16; Memoriae

1.6K 266 7
                                    

Bintang bertaburan di langit, membuat dua orang yang tengah berdiri di atas balkon terus merasakan takjub. Felix sibuk memperhatikan bagaimana bintang-bintang itu bertabur dengan acak, seolah tidak ditata. Sedang Jeongin di sebelahnya, bingung sekali memikirkan tentang dunianya.

Apa yang dilakukan ibunya di rumah? Mungkin saja bintang-bintang yang ia lihat saat ini juga dilihat oleh keluarganya di sana, bukan? Jeongin menghela napas. Tidak mengetahui kabar orang-orang yang ia sayangi, terkadang membuatnya kalang kabut.

"Aku merindukan mereka," ujar Jeongin singkat. Tatapan matanya tetap mengarah pada cahaya terang di angkasa malam.

Felix mengerjap perlahan. Tak mengerti dengan siapa yang dimaksud oleh temannya ini. "Siapa yang kau maksud?"

"Keluargaku. Mereka tidak tinggal di Amissa." Jeongin mengeluh pelan. Kecil betul suaranya, hingga Felix sendiri nyaris tak mendengar keluhan itu.

Pria dengan freckless itu tersenyum, mulai mengangguk takzim. Bagaimana pun, keluarga memang akan dirindukan. Entah kondisi apa yang sedang kau alami. Bahagia atau sedih, takut atau berani, ramai bahkan sepi. Bagi Felix--- walau ia tak banyak mengingat kata keluarga ---mereka tetap sesuatu yang tak bisa dilupakan.

"Mereka pasti juga merindukanmu, Jeongin."

"Mungkin mereka sudah mencariku ke banyak tempat. Barangkali mereka menyibukkan polisi, mendesak untuk segera menemukanku," ujar Jeongin. Kini ia menurunkan kepalanya, lebih memilih menatap ubin indah yang tengah ia pijak.

"Polisi?" Felix mengernyitkan alis. Profesi polisi tidak pernah ada di dunia ini. Bahkan, kata itu pun tak pernah masuk atau bahkan melewati pendengarannya.

Jeongin tertawa pelan, lucu sekali melihat ekspresi kebingungan yang dilontarkan oleh temannya. Jika dibandingkan, mungkin Felix adalah wujud lain dari sahabatnya, Jisung. Perbedaannya hanya terlihat dari akal pikirannya. Felix sedikit lebih pintar daripada Jisung.

"Itu... Sejenis petugas keamanan? Pekerjaan untuk menjaga keamanan masyarakat. Yeah, kira-kira seperti itu."

"Ah!" Felix membulatkan mulutnya, mengangguk mengerti. "Dengar, hal seperti itu tak akan berjalan di Amissa. Keamanan masyarakat? Bagaimana itu bisa dilakukan jika Hyunjin suka sekali dengan daging manusia? Justru polisi itu yang akan diterkam hingga tersisa tulang."

Felix tertawa, memperagakan tangan yang siap menerkam. Jeongin ikut tertawa, entah kenapa ini bisa membuat perutnya sakit karena tawa.






"Kalian pikir siapa yang kalian tertawakan?" Suara Hyunjin menginterupsi dari belakang punggung Jeongin dan Felix.

Keduanya terdiam, membeku untuk sementara waktu. Sedikit demi sedikit, Jeongin memberanikan dirinya untuk menoleh ke belakang. Ia tersenyum, menampilkan gigi-giginya dengan sangat manis. Kalau saja Hyunjin tidak pintar mengendalikan ekspresi, ia pasti sudah bergulung di lantai karena overdosis dengan tingkah lucu Jeongin.

"Menertawakanmu," ujar seseorang yang memiliki aroma sedap malam itu. Ia tetap mempertahankan senyumannya yang terkesan kikuk. Baiklah, masa bodoh jika ini terlihat konyol.

"Karena?" Hyunjin kembali bertanya, mengeluarkan nada dingin bagai rutinitas hariannya.

"Karena kau memakan manusia." Felix mencicit, mengeluarkan suara serendah mungkin. Ia melirik Jeongin, kemudian bertanya dalam hati mengapa Jeongin terus tersenyum dengan kikuk? Apa dia tidak takut kalau giginya mengering?

"Jeongin, kau manusia bukan?" Seringai lebar muncul dari bibir tebal Hwang Hyunjin, membuat dua laki-laki di atas balkon meneguk ludah bersamaan.

Hyunjin melangkahkan kakinya, berjalan mendekat. Ketika Jeongin mematung, Felix justru melakukan teleportasi dengan cepat. Berpindah ke depan pintu masuk ruangan. Melihat hal itu, Jeongin memelototkan matanya pada Felix. Mengisyaratkan lewat tatapan; kau tidak mengajakku!?

Felix tersenyum lebar, lalu mengangkat tangannya di atas kepala dan mengisyaratkan semangat. Hyunjin hanya melirik, lalu kembali mengalihkan atensinya pada seseorang yang berjarak semakin dekat padanya.

"Kau takut padaku?" Hyunjin kembali melangkah, hingga tersisa jarak lima kaki yang menjembataninya dengan sang kekasih.

Satu langkah lagi ia ambil, otomatis membuat Jeongin menahan napas. Hyunjin kembali menyeringai. "Katakan, kau takut padaku?"

Jeongin menggeleng cepat. Ia tahu Hyunjin tak akan melakukan hal buruk padanya. Ia tahu itu. Namun, kenapa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari kondisi normalnya? Astaga, bagaimana mungkin ia merasa takut dan gugup di saat yang bersamaan hanya karena Hyunjin terlihat intensif seperti ini?

Satu langkah lagi, yang Hyunjin ambil. Masalahnya, ini bukan langkah normal seperti sebelumnya. Ini langkah lebar, mungkin terukur dua kali langkahnya tadi. Ia tersenyum, mulai mengangkat alisnya. Jaraknya terlampau dekat dengan Jeongin.

"Kau takut?" ulangnya sekali lagi. Jeongin menggeleng tegas. Walau pun mulutnya kelu untuk berbicara, tapi organnya yang sehat harus mau dikendalikan.

Dep! Satu dekapan telak merengkuh tubuh Jeongin. Lagi-lagi, pelukan seperti ini datang dengan cepat. Tanpa aba-aba atau apa pun. Jika diteruskan, bagaimana caranya Jeongin tidak kesulitan untuk tidur setiap malam?

"Jika kau ketakutan, aku akan mendekapmu seperti ini. Jadi, tolong jangan khawatir," ujar Hyunjin sembari mengelus perlahan rambut Jeongin. Perlahan, yang direngkuh pun mengulurkan tangan. Balas mendekap punggung serigala ganas di hadapannya.

Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa Felix masih berada di ruangan itu. Dengan tatapan geli, ia mengernyitkan alisnya. Diam-diam ia mengutuk, kenapa hal-hal seperti itu belum terjadi dalam hidupnya? Ia menggeleng pelan, merasa menjadi pengganggu.

"Astaga, bahkan saat masih bersama Seungmin, ia tidak melukakan hal-hal sok romantis seperti itu," ucapnya berbisik sambil mengendap keluar dari ruangan.

Bllrzzt! Sebuah kilat muncul dari telapak tangan Felix. Ia membulatkan matanya, merasa terkejut. Sengatan listrik itu menjalar, hingga lehernya terasa seperti dicekik. Hanya sebentar, namun rasa terkejutnya tidak bisa dibilang main-main.

Sekelebat ingatan tiba-tiba muncul di kepalanya. Membuatnya pening, lalu terhuyung karena sakit kepala yang terasa dahsyat.






"Aku tanya, siapa kau?" Felix meremas ujung celemeknya. Menggigit bibir hingga rasanya ia mampu mencungkil lapisan bibir itu.

"Seo Changbin. Ada apa dengan wajahmu?"




"Kau manis, boleh aku mengenalmu?" Changbin terkekeh geli. Selain karena akal-akalan otaknya agar Felix berhenti curiga, ia mengakui bahwa pelayan ini memang manis.

Felix membalas jabatan tangan itu. Dan bagai disengat listrik, keduanya melepas jabatan tangan. Terkejut dengan efek yang terjadi. Kilatan kecil muncul di tangan kanan keduanya, kemudian mereda dalam beberapa saat.

"Lee Yongbok?"






Tangan kirinya bersandar pada dinding, sedang tangan kanannya memegangi kepalanya yang terasa pening. Napasnya terengah-engah, entah kenapa terasa melelahkan. Ada apa dengan orang itu? Felix menerawang pada lantai. Dengan penglihatan yang buram, ia tetap memaksa dirinya untuk berjalan menuju kamarnya.

Mengapa ingatan tak berarti itu seolah menyiksaku terlalu dalam?

.
.
.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Lupi Frigus; HyunjeongWhere stories live. Discover now