarkan. Sudah banyak suka dan duka yang dia rasakan di dalam ruangan itu. Tapi, takdir sudah memutuskan. Dia harus pergi, demi Adit, orang yang sangat dia sayangi.

Arik beralih ke sebuah foto yang tertempel di dinding kamar. Menatapnya, hingga air mata itu kembali menetes. Mengapa begitu sakit, hingga rasanya ia tak kuat untuk menatap wajah itu. Mengapa begitu sesak disaat kalimat 'pembunuh' kembali terngiang. Kini Arik berada dalam dua pilihan yang begitu sulit.

🍁🍁🍁

"Adit!"

Plak...

Bunda sudah tak kuat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Adit. Bunda seakan tak mengenal sosok Adit yang sekarang. Bunda takut jika Arik mendengar ucapan Adit.

"Kamu nggak seharusnya ngomong gitu, kasihan Arik kalau dia dengar."

"Iya, cuma Arik yang Bunda kasihani, karena Adit bukan anak Bunda!"

Plak...

Lagi-lagi satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Adit. Bunda menangis, tak kuat mendengar ucapan Adit. Bunda terduduk lemas di atas lantai, memegangi kepalanya yang seperti dihantam batu besar. Berteriak keras, memanggil nama Adit. Berharap Adit berhenti mengatakan hal yang tidak benar adanya.

Adit menatap Bunda, melihat bagaimana Bunda sangat sakit oleh ucapannya. Air matanya mengalir deras, menyesali perbuatannya kepada Bunda. Adit ikut terduduk, menatap mata Bunda yang sudah sembab. Adit memeluk tubuh Bunda erat, dengan tangan yang gemetar.

"Bunda, Adit minta maaf."

Bunda hanya diam, dengan air mata yang kian mengalir. Bunda menggosok kepala Adit, sambil mengangguk. Bunda tidak akan bisa memarahi anaknya, Bunda terlalu takut. Takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Bunda melepaskan pelukan Adit, menatap wajah anaknya yang penuh dengan luka. Begitu ngilu disaat luka dirahangnya kembali berdarah. Bunda berdiri untuk mengambil kotak obat.

Adit merasakan perih di rahangnya, tapi itu masih belum jika dibandingkan dengan sakit pada perutnya. Itu semua seakan dinikmati oleh Adit. Hingga batinnya berucap.

PERGI [COMPLETE]Where stories live. Discover now