One

7 2 0
                                    

Gadis itu menatap dirinya di cermin, memperhatikan penampilannya, yang tentu saja, biasa. Aryna Lilian namanya. Hidupnya sederhana. Ia bukan gadis yang terlahir cantik dan punya segalanya. Bukan juga seorang putri atau anak konglomerat. Aryna hanya gadis biasa yang kebetulan diberkahi kepandaian luar biasa.

Merasa siap dengan seragam putih abunya, Aryna bergegas turun ke ruang makan untuk sarapan. Ada adiknya di sana. Namanya Arlina. Gadis yang hanya berbeda dua tahun dengannya dan bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Anak kesayangan mama.

Tanpa berbicara apapun, Aryna bergegas duduk di salah satu kursi meja makan. Mengambil piring dan menyendok nasi goreng secukupnya. Tak lama, seorang wanita berumur 30 akhir ikut bergabung untuk sarapan di meja makan.

Talitha Hasan. Wanita yang bekerja sebagai pegawai negeri sekaligus ibu dari dua anak yang sedang sarapan bersamanya di meja makan. Talitha tersenyum pada anak keduanya, membuka percakapan.

"Lin, udah ngerjain tugas? Ada ujian gak hari ini?"

"Udah, Ma. Hari gak ada ujian, cuma review bab yang terakhir dipelajari aja," jawab Arlina singkat.

"Belajar yang benar ya, jangan lupa makan bekalnya," ujar Talitha memberi nasehat. Dan percakapan berhenti. Ya, tidak akan ada yang menanyakan keadaan Aryna, tidak akan ada, kecuali Papanya. Papanya yang sudah meninggalkannya ke surga.

Aryna menatap kedua orang di hadapannya sejenak, lantas menghabiskan sarapannya dengan cepat. Ia muak, tapi tidak pernah menunjukannya. Hanya tertawa dalam hati, menertawakan kemirisan hidupnya.

Setelah selesai dengan sarapannya, ia mencuci piring lalu menyedok sedikit nasi goreng ke kotak bekalnya dan memasukkannya ke dalam tas. Aryna mendekati Talitha tanpa ragu, mengambil tangan kanannya untuk disalami, tapi lagi-lagi, yang dia dapatkan hanya tepisan kasar dan buangan muka, seakan Aryna adalah objek paling menjijikan yang bisa mengotori tangan dan tatapannya.

Aryna menghela napas berat lalu berujar, "Aku berangkat sekolah dulu." Lantas melangkahkan kakinya keluar rumah. Menemukan presensi seorang laki-laki seumurannya yang menatapnya dari gerbang sambil tersenyum.

"Selamat pagi, Nana," sapanya sambil melambaikan tangan. Senyumnya makin melebar kala Aryna berjalan mendekat, mencetak lesung pipi yang cukup dalam, membuat jari Aryna gemas ingin menusuknya.

Valerio Pratama. Namanya memang sangat cool, orangnya juga cool. Tapi sifatnya akan berubah 180° jika sedang bersama Aryna, sahabat masa kecilnya. Valerio yang angkuh dan berwibawa akan berubah menjadi anak penurut nan riang di hadapan Aryna.

Aryna bergegas mengambil sepedanya di garasi dan menggiringnya ke luar gerbang, lantas membalas sapaan Valerio, "Selamat pagi, Rio."

Ya, Aryna dan Valerio memang terbiasa berangkat sekolah dengan bersepeda di saat teman-temannya yang lain berlomba-lomba memamerkan koleksi mobil mewahnya, yang tentunya, milik orang tua mereka. Padahal sejujurnya, Valerio adalah orang yang cukup berada. Ah, tidak, tapi sangat berada.

Setelah 30 menit mengayuh sepeda, Aryna dan Valerio sampai di sekolah. Mereka lantas memarkirkan sepeda di tempat parkir khusus sepeda dan berlalu ke kelas. Sepanjang perjalanan mereka ke kelas, beberapa pasang mata menatap mereka, lebih tepatnya, menatap Valerio. Pesona Valerio memang tidak bisa diragukan, terbukti dari banyaknya siswi yang mencoba berkenalan dan mendekatinya saat masa orientasi.

Meskipun begitu, Valerio bukanlah seorang playboy. Biasanya ia hanya menanggapinya dengan senyum dan jika sudah membuatnya tidak nyaman, maka Valerio akan memberikan tatapan menusuk yang langsung menciutkan nyali siapapun yang melihatnya. Kecuali pada Aryna tentunya. Bukannya beruntung, Aryna malah merasa sedikit takut.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dear YouWhere stories live. Discover now