Bagian I: Moon Luna

382 35 13
                                    

Senyuman milik gadis berambut pendek itu sudah terbit kendati pintu gerbang SMA Nuri masih di ujung pandangan. Langkahnya ringan dengan dua tangan memegang tali tas ransel berwarna ungu muda miliknya. Satu dua sapaan terdengar saat dia melintasi halaman depan sekolah yang luas. Banyak orang memanggilnya dengan sebutan.

"Luna!"

Moon Luna, gadis yang kerap kali melempar senyum lebar pada tiap orang yang dijumpainya. Dikenal sebagai gadis ceria dan murah senyum di angkatannya. Dicap menjadi satu-satunya orang yang tak pernah marah karena sejauh mereka mengingat, Luna tak pernah menunjukkan wajah kesal apalagi marah.

"Jangan teriak pagi-pagi, Jihee. Kasihan suaramu," balas Luna yang didampingi Jihee dalam langkahnya memasuki gedung SMA.

Keduanya adalah sahabat karib sejak kelas sepuluh. Selalu menempati kelas yang sama menjadi satu poin tambahan yang mendekatkan mereka berdua hingga sering disebut anak kembar. Langkah keduanya menaiki tangga menuju lantai tiga, tempat dimana kelas dua belas berada.

Ya, mereka sudah memasuki tahap akhir dalam masa SMA, menjadi tingkat terakhir sebelum lulus dan mencoba masuk di universitas yang diinginkan masing-masing. Setelah memasuki kelas yang hampir dipenuhi setengah populasi anggotanya, Jihee menarik tangan Luna menuju dua bangku kosong di sisi kiri kelas. Tempat itu berada di samping jendela luar, angin sepoi-sepoi terasa dari jendela yang dibiarkan terbuka.

Luna memilih duduk di bagian pojok karena dia suka menyandar pada tembok ketika mengantuk saat jam pelajaran. Sedangkan, Jihee duduk di bagian pinggir karena gadis itu tidak bisa duduk diam dan suka sekali berkeliling ke bangku orang lain.

"Harus ya ada upacara penyambutan murid baru?" tanya Luna pada sahabatnya yang sibuk bermain ponsel pintar.

Jihee menengok pada sahabatnya, mengangguk pasti dengan semangat yang memancar dalam netra sehitam arang gadis itu.

"Iya, harus! Aku ingin mencari gebetan baru yang imut-imut, Luna!"

"Dasar budak cinta," sindir Luna sembari merotasikan bola matanya malas.

Saat kantuk menyerang Luna yang tak melakukan kegiatan apapun dan sedang menunggu bel masuk berbunyi, suara keras dari tas yang dilempar ke atas meja di belakangnya membuat gadis itu hampir terlonjak kaget. Dia sudah bersiap akan memarahi pelakunya sebelum suara berat itu berujar, "Ah, maaf. Aku sedang buru-buru."

"Siapa dia?" tanya Luna sebab merasa asing dengan wajah rupawan teman sekelasnya.

"Kau tak tahu Kim Taehyung?"

Luna menjawab dengan gelengan. Irisnya melempar tatapan polos pada Jihee yang menepuk jidat karena tak percaya. Jihee menarik lengan Luna agar mendekat, membisikkan beberapa kalimat yang sukses membuat Luna mengangguk paham.

"Dia itu Kim Taehyung. Atlet sepak bola SMA kita. Tahun lalu ditawari jadi pemain tetap tim nasional, tapi dia menolak. Kabarnya, dia sering gonta-ganti kekasih dan semua gadis itu dari SMA lain."

"Itu sungguhan?"

"Tentu saja. Kau tak meragukan kemampuan hebat milik Park Jihee, bukan?"

Luna tersenyum kecil, meraih lengan ramping sahabat karibnya dan bersandar di bahu gadis itu. Dia membalas, "Mana mungkin aku meragukanmu, Jihee. Kau, kan, sahabatku!"

Jihee pun tersenyum lebar bersamaan dengan bel masuk yang memenuhi lorong dan kelas. Mungkin hobi Jihee adalah menarik lengan Luna sebab setelah mendengar bel masuk itu, tanpa menunggu pengumuman sekolah, Jihee sudah membawa keduanya menuju lapangan belakang yang digunakan sebagai tempat upacara.

Luna hanya menurut saja. Berdiri di sisi Jihee yang celingukan memandang barisan adik kelas mereka. Memang sahabatnya yang satu ini selalu berkoar-koar akan mendapat kekasih yang lebih muda karena menganggap mereka menggemaskan.

Upacara dimulai dengan cukup khidmat meskipun masih ada suara bising dari kumpulan orang yang tidak bisa diam. Salah satunya adalah Park Jihee.

"Luna, lihat itu! Adik yang itu lucu, ya!"

"Jihee, kau bisa ditarik ke belakang oleh guru penjaga. Diam dulu."

"Luna, mulutku ini tidak tahan kalau disuruh diam. Bagaimana kalau aku malah jadi bisu?!"

"Jangan bercanda seperti itu, Jihee. Kau tahu aku tak suka topik sensitif begitu," gumam Luna yang netranya masih fokus pada Kepala Sekolah SMA Nuri yang memberikan pidato.

"Iya-iya. Maaf."

Luna diam, tidak membalas perkataan Jihee. Hal itu membuat Jihee mengganggu Luna agar gadis itu menerima permintaan maafnya.

"Aku dimaafkan, kan, Luna? Dimaafkan, kan?"

Luna tidak menggubris, memilih melempar pandangan ke kiri. Barisan yang dipenuhi anak-anak lelaki itu tak sengaja tertangkap di obsidian Luna. Namun, satu hal yang membuatnya sangat heran. Pria yang pagi tadi membuat Luna kaget sepertinya mengawasi gadis itu sejak tadi karena pandangan mereka tak sengaja bertemu. Luna mencoba menghilangkan praduga anehnya sebab untuk apa juga Taehyung melihatnya diam-diam.

"Luna!"

"Hm?"

"Kau mendengarkanku tidak, sih?!"

Luna menahan kekesalannya dalam diam, membagi senyum tipis pada Jihee yang merengut marah.

"Iya, aku mendengarkanmu, Jihee. Sudah kumaafkan. Jadi, diam dan simak saja pidato Pak Juho di depan sana."

"Tidak mau!"

Luna bersusah payah agar tidak memukul gadis yang keras kepala itu. Dengan sabar, dia berkata, "Tetapi, dia itu ayahmu, Park Jihee. Kau mau jadi anak durhaka atau bagaimana?"

"Cih, dia saja hanya menganggap Kak Jimin sebagai anak dan mengabaikanku. Buat apa aku hormat padanya."

Jihee melipat lengan di depan dada, mengomel sebal karena Luna mengungkit-ungkit hubungan antara dia dan kepala sekolah yang realitanya adalah ayahnya.

"Jihee, kau pasti akan menyesali perkataanmu itu. Banyak orang di luar sana yang tidak akur dengan keluarganya dan ditelantarkan. Kenapa kau tak bersyukur atas apa yang kau miliki?"

"Mulai lagi ceramahnya," dengus Jihee emosi.

Luna membalas, "Aku hanya menyampaikan ini karena kau sahabatku, Jihee. Aku ingin kau tak menyesal esok hari."

Namun, Jihee memilih tak peduli. Luna yang sejak tadi menahan kekesalan dalam hati memilih mengepalkan telapaknya erat-erat hingga rasanya kuku jarinya bisa melukai telapak tangan yang mulai memerah itu.

Sejujurnya, Luna paling benci pada manusia tidak tahu bersyukur seperti sahabatnya. Alih-alih menyayangi keluarga utuhnya, Jihee malah memancing masalah dengan keluarga sendiri. Kadang Luna berharap bahwa dia yang berada di posisi Jihee, menjadi putri dari orang terpandang dan memiliki kakak lelaki yang menjaga dan menyayanginya sepenuh hati. Namun, angan hanyalah angan. Semua hal yang Luna idam-idamkan itu bukan milik Moon Luna. Dia menyadari takkan ada yang berubah meskipun dia berdoa setulus apapun pada Tuhan di atas sana.

Masa lalu dan keluarganya yang tak utuh takkan bisa berubah sebanyak apapun Luna mengharap anugerah. Sebab itu, di masa kini dan mendatang, Luna hanya berharap dia bisa melewati hari tanpa takut ditinggalkan, menjadi orang lain dan berusaha disayangi semua orang walaupun itu dengan cara berpura-pura sekalipun.[]

Tristful. [ Kim Taehyung ]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz