56

233 18 1
                                    


"Udah hampir setiap hari aku kesini, dan ngak pernah sekalipun aku lihat pacarmu mampir. Apa hubungan kalian lagi ngak baik-baik saja, Luna?"

Luna sedikit terkejut mendengar perkataan Alvian barusan, pasalnya tak pernah sekalipun Luna memberitahukan apapun soal Bryan kepada Alvian.

Namun jika di pikir-pikir lagi, itu adalah hal biasa. Alvian selalu saja mengetahui sesuatu tentang Luna, meski tak pernah di beritahu.

"Kami udah putus Alvian," balas Luna singkat.

"Kenapa bisa, apa yang salah sama kamu dan dia?" jelas Alvian bingung.

Karena baginya Luna adalah perempuan yang baik, dan tidak mungkin berniat mendua. Ia kenal betul Luna itu seperti apa, dan setau Alvian hubungan yang kandas tiba-tiba biasanya di sebabkan oleh orang ketiga.

"Singkatnya, dia salah paham sama kita. Dia kira, aku selingkuh sama kamu, padahal kan yang sebenarnya ngak begitu," jelas Luna tersenyum miris.

"Huhftt, dasar. Tapi, ada baiknya juga kamu putus sama laki-laki itu," celetuk Alvian mewajari.

Luna melihat Alvian, tak mengerti. "Maksudnya?"

"Seharusnya, kalau dia benar-benar cinta sama kamu. Laki-laki itu seharusnya percaya sama kamu, mendengarkan penjelasan kamu. Bukannya memutuskan secara sepihak dan mendadak," jelas Alvian membuat sang lawan bicaranya bungkam.

Luna mengangguk-anggukan kepalanya pelan, lalu kembali suara setelah beberapa waktu terdiam.

"Awalnya aku ngerasa sakit hati, cuma setelah di pikir-pikir, mungkin memang udah seharusnya kayak begini. Semakin cepat kami putus, semakin baik. Karena pasti bakal mudah buat dia lupa sama apa yang pernah kami lalui," monolog Luna jelas sembari mengingat-ingat saat-saat bersama sang mantan.

"Bryan itu laki-laki yang baik, dan selain itu dia juga sehat. Dia pantas bahagia lebih lama, kalau aku dan Bryan masih bareng. Yang ada aku cuma memperlambat Bryan bertemu jodohnya, yang jelas bukan aku," tambah Luna kemudian tertawa hambar.

Alvian terus memperhatikan perempuan yang mengenakan baju pasien rumah sakit itu dengan seksama, ada luka yang tenggelam dalam manik mata indahnya.

Ada sesuatu yang terpaksa di lepas oleh perempuan itu, dan ada hal yang harus ia ikhlaskan demi kebahagiaan orang yang sukses memporak-porandakan hatinya.

Alvian tak pernah mengira bahwa berpacaran akan sepelik ini, mungkin hal tersebut lah yang membuat Alvian masih sendiri sampai kini.

"Luna, berhenti mengira semua orang seburuk yang kamu pikir. Ada kemungkinan kalau kamu terus terang ke Bryan, dia bisa nerima dan terus cinta sama kamu," ucap Alvian, sungguh tak sanggup ia melihat Luna tampak menyedihkan.

"Itu adalah kemungkinan yang ngak mungkin aku wujudkan."

*  °  *  °  *  °  *


Saat ini, tepatnya bukan lagi di rumahsakit. Di lirik Alvian tak senang laki-laki yang terdapat tak jauh dari mejanya saat ini.

Bukan untuk balas dendam atas apa yang telah laki-laki itu lakukan kepada perempuan yang amat sangat ia sayangi.

Alvian hanya ingin laki-laki yang bernama Bryan itu menghilangkan pikiran buruknya terhadap Luna.

Dan jelas agar tak terus salah sangka terhadap Alvian yang Bryan kira telah merebut Luna dari laki-laki itu.

Luna itu perempuan yang tak hanya cantik, ia juga baik. Tidak mungkin jika Alvian tak menaruh harap, dan rasa cinta kepada Luna.

Dan jauh sebelum Bryan, Alvian sudah lebih dulu mengenal dan menjalin hubungan yang baik dengan Luna.

Sebagai mana keluarga Luna pun amat sangat baik kepada Alvian, Ranty yang merupakan ibu Luna datang dengan kebaikan dan mengganggap Alvian dan kakak-kakaknya seperti anak kandungnya sendiri.

Hal tersebut lah yang membuat Alvian tak bisa menaruh harapan lebih seperti menjadikan Luna pacarannya. Karena bagi Alvian Luna sudah seperti saudara perempuan yang harus ia jaga.

Melihat Luna yang mati-matian berjuang melawan sakitnya bertahun-tahun sukses membuat Alvian pilu, apalagi hanya orang-orang tertentu yang tau hal itu.

Di tambah pula dengan suasana hati yang tak karuan karena sang pujaan hati tak mampu mempercayai Luna.

Setelah cukup lama berdiam diri, bergelut dengan pikirannya. Kini Alvian mulai melangkah mendekat ke arah Bryan yang sedang duduk seorang diri.

Tanpa izin ia langsung menempati bangku yang terdapat di depan Bryan, sembari melemparkan tatapan tak bersahabat pada laki-laki yang baru pertamakali ia temui.

Bryan yang semula sibuk dengan handphone di genggaman tangan kini mulai memperhatikan orang yang baru saja mengisi bangku kosong di hadapannya.

Bryan terdiam beberapa saat, sampai ia mengingat siapa sosok laki-laki yang ada di depannya ini.

Sembari melemparkan senyuman sinis Bryan pun membuka suara. "Oh ini pacar Luna, mau apa lo, ke sini?"

"Gue bukan pacarnya, atau apapun itu yang terlintas di kepala lo," balas Alvian.

"Jawaban lo sama persis kayak yang di bilang Luna. Jadi kalau emang bukan itu apa? temen, sahabat, atau saudara? alasan apalagi yang bakal kalian bilang untuk melancarkan sandiwara kalian berdua?" tutur Bryan.

"Gue yakin sebelum gue, pasti Luna udah jawab pertanyaan itu buat lo. Dan lo malah ngak percaya," celetuk Bryan.

Bryan tertawa hambar, dan kemudian menjawab dengan amat sangat yakin. "Karena Luna, sama lo sama-sama pembohong. Kalian cocok,"

"Ya mungkin memang ada baiknya sih Luna ngak sama lo, karena cowok yang ngak pernah pikir panjang juga selalu menyudutkan seseorang itu ngak baik buat Luna. Semangat bersenang-senang sama isi kepala lo, gue ngak bisa ngubah hal itu dan Luna pun sama," jelas Bryan.

"Gue pastiin setelah ini lo bakal nyesel karena udah berfikiran yang enggak-enggak ke gue dan Luna, dan ini bakal jadi kali pertema dan terakhir lo bisa nyakitin dia. Karena mulai dari sekarang sampai nanti, gue bakal terus jagain Luna dari orang-orang yang bisanya cuma nyakitin dia doang," tutur Alvian membuat Bryan emosi mendengarnya.

"Lo jangan asal bacot ya anj*ng!" gerutu Bryan tersulut api emosi.

Alvian melemparkan senyuman mengejek andalannya. "Selamat tinggal Bryan."

~  ~

Bryan tiba di rumah sakit, sehabis berbicara dengan mantan kekasih Luna yang sempat membuatnya emosi. Tapi Alvian mampu menahan gejolak amarahnya tersebut, hal itu mampu ia lakukan karena Luna.

Perempuan yang tak menaikkan oktaf suaranya saat berbicara bersama Alvian, membuat Alvian mengerti bahwa ia harus melakukan hal yang sama, karena nyatanya memang Luna selemah lembut itu.

Digenggam Alvian lengan Luna yang terasa dingin, mengusap lembut jari-jari lentik milik Luna.

"Tadi aku ketemu mantan mu, iya Bryan. Tenang aja aku ngak ngapa-ngapain dia kok, aku cuma bicara sama Bryan. Aku berusaha ngejelasin kalau apa yang terlintas di pikirannya tentang kita itu salah, dan yah dia tetap ngak percaya," monolog Alvian.

"But it's okay. Percaya ngak percaya itu urusannya diakan, nyatanya mau aku ataupun kamu ngak ada yang berbohong. Jangan kamu ulangi lagi, jatuh cinta sama laki-laki yang ngak punya hati." sambung Bryan menatap wajah damai Luna yang tengah terlelap.






































TBC

Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)Where stories live. Discover now