BAB 05

419 85 52
                                    

"Gantinya, gue mau ngajak lo kerja sama," kata Sena tiba-tiba, menatap Nigi harap-harap cemas.

Nigi menaikan sebelah alis. Tidak langsung menjawab.

"Albert bilang dia bakalan bayar berapa pun fee-nya kalo lo mau."

Satu detik. Dua detik. Nigi masih belum juga menjawab. Barulah di detik ke-lima, cewek itu akhirnya membuka suara, menatap Sena dengan wajah luar biasa datar.

"Lo gila?" kata Nigi tanpa disangka-sangka, sukses membuat Sena yang mendengarnya seketika mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha memastikan telinganya agar tidak salah dengar. "Lo dateng-dateng ke gue minta maaf terus tau-tau minta bantuan?"

"Bukan minta bantuan, tapi kerja—"

"Sama aja," potong Nigi cepat. Masih dengan raut datar tanpa minat. "Lo mau nyewa bantuan gue kan, makanya bisa repot-repot minta maaf?"

Sena mengantupkan mulut. Pura-pura melihat ke arah lain.

Nigi geleng-geleng kepala sambil berdecak. Matanya menatap Sena dengan pandangan mencemooh sekaligus tak habis pikir. "Bilangin sama si Thomas, khusus buat kalian bertiga, gue enggak nerima tawaran apa-apa."

Sena mengernyit dalam. "Thomas? Thomas siapa?"

"Temen lo yang mau bayar fee."

"Namanya Albert ya, bukan Thomas!" sergah Sena dengan muka tersinggung berat. "Dia bukan kereta."

"Pokoknya gue enggak ngeladenin klien kayak kalian."

"Bisnis lo illegal ya di sekolah, gue bilangin ke Bu Ida."

Bu Ida adalah guru kedisiplinan di sekolah. Hobinya sudah jelas, patroli ke sana kemari untuk memburu dan membekuk murid-murid bandel yang berani mencoba-coba melanggar aturan dan tata tertib di sekolah.

"Illegal apaan!"

"Lo narikin tarif buat orang-orang yang cerita sama lo, abis itu lo pake informasinya buat memeras murid-murid yang lemah!"

Nigi berdecih. "Radit maksud lo yang lemah? Dia aja ngancem bakal mukul gue, bilang kalo dia gak pernah pandang bulu kalo mau mukul orang."

"Ya justru itu maksudnya." Sena menatap Nigi sekilas sebelum akhirnya membuang muka. "Lemah otak," lanjutnya dengan intonasi merendah di akhir.

"Terus maksud lo gimana? Gue harus bisnis yang halal-halal aja gitu, maksudnya?" Nigi mendumel keki. "Jualan sorban gitu gue ke sekolah?"

"Lo pikir di sini ada Imam Bonjol yang mau beli?"

"Enggak. Sorbannya mau gue lilitin ke mulut lo biar enggak berisik."

Sena sudah mau membuka mulutnya untuk membalas ucapan barusan, tapi Nigi tahu-tahu sudah berbalik pergi dan berlari kabur, sukses membuat Sena yang melihatnya otomatis langsung menendang tempat sampah di dekatnya dan mengumpat.

Cowok itu berdecak. Sedetik kemudian mulai pelan berjongkok lalu membereskan kembali sisa-sisa sampah yang tadi terhambur keluar.

⛄⛄⛄

Setelah menuliskan "Dimitri Jordan – XI IPS 2" pada sudut kanan atas kertas folionya, Dimi lantas berlari cepat ke depan kelas lalu menyerahkan lembar hasil ujian Geografi-nya pada Pak Jodi yang sudah berdiri sambil mengetuk-ngetuk papan tulis tanda waktu habis.

Cowok itu sempat cengengesan sebentar sebelum akhirnya berlari keluar kelas, menyusul gerombolan anak-anak cowok yang sudah selesai lebih dulu dan sekarang hendak ke masjid untuk shalat dzuhur (kecuali Davi karena cowok itu memang selalu jadi yang paling terakhir dalam mengerjakan ujian sehingga pantatnya masih menempel juga di bangku kelas).

Paper & InkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang