7. Jagung Bakar

11.3K 1.5K 128
                                    

Ada yang mengetuk pintu rumah Arun tengah malam itu. Tentu saja Arun tak menyadari hal itu kalau si pengetuk tak menelepon dirinya berkali-kali tadi.

"Kenapa ke sini sih?" tanya Arun kepada tamu kurang sopan itu.

"Kenapa lama banget sih?" Taru mengernyit sambil menenteng tas koper kecil dan tas kerjanya. Pakaiannya masih seperti pakaian kantor; setelan jas hitam serta kemeja putih yang beberapa kancing bagian atas sudah dilepas.

"Masuk dulu, Pak," Utami yang baru menyusul di belakang Arun menyadarkan kedua pria itu untuk masuk dan menutup pintu. Tubuhnya berat tapi kantuknya hilang karena bombardir panggilan telepon dari Taru barusan. Setelah menelepon Arun terasa percuma, Taru memang menelepon Utami untuk membantunya membangunkan Arun.

"Sayang, kamu kok sampai ke sini? Udah tidur lagi aja ya..." Arun gelagapan melihat Utami menopang pinggangnya demi dapat berjalan. Perut Utami yang sudah semakin besar karena kehamilannya sudah masuk trimester ketiga itu membuat seluruh tubuhnya bekerja keras untuk hanya sekadar berjalan.

"Sorry, Tam, ngerepotin," kata Taru seadanya. Dalam hati, ia merasa bersalah karena membuat calon ibu itu terbangun. Tapi di sisi lain, ia pun tak tahu harus kemana. Ke rumah ibu hanya membuatnya diceramahi di sisa malam ini sementara ke rumah Pak Hutama hanya memperunyam keadaan. Datang ke tempat Arun adalah hal paling masuk akal yang bisa ia lakukan saat ini.

"Aku nggak apa-apa. Kamu siapin kamar dulu deh buat Pak Taru," kata Utami lembut pada suaminya.

"Dia di sofa aja deh, besok pagi juga pulang!" seru Arun sambil menatap Taru kesal.

"Nggak boleh gitu. Kamar tamu kan ada, siapin aja baju sama handuk di sana. Oke?" Utami mengusap wajah Arun. Seketika kemarahan sang suami menguap. Arun pun pergi mengikuti instruksi istrinya.

"Sorry," Taru mengulang permintaan maafnya dengan nada yang lebih mirip seperti penyesalan.

"Udah biasa, dulu kelakuan Mas Arun juga kayak Bapak begini," ucap Utami terkekeh. Ia duduk di sofa panjang, terpisah dari Taru yang tengah merebah lelah di sofa tunggal.

"Bapak diapain Mbak Adhisty?" tanya Utami.

"Dikunciin." Jawaban itu begitu singkat, tapi sanggup menggambarkan kepanikan Taru yang baru pulang dinas nyaris tengah malam tadi.

Utami menahan mati-matian tawanya agar tak lepas. Taru Bagus Darmawan, pria yang meraih titel orang kaya kesepuluh Se-Indonesia sebelum menginjak usia 40 tahun, dikunci istri di luar rumah.

"Udah telepon Mbak Dhisty belum?" tanya Utami pelan-pelan.

"Udah. Lagi sensi sama gue, nggak tahu kenapa," jawab Taru. Gayanua tak acuh, tapi Utami dapat menangkap keresahannya.

"Bapak nggak bilang kalau Bapak ada meeting di Bali," Utami pun memberitahukan sebab mengapa Adhisty kesal dengan Taru.

Tahu-tahu menghilang. Ada pertemuan bisnis di Bali tanpa memberi tahu Adhisty. Tak hanya marah sebagai istri, Adhisty pun merasa dilangkahi sebagai partner bisnis.

"Loh, kalau bilang emang dia mau apa? Mau ikut?" tanya Taru tanpa rasa bersalah. Kegundahannya meningkat di sini.

"Mau tahu dong, Pak. Dia kan istri Bapak, harus tahu Bapak kemana. Apalagi Bapak pergi ke sana selama tiga hari."

Taru mendesah panjang, desahan yang melepaskan kelelahannya terhadap Adhisty. Dua bulan berlalu dengannya hidup bersama perempuan itu dan rasanya tak beda seperti sedang mengontrak rumah bersama dengan seseorang.

Taru tak memberitahukan siapapun tentang bagaimana Adhisty memperlakukannya seperti orang asing daripada suami. Ia juga tak memberitahukan bahwa selama dua bulan ini mereka tak pernah tidur seranjang karena Adhisty selalu melemparkan pandangan tak suka tiap kali mereka berada di dalam kamar yang sama.

Unlovable Husband [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang