Part 14 : Lo adiknya Billy kan?

413 38 0
                                    

Baru tiba Tari sudah mendpatkan panggilan dari Pak Vano, Tari tau apa sebabnya. Tapi emang harus pagi buta begini, mager rasanya cewek itu untuk melangkah keruang guru.

Mau memaki tapi takut dosa, tapi Tari itu loh dongkol sekali dengam guru muda itu. Untung cakep, jika tidak sudah ia beri bogeman. Itu pun jika Tari berani melakukannya.

Dengan langkah pelannya, Yang memang disengaja olehnya. Akhirnya cewek itu memasuki ruangan guru muda itu, tanpa disuruh Tari langsung masuk dan duduk di bangku penunggu.

Pak Vano melotot mematap Tari, "kau? hobi sekali, masuk tanpa mengetuk pintu" cetus nya.

"Saya sudah mengetuk pintu pak, bapak nya aja gak denger" elak Tari, padahal jelas sekali Tari tidak mengetuk pintu tadi.

Pak Vano menghela nafas pasrah, sambil mengusap rambut depanya. "Mengapa kamu meninggalkan Revan di lapangan?"

Tari mengerutkan dahinya, dengan polosnya ia menjawab. "Memang harus, saya bawak Kak Revan ke rumah saya?" ucapnya malah bertanya pada guru itu.

Vano terdiam, lalu tangannya menggaruk tengku nya. "Bukan begitu" cekalnya.

"Terus maksud bapak?"

Vano melirik sekitarnya, apa yang harus di jelaskan dengan bocah ini. Dia tau Tari itu baru pase remaja labil, Vano pernah mengalaminya. Tapi, ini beda. Dulu ia tidak selugu, atau bisa dibilang bodoh begini.

"Kemarin saya sudah bilang, jika kamu akan di bimbing oleh orang pilihan saya. Dan saya memilih Revan, karna ia kapten basket. Tapi mengapa kamu malah pergi meninggalkan dia di lapangan?" penjelasan yang cukup panjang, membuat Tari terbengong.

Tari melirik tanganya, saat ia tau maksud dari gurunya itu membuat Tari angkat bicara. "Kemaren saya bertemu Aris-"

"Terus urusannya?"

Tari mendelik tajam, "bapak jangan memotong ucapan saya! Saya juga berhak menyampaikan kelarifikasi saya" cetus cewek itu. Biar saja jika ia tidak sopan dengan guru ini, toh pak Vano juga tidak sopan padanya.

Vano terdiam, ia mendengarkan ucapan Tari. "Kemaren saya bertemu Aris, dia mengajari saya buat main basket. Aris bilang, dia akan ngajari saya" jelasnya.

"Aris Al Na'ir?" Tari mengangguk, bagaimana cewek iti bisa tau. Orang mana pun tau nama itu, jika seseorang mengenakan tag nama di seragamnya.

"Berandalan itu? Saya sudah memilihkan orang yang tepat, tapi kamu malah memilih berandalan itu?!"

"Pak Vano kenapa ngotot banget nyuruh saya latihan basket?! Maupun nilai saya rendah itu bukan urusan bapak?! Toh saya baru kelas 10, bapak baru ngajari saya satu semester" geram Tari, sekarang cewek itu tak peduli siapa dihadapanya.

Vano memang lebih tua darinya, gurunya itu bahkan seperentaraan dengan abangnya. Guru semudah itu entah mengapa di terima di sekolahnya. Tari tidak tau itu, dan tidak ingin tau.

Kreekk

Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh keasal suara. Tampak Aris menyengir tanpa bersalah sedikit pun.

"Bapak sudah selesai?! Kasian Tari belum sarapan" ujar Aris lalu menarik lengan Tari agar lebih mendekat padanya.

Vano melotot melihat kedatangan Aris, "Kamu" desis nya.

"Saya bawak Tari keluar yah pak, kasian kekurangan oksigen" ujarnya lalu membawak Tari keluar ruangan itu.

Satu langkah kaki itu hendak keluar dari ruangan, Aris memberhentikan langkahnya dan kembali mengahadap Vano.

"Bapak tenang aja, saya yang akan ngajarin Tari Basket. Gini gini saya mantan kapten basket" kata cowok itu lalu segera menarik Tari keluar.

Tanpa niat melepaskan genggaman ditangannya, Aris membawa Tari kekantin. Cowok itu meninggalkan Tari untuk memesan makanan, bahkan Aris tidak menanyakan Tari ingin memesan apa.

Tari menatap Aris yang baru tiba dengan pandangan yang sulit di artikan. Sunyi melanda keduanya, apalagi kantin masih sepi karna masih pagi.

"Kenapa?" tanya Aris yang mulai jengan atas tatapan Tri.

Tari gelagapan, tak sengaja matanya menatap jam dinding di kantin. Matanya melebar, "bentar lagi mau masuk" serunya yang hendak berdiri namun tertahan oleh tangan Aris.

Dengan tangan masih memegang lengan nya, Aris menatap Tari seolah menyuruhnya untuk duduk kembali. Menurut, cewek itu mengikuti keinginan Aris.

"Lo tenang aja, bu Maya gak masuk jadi lo duduk tenang kita sarapan dulu. Lagian di sana pasti seneng karna free clas" ucap cowok itu. Aris segera mengambil nasi goreng yang baru tiba itu.

Diserahkan nasi goreng itu pada Tari, lalu cowok itu menaap Tari yang masih cengoh atas ucapannya tadi.

"Lo tau dari mana buk Maya gak masuk?"ucap Tari yang akhirnya bersuara.

Aris menegak air meneral lalu menatap Tari, "gue itu musuhan ama buk Maya. Gue paling benci yang namanya matematika, so gue paling update kedatang bu Maya" Tari memgangguk. Walaupun sedikit aneh, bukan nya buk Maya hanya mengajar kls sepuluh.

"Cepat makan"

"Lo gak makan?" tanya Tari saat melihat hanya sepiring nasgor di depannya. Aris gak mendadak kere kan?

"Lo aja, gue udah sarapan tadi sebelum nyamperin lo. Lo kan juga belum sarapan"

Cewek itu menatap Aris, dari mana cowok itu bisa tau ia belum sarapan. Tari memicingkan matanya, "lo tau dari mana gue belum sarapan?" ketus cewek itu.

"Bang Billy yang bilang" Tari hanya beroh ria lalu melahap nasi goreng itu.

***
Jam menunjukan waktu pulang untuk para siswa, membuat suara riuh sorak kebahagian meliputi mereka.

Seperti cewek satu ini, rasa senang sekaligus sedih. Selalu saja pulang sendirian batin Tari berbicara.

Memang rumah Tari beralawanan arah dengan Feby, lagi pula tidak ada orang yang akrab denganya selain Feby.

Tari mengayuh sepedanya dengn cepat, agar cepat juga sampai dirumah. Cewek itu bersenandung ria di jalanan sepi itu.

Jalanan yang biasa terlihat sepi itu, seketika ramai dengan suara drum motor. Tari melebarkan matanya melihat sepuluh motor sport hitam melewatinya.

Brummm

Tari memberhentikan sepedanya, ia kira motor itu hanya melewatinya saja. Tapi dugaan nya salah, sepeluh motor itu memutarinya membuat cewek itu takut.

Tari turun dari sepedanya, dengan lemas cewek itu meletakan sepedanya begitu saja di jalan. Tari menatap motor yang mengelilinya, membuat peluh keringan menetes di dahinya.

Tanganya menggenggam erat tas ranselnya, matanya berkeliaran mencari jalan keluar.

Sepeluh motor itu berhenti mengelilinginya, salah satunya melepaskan helm dan mendekatinya.

Tari menatap orang itu yang merupakan cowok, mereka sama dengan jaket yang sama.

"Lo adiknya Billy kan?" Tari terkejut bukan main atas pertanyaan itu. Bagaimana bisa cowok dihadapnya tau, jika ia adik dari seorang Billy.

Seringai kecil tamapk di sudut bibir cowok itu, "tidak salah lagi. Lo adiknya Billy" ucapnya.

Mata nya melirik sekitar, berusaha payah Tari mencari jalan keluar dari kepungan motor itu. Saat sudut matanya melihat sedikir rongga untuk bisa lolos dari sana, Tari menyakinkan dirinya agar bisa kabur dari sana.

Cowok di depanya melangka semangkin dekat padanya, hitungan ketiga langkah cowok itu, sekuat mungkin Tari berlari ke belakang.

Tari menyikut cowok yang menghalanginya pergi, saat berhasil membuat cowok itu sedikit kesakitan. Tari berlari menjauh dari sana, ia berlari denan sekuat tenaga. Tujuannya hanya satu, menjauh dari sana.

___________
Jangan lupa Vote sama Komen ya

Kisah MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang