Part 6

9 0 0
                                    


"Heh, sedang apa kamu bersama Risya?" Teriakan Bayu merusak suasana, mengapa orang ini selalu datang tidak tepat pada waktunya. Baru saja aku dapat memandang Risya lebih lama.

Aku tidak mau memicu keributan, lalu meninggalkan mereka tanpa menghiraukan perkataan Bayu.

"Sigit, diam-diam kau menyukai Risya." Ledek Febri saat aku menghampiri mereka. Aku mengambil untuk handuk kecil yang ada di dalam tas untuk mengelap tubuhku yang basah.

"Git, kapan nih makan-makan," ucap Achonk sambil menyenggol bahuku.

Semua anak basket akhirnya tahu aku menykai Risya, "apa sih, gak ada makan-makan."

"Lancar nih kayanya," Bima membuatku semakin malu.

"Lancar apanya sih, udah lah aku mau balik." Aku melangkahkan kaki menuju parkiran. Achonk masih saja mengikutiku dari belakang.

"Gimana, Git?" ucap Achonk merangkul bahuku.

"Apanya yang gimana." Aku mengalihkan pembicaraan.

"Itu, Risya." Dia malah memperjelas namanya. Semua orang yang ada di parkiran seketika mentap ke arahku.

Aku hanya melirik Achonk tanpa banyak bicara. Akhirnya Achonk paham dan dia terdiam. "Balik duluan ya, Git." Achonk dan Febri mengendarai motornya.

Aku pun melajukan motor matic berwarna merah milikku. Belum jauh dari sekolah motor malah mogok, aku memperbaiki motor sejenak. Saat itu aku melihat gadis itu di bonceng oleh Arka. Dia menatap sampai wajah gadis itu tak nampak oleh mataku.

Jujur aku iri dengan Arka yang dapat memboncengnya. Sedangkan mengapa aku begitu sulit untuk mendekatinya. Tuhan jika dia memang untukku maka mudahkanlah aku dalam mendekatinya. Tetapi jika dia bukan untukku maka buatlah dia menjadi milikku. Hanya doa itu yang selalu aku ucapkan saat itu.

Aku menutup kembali buku diary milik Sigit, air mataku terus menetes saat membaca lembar demi lembar buku itu. Bayangku seakan kembali ke masa putih abu-abu bersama Sigit. Andai saja waktu bisa di putar kembali mungkin aku akan lebih jujur dengan perasaanku atau aku akan lebih peka dengan perhatian yang Sigit berikan kepadaku.

Waktu sudah menunjukan pukul 02.00 saat aku melirik ke arah jam dinding yang menepel di kamar. Aku melihat sejenak ke arah Arka yang sudah tertidur pulas. Masih banyak yang membuatku penasaran dengan isi buku diary Sigit ini, aku coba membuka lagi buku itu perlahan, melanjutkan ke lembar berikutnya. Terlihat tulisan yang di tulis oleeh Sigit dengan tinta hitam, tulisan itu sudah usam tetapi masih dapat aku baca.

28 September 2005

Pagi ini lagi-lagi aku terlambat datang ke sekolah dan seperti biasa mendapat hukuman untuk lari mengelilingi lapangan. Terlihat pagi ini Risya sudah duduk di depan UKS menggunakan baju olahraga, sepertinya hari ini pelajaran olahrahraga di kelas gadis itu. Risya yang nampak ceria sedang bersenda gurau bersama lima teman wanita lainnya. Sesekali aku melihat Risya seperti sedang mengamatiku. Tetapi apa mungkin dia memperhatikanku atau ini hanya perasaanku saja. Akh sudahlah!

"Sigit kamu mau lari atau melamun," teriak bu Novi guru piket hari ini.

Aku segera menyelesaikan tugasku untuk lari mengelilingi lapangan, terdengar Risya mentertawaiku bersama teman-temannya. "Woy makanya punya uang tuh buat beli jam biar gak terlambat mulu." Aku masih bisa mengingat jelas suaranya saat itu ketika dia mengejekku. Semakin gadis itu mengejekku semakin aku gemas di buatnya. Penantian yang aku tunggu akhirnya tiba gadis itu berjalan tepat ketengah lapangan, aku menghampirinya secara perlahan dan menarik bajunya dari belakang.

"Eh pe'a, kamu tuh apa-apaan sih, lepas!" teriak gadis itu yang semakin membuatku tertawa kecil. Aku terus menarik gadis itu hingga ke depan UKS. Baru saja aku akan mengerjai gadis itu tiba-tiba Arka datang dan berlaga seperti pahlawan kesiangan.

"Hey kalian, bubar! Lihat ini sudah waktunya belajar bukan untuk main-main." Arka menghampiri kami, aku muak melihat wajahnya itu. Aku segera meninggalkan mereka menuju kelas, sesekali aku menoleh ke belakang terlihat Risya yang sedang tersenyum kepada Arka, aku mengepalkan tangan dan berlari menuju kelas.

Sesampai di kelas teman-temanku bersiap untuk keruang laboratorium, aku segera menaruh tas dan menujun laboratorium. Aku senang sekali karena dapat memandang Risya yang ada di lapangan. Aku mengambil posisi yang menghadap jendela, terlihat Risya yang mengkerutkan dahinya karena kepanasan saat mengikuti olahraga.

Sayang aku hanya bisa memperhatikannya saja tanpa bisa menyejukannya. Makin lama wajah Risya semakin pucat sepertinya dia sakit tetapi kenapa gadis bodoh itu tidak beristirahat saja dan tidak melanjutkan olahraga ingin rasanya aku berteriak seperti itu kepadanya.

"Risya!!!" Terdengar beberapa orang meneriakinya, kami semua yang di dalam laboratorium ikut berlari keluar terlihat Risya terjatuh dan tak sadarkan diri. Aku segera berlari menghampirinya dan menggendongnya menuju UKS. Hari ini aku tidak perduli dengan orang-orang yang memperhatikanku yang terpenting adalah aku bisa menyelamatkan Risya. Tubuh gadis itu aku baringkan di atas dipan kayu yang berlapis kasur, aku segera mencari minyak angin untuk menyadarkannya.

Beberapa temannya membantu menaruh bantal di bawah kaki Risya katanya sih agar aliran darah dia kembali normal menuju otaknya. Aku tidak paham soal hal itu biarlah mereka yang ahlinya anggota PMR yang melakukannya.

Matanya mulai bergerak-gerak aku mundur perlahan meninggalkan gadis itu bersama teman-temannya dan guru olahraga, aku lihat dari balik jendela gadis itu telah membuka matanya perlahan syukurlah perasaanku menjad lega dan aku bisa mengukir senyum lagi di bibirku ini. sungguh aku sangat khawatir bila terjadi sesuatu terhadapnya.

"Heh ngapain kamu disini," ucap Bayu menepuk bahuku. Bayu melihat ke dalam UKS dan melihat Risya, pria itu menarik kerah bajuku, "ngintip ya?"

"Apa sih, rugi ngintip cewek di sekolah ini, tuh Risya pingsan." Aku menghempaskan tangan Bayu dan pergi meninggalkannya.

Terlihat ke khawatiran di wajah Bayu saat itu, dan dia langsung lari menemui Risya.

Bel istirahat aku masih saja memikirkan keadaan gadis itu, akh bayangan wajahnya tadi masih terlihat jelas dimataku.

Risya andai kau tahu betapa khawatirnya aku saat melihat kau terluka. Betapa aku tak bisa berpikir jernih saat ini, yang ada di otakku hanya kamu dan kamu. Andai saja bel ini bisa berbicara ingin aku menitip pesan untuk mu, mryampaikan betapa aku peduli terhadapmu.

Bagiku kamu adalah separuh jiwaku, bila kau terluka aku akan jauh terluka. Bila kau bahagia aku adalah orang yang akan pertama tersenyum melihat kebahagiaanmu.

Bayangmu adalah bayang ku, rindumu adalah rinduku, lukamu begitu melekat dihatiku, tak ada satu pun yang bisa mengobatinya selain kehadiranmu.

Saat kesunyian datang melanda hati.
Saat kata tak lagi bisa terucap.
Saat cinta mulai menakuti.
Saat itu aku tak mampu untuk mendekatimu.
Meski langit tak berpihak.
Pada dasarrnya aku tak mampu beranjak.
Aku hanya pria bodoh yang tak bisa mengungkapkan rasa.
Mungkin akan ku simpan hingga mata tak lagi terbuka.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 15, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Saat Cinta Tak Harus Memiliki ( Sigit Diary's)Where stories live. Discover now