🌱17. perasaan Edgarka

49.6K 2.9K 18
                                    

OPEN PO




Vana menengok ke belakang,  menatap ke arah jalanan. Ia menangis, pandangannya kosong. Kedua tangannya bergetar. Hari ini, Vana resmi keluar dari rumah. Bukan hanya dari rumah, untuk sementara waktu juga nama keluarganya dihapus dari Devana Bhatia Cowdree menjadi Devana, ya, hanya Devana.

Vana sangat beruntung masih memiliki tabungan yang jumlahnya lumayan cukup sekadar biaya sekolah untuk beberapa bulan ke depan, menyewa kos-kosan dan biaya makan sehari-hari. Ia berjanji di dalam hati, kalau dirinya tidak akan kembali ke rumah itu lagi. Sesulit apapun ia hidup di sini, ia tidak akan pernah memohon-mohon pada mereka kecuali-- mereka sendiri yang memohon-mohon padanya untuk pulang.

Vana turun dari taxi online. Mengangkat koper besarnya ke luar dari bagasi.

"Vana?" panggil seseorang membuat Vana menoleh.

Orang itu adalah Edgarka. Dia menatap Vana khawatir sedangkan Vana menerka-nerka dalam hati, kenapa Edgarka selalu ada di saat dirinya kesulitan. " Ega?"

"Lo? Lo kabur?" tanya Edgarka sambil melirik koper besar di samping Vana.

Vana menggeleng. "Gue diusir. Gue puas banget mereka ngusir gue hahaha." Vana tertawa miris.

"Vana? Are you okay?"

"I'm fine but, this heart hurts," jawab Vana mencengkram dadanya kuat.

"Gue tahu."

Vana mendongkak, menaikan sebelah alisnya bingung. "Tahu?" ulangnya.

"Iya, gue tahu lo sakit," balas Edgarka dengan sangat tenang.

"Lo ngapain di sini?"

"Di sekitar sini ada pasar tradisional. Gue belanja ini." Edgarka menunjukan sebuah kantung plastik besar.

Vana mengangguk-ngangguk. "Yaudah gue mau cari tempat kos dulu."

"Gue punya tawaran bagus buat lo Van. Rumah gue lumayan luas, lo mau gak tingga di rumah gue? Tenang aja, gue gak sendiri di sana. Ada Bi Nari, yang udah gue anggap sebagai Ibu kandung gue sendiri," tawar Edgarka terburu-buru.

Vana menggeleng pelan. "Gue masih ada tabungan," tolak Vana.

"Simpan tabungan itu Van. Dari pada lo bayar kos-kosan mendingan duitnya buat nabung."

Vana berdecak. "Mana bisa orang nabung pake tabungan? Udah! Gue gak mau ngerepotin siapapun termasuk lo. Gue gak mau lo kasihan sama gue, biarin gue sendiri."

"Mau cara baik-baik atau gue culik lo," ancam Edgarka memaksa.

Vana menatap Edgarka datar. "Lo tahu 'kan? Gue gak suka dipaksa?"

"Denger gue baik-baik Vana. Gue mau bantu lo bukan kasihan! Asal lo tahu gue gak ada rasa kasihan-kasian sama orang!" tekan Edgarka.

OoO

Vana berdecak kesal. Saat ini ia berada di rumah Edgarka. Edgarka tidak memaksa dirinya melainkan merengek seperti anak kecil. Kata dia, dia ingin balas budi kepdanya karena telah menjaga dan merawat adik dia. Kata-kata basa yang selalu diucapkan oleh Edgarka.

Vana mengedarkan pandangannya ke segala sudut kamar. Kamar yang cukup luas untuk ia tempati, ini jauh dari apa yang ia pikirkan. Ia pikir keluarnya dari rumah itu ia akan tinggal di sebuah kos-kosan kecil dan panas tapi ternyata kamar ini sangat nyaman, walau tak sebesar kamarnya dulu.

Ia mengeluarkan sebuah foto dalam kopernya. Foto keluarga besarnya. Hanya ini yang ia bawa sebagai kenangan mereka. Difoto itu tampak bahagia sekali kecuali dirinya yang menoleh ke arah Shila dengan tatapan datar.

Vana & Shila [OPEN PO & KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang