bab 4.

126 7 0
                                    

Haloooo....semoga nggak bosan dengan cerita saya...dan terima kasih sudah baca. ..

Calla bangun lebih awal dari biasanya. Ia segera mandi dan berdandan. Kali ini ia memakai blus warna hijau tua dan celana jeans warna biru. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari Calla mengingat usianya yang tak lagi muda. Ah itu tidak penting Calla masih merasa sangat muda, semangat yang ia punya seratus kali melebihi perempuan dibawah usianya. Calla merapikan anak rambut yang belum terikat sempurna lalu menatap cermin sekali lagi dan ia siap untuk pergi.

Calla tiba dengan wajah sumringah dan ia berharap akan mendapatkan berita yang menggembirakan. Calla bertemu dengan Toby, kepala keamanan Superior Agency.

"Hai, Toby. Apa kabarmu?", sapa Calla ramah.

"Wah, Calla lama tidak berjumpa denganmu. Kau kemana saja?", Toby menghampiri Calla dan memeluk wanita itu.

"Aku...baru saja pulang dari kota kelahiranku, tiga hari yang lalu. Aku mendapat libur dari Nyonya Marta", jawab Calla malu-malu.

"Baiklah aku harus segera menemui Nyonya Marta sampai jumpa Toby", kepala keamanan berambut cokelat itu mengangguk dan meninggalkan Calla.

Calla mengetuk pintu berwarna putih dengan perlahan, ia tahu Marta DeWitt tidak suka keributan.

"Iya masuk", terdengar suara dari dalam ruangan. Calla membuka pintu pelan-pelan dan tersenyum pada Marta. Ia mengernyit karena ada seorang perempuan muda yang duduk di sebelah Rose.

"Selamat pagi Nyonya Marta, senang bisa bertemu denganmu lagi", sapa Calla jujur. Marta hanya tersenyum kaku lalu menyuruh Calla duduk tanpa suara. Calla mengernyit penasaran dengan sikap Marta yang tampak ogah-ogahan menemui dirinya. Calla mencoba bersabar dan menyapa perempuan muda itu.

"Baiklah, aku tidak perlu basa basi lagi Calla. Maaf, Sayang mulai hari ini kau dipecat", wajah Calla berubah pias. Kedua matanya membesar seketika ia tidak mempercayai pendengarannya.

"Mak--maksud Nyonya apa?. Dipecat?. Saya bahkan tidak melakukan apapun yang mengecewakan anda!", suara Calla meninggi.  Marta berdiri dari duduknya dan menatap Calla dengan tatapan menantang.

"Apapun bisa aku lakukan, Sayang termasuk memecatmu", ujar Marta sinis. Calla berganti menatap perempuan muda di sofa lalu memandang Marta datar.

"Apa dia penggantiku?", tanya Calla tajam.

"Ya bisa dikatakan begitu", jawab Marta singkat. Ia lalu kembali ke mejanya dan mengeluarkan sesuatu dari laci.

"Ini pesangon selama kau bekerja disini, kuharap kau mau menerima", Rose meletakkan sebuah amplop coklat dihadapan Calla. Lalu ia melipat dada. Marta menunjuk amplop dengan dagu dan seakan tahu sikap Marta, Calla segera mengambil amplop dan beranjak pergi dari agensi tanpa mengucap terima kasih. Persetan dengan kalimat itu, batin Calla.

"Ya Tuhan, Calla kau sungguh tak tahu sopan santun!", teriak Marta. Entah Calla mendengar atau tidak yang pasti untuk sekarang ia ingin menangis dikamarnya. Ia segera berjalan menuju flatnya dan membanting pintu sekeras-kerasnya. Hatinya hancur saat orang lain menilai dirinya sudah tak layak. Tangisannya semakin keras dan akhirnya Calla jatuh tertidur.

Calla membuka kedua matanya dan merasakan sekujur tubuhnya terasa kaku. Ya Tuhan, apa yang aku lakukan, batin Calla. Mungkin sikap ini tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita seperti ini dia. Harusnya ia bisa mengendalikan emosi dengan baik. Tapi memecat tanpa alasan dan memberikan pesangon yang kurang menurut Calla, itu tidaklah benar.

Ia segera bangkit dari lantai dan berjalan gontai menuju kamar mandi dan membiarkan amplop coklat itu berserakan di lantai yang dingin.

Calla menghadap cermin bundar di ruang tidur dan melihat wanita yang rapuh. Apa yang akan aku lakukan sekarang, pikir Calla. Lalu ia menangis lagi.

Calla mempunyai gagasan yang sebenarnya ia sedikit enggan untuk memulainya. Ia akan kembali lagi ke Brock City. Lalu bagaimana dengan janjinya pada sang bibi bahwa ia akan sukses di Metroland. Ah, Calla memijat dahinya kepalanya terasa pening saat ini.

Suara ponsel berdering dan tanpa melihat siapa penelponnya Calla mengucap halo. Ternyata Steve. Otak Calla berputar dan tepat pada satu ide gila.

"Aku akan menginap beberapa hari di apartemenmu", Calla tersenyum mendengar gerutuan Steve. Entah setuju atau tidak yang terpenting sekarang Calla sudah mempunyai tempat tinggal.

Tak lama setelah Steven mematikan ponselnya terdengar ketukan pintu.

Steven membuka pintu apartemennya dengan malas. Pria dua puluh sembilan tahun itu menatap heran saat Calla menerobos Steve.

"Hei, tidak bisakah kau menyapa dengan sopan?", Calla hanya menoleh dan menatap datar sang adik lalu meletakkan seluruh barang di sofa depan televisi.

"Wajahmu benar-benar payah. Ada masalah?", Steve duduk mendekat.

"Aku dipecat dari agensi dan sekarang aku jobless. Dan kau tahu....aku juga diusir dari apartemen", keluh Calla. Ia menutup wajah dengan kedua tangan.

"Wow...kau...pengangguran?", sindir Steven. Calla membalas ucapan Steve dengan pandangan tajam. Steve terkikik melihat wajah kakaknya yang menyerupai kepiting rebus.

"Ah, sudahlah", Calla mengibaskan sebelah tangannya.

"Aku pindah disini sekarang, tolong tunjukkan kamarnya", kalimat itu sukses membuat kedua mata Steven terbelalak.

"Tidak!", sahut Steve kesal.

"Kau tahu aku sudah memiliki teman sekamar", lanjut Steve.

"Siapa?" tanya Calla pura-pura tidak tahu.

"Kau bertemu dengannya dua Minggu lalu", jawab Steven santai.

"Pria dingin itu?. Kami bisa sekamar?", mata Steve membulat sempurna mendengar ucapan Calla.

"Tidak bisa!. Kalian belum menikah", Steve menghalangi Calla menuju kamar.

Calla mengerutkan kening. "Sejak kapan kau menjadi kolot?. Lalu suara aneh yang sering kudengar saat aku menginap disini itu apa?", kedua alis Calla naik turun. Steve menjauh dari kakaknya dan mengambil air dari dispenser.

"Ayolah, Steve. Aku akan membayar biaya kebutuhan kalian. Tapi...setelah aku mendapat pekerjaan", Calla melenggang kearah kamar Steve dan menutup keras pintu.

Steve hanya melongo melihat kamarnya tertutup rapat. Ia mengusap wajahnya dan berpikir bagaimana caranya ia mengatakan pada Ian.

****

In Love With YouWhere stories live. Discover now