Satu.

10 2 0
                                    

.

Dan begitulah, mengapa saat ini aku berada di sini. Berlari dengan tergesa menuju pintu pesawat. Final call. Hampir saja kami tertinggal pesawat. Ayah turut serta berlari bersama ku. Kecerobohan ayah membuat kami terlambat datang ke bandara. Awalnya aku yang telah menunggu mengira bahwa ia telah siap, nyatanya bangun dari tidur saja belum. Segera ku guncang tubuh ayah dan bilang bahwa kami harus berangkat sesegera mungkin.

"Aduh Cindy! Kenapa tak bangunkan ayah dari tadi?" Ayah berseru panik. Aku pun langsung menyuruhnya untuk cepat bersiap. Jam menunjukan pukul 07:23. Kami akan berangkat sekitar tujuh menit lagi. Akhirnya setelah berlari disepanjang lorong, kami sampai di pesawat. Beberapa pramugari cantik menyambut kami dengan ramah. Tak lama kemudian, seorang pramugari memberikan kami informasi bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat, lalu menyuruh kami menggunakan sabuk pengaman. Ayah sedang sibuk mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman, sesekali pramugari menawarkan makanan untuk kami. Ayah menolak dengan halus.

Tak ada yang mengesankan saat naik pesawat. Karna sebelumnya, aku sendiri pernah merasakannya. Setelah acara prom night lusa kemarin malam, tak ada lagi alasan untuk kami tetap tinggal di Jakarta. Ibu kota dengan keramaian yang merajalela, tak luput dari kenangan-kenangan buruk selama aku berada disekolah. Setelah ayah memutuskan kami untuk tinggal di Surabaya, hatiku senang, tapi tentu saja sedikit sedih. Mau bagaimana pun, rumah di Jakarta banyak menyimpan kenangan ku dari kecil. Entahlah. Aku tak mengerti kenapa ayah dan bunda membangun bisnis yang berada jauh sekali dari tempat tinggal kami, yang mengharuskan mereka untuk bergilir menjalankan bisnis dan menjaga ku.

Beberapa jam kemudian, setelah bosan mendengar dengkuran tidur ayah, pesawat mendarat tanpa kendala apapun. Memang sedikit terguncang, tetapi itu hal wajar. Sewaktu pertama naik pesawat dulu, aku sedikit cemas. Tetapi ayah berhasil menenangkanku. Setelah mengambil beberapa koper dan barang bawaan lainnya, kami sibuk mencari bunda yang menjemput. Tak beberapa lama, terlihat seorang wanita cantik berusia 30 tahun-an mengenakan hijab berwarna pink sedang menoleh kesana kemari mencari sesuatu. Baru saja aku ingin memanggilnya, ayah lebih dulu tersenyum dan langsung memanggilnya.

"Bundaa!!"

Dengan segera bunda menghampiri dan mencium tangan ayah. Lalu pelukan hangat langsung menyelimuti tubuh ku. Pelukan yang amat kurindukan. Bunda yang amat kurindukan.

"Bunda, Cindy kangen.."

"Bunda juga sama.." Seketika bunda melepas pelukanku, melihat diriku dari atas sampai bawah. Apa penampilan ku aneh? Aku memutuskan untuk meraba wajahku.

"kenapa sih bun?"

"Ciee, anak bunda udah gede.. bentar lagi masuk SMA ya??" Aku memutar bola mata. Ayah ikut bergabung dalam obrolan. Sesekali terus menggoda diriku. Meski kesal selalu menjadi bahan ejekan, Ayah dan Bunda lah 'sahabat' terbaiku. Mereka lah orang tua terbaik menurut diriku. Aku hanya mempunyai mereka, dan aku amat bersyukur akan itu. Aku tak tahu apa yang terjadi bila aku tanpa mereka. Dan, tak terasa tujuh hari lagi aku akan segera memasuki SMA. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi, sebisa mungkin aku akan menjalani kehidupan baru, agar aku dapat membanggakan ayah dan bunda. Hanya itu.

~*~

Senin pagi yang cerah. Meski hati tak secerah langit, aku tetap harus menerima bahwa pagi ini adalah hari pertama masuk sekolah. Setelah seminggu kemarin aku, ayah, dan bunda berkeliling kota dan membereskan rumah baru, tak terasa hari berjalan cepat. Ternyata Physicology benar. Senin adalah hari dimana beberapa persen orang malas untuk tersenyum. Seperti pagi ini. Ingin rasanya semangat, antusias, seperti anak lain, tetapi tidak bisa. Berkali-kali bunda bilang hari ini Cindy harus mendapat banyak teman. raut wajahnya khawatir karna sedari tadi anak semata wayangnya malas, dan terlihat tak semangat.

Sweetest CandyWhere stories live. Discover now