Tragedi

74 4 0
                                    

Sang rembulan malam kembali menampakkan dirinya. Dia begitu anggun menyapa langit. Malampun menjelang petang. Malam ini, tak tahu entah apa yang mengganggu pikiranku, aku merasa tidak enak sekali di pondok. Kebetulan aku sedang udzur aku pergi ke taman kampus. Biasanya jam-jam segini tak banyak santri yang kesana. Aku ingin sejenak merefresh pikiranku. Tak banyak yang ku lakukan disana, hanya duduk termangu dengan tatapan kosong tak tentu arah, sambil sesekali berdiri memandang keindahan langit yang bertabur bintang.

“Naila, kamu ngapain di sini?”

Salwa teman sebelah blokku menyapaku. Mungkin dia sedang udzur juga.

“Nyantai aja...”
“Oh iya, barusan aku kebetulan lewat di depan blokmu, sepertinya di sana ada ukhtiy Nazilah dan ukhtiy Nabila dan sepertinya sedang menggeledah lemarimu.”

Deg. Detak jantungku terasa berhenti seketika. Gairah hidupku terasa lenyap begitu saja. Aku gelisah. Apa yang terjadi sehingga dua ukhtiy itu menggeledah lemariku. Aku langsung beranjak meninggalkan tempat dudukku dan hendak menghampiri mereka.

“Naila... kemarilah!”

Begitu aku tiba di depan pintu kamarku, ukhtiy Nazilah langsung memanggilku. Keringat-keringat dingin kembali membasahi tubuhku apalagi melihat ekspresi ukhtiy Nazilah dan ukhtiy Nabila yang tak seperti biasanya. Dingin. Saaangat dingin.

“Punya siapa kaos dan topi ini?”

Seberapa kagetnya aku ketika melihat kaos cowok berwarna merah dan topi kidrock hitam di tangan ukhtiy Nazilah. Seingatku saat terakhir kali membuka lemariku tadi pagi dua barang itu tak ada di lemariku. Aku berusaha untuk meyakinkan dua ukhtiy tersebut bahwa aku tidak pernah memiliki barang itu.

“Bagaimana bisa kamu tidak tahu ini punya siapa, sedangkan dua barang ini ada di lemarimu?”
“Ukhtiy Nazilah, sungguh... saya tidak pernah merasa mempunyai barang itu.”
“Jadi menurut kamu, ada orang yang sengaja naruh barang itu di lemari kamu Naila?”
“Jangan-jangan itu punya pacarnya Naila ukhtiy.”

Desi berargumentasi. Ukhtiy Nazilah mengangkat tangan sebagai isyarat tak mengizinkan Desi ikut-ikutan. Ukhtiy Nazilah meminta ukhtiy Nabila membereskan dua barang itu dan membawaku ke kantor pusat pondok pesantren Nurul Islam.

“Ada apa dengan saudari ini Ukhtiy?” Ucap ukhtiy Aisyah.
“Kami menemukan barang-barang ini di lemarinya.”

Ukhtiy Nazilah melemparkan kaos dan topi itu ke hadapan ukhtiy Aisyah. Dua ukhtiy yang sedang berada di sana, ukhtiy Fathimah dan Ukhtiy Faizah mendekat. Ukhtiy Aisyah kemudian meraih secarik kertas yang jatuh dari gumpalan kaos tadi dan menyerahkannya pada ukhtiy Nazilah. “Dari Nazril Ilham.” Begitu nama yang tertera di secarik kertas itu.

“Ukhtiy Nazilah, kalau saya pribadi tidak yakin kalau itu benar akhiy Nazril. Saya sangat tahu siapa dia.” Ukhtiy Fathimah bersuara.
“Saya juga sependapat dengan ukhtiy Fathimah.” Ukhtiy Faizah ikut bersuara.
“Tidak ada salahnya kan kalau kita melihat rekaman cctv di sekitar Nurul Huda dan Nurul Ain, biar lebih jelas masalahnya.”

Ukhtiy Nazilah menyetujui pendapat ukhtiy Aisyah. Mereka langsung menyetel rekaman itu dan menyaksikan bersama apa yang terjadi dalam rekaman itu. Air mataku tumpah begitu deras. Aku benar-benar shock melihat rekaman itu. Allah kenapa itu yang terjadi, padahal aku tak pernah merasa melakukan itu. Meski aku kenal sama Ilham tapi sampai detik ini pun aku tak pernah tahu seperti apa dia.

“Naila mulai besok sampai dua minggu lagi kamu tidak boleh masuk kuliah dan setiap waktu harus standby di mushollah.”

“Naila... maafkan saya, saya tidak bisa membantu kamu. Tapi saya janji saya akan tetap menelusuri kasus ini karena saya yakin kamu dan Ilham tidak bersalah .” Batin ukhtiy Nabila.

Jodoh istikharah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang