Chapter 11

535 45 0
                                    

Seperti ucapan Neil, kami menghabiskan waktu dengan menikmati kegiatan menyenangkan di luar penginapan sambil mendengar suara binatang-binatang malam yang terdengar memecah hening.

Tapi bagiku, terdengar lucu dan menghibur.

Senja tadi, aku habiskan dengan terisak sambil menerima sesendok demi sesendok makanan yang disuapi Neil ke dalam mulutku.

Di mana lagi ada pria sebaik dan setulus dirinya?

“Setelah ini, kita coba lagi ya?” Kuamit lengannya. Memutuskan untuk berusaha daripada menyerah dan merasa bersalah.

Sambil terus melangkah, Neil mengusap puncak kepalaku. “Baiklah, aku ingin kau melakukannya dalam keadaan tenang, tanpa perasaan terbebani.”

Walau mungkin akan sulit karena aku sendiri tidak paham di mana letak kerisauan dan ketidaktenangan diriku, aku coba mengangguk paham.

Belum juga jam sepuluh malam, aku sudah mengeluh lelah dan beralasan ingin kembali ke penginapan.

Tujuanku sebenarnya hanya satu, ingin memberikan diriku pada Neil setelah kami resmi menikah.

Dia sudah bersabar cukup lama dan aku tidak pernah memberikan apapun untuknya.

Dari awal, Neil hanya diam dan menerima. Aku akan terus merasa bersalah jika seperti ini.

Dua hari waktu di akhir pekan yang sudah kudapatkan dengan susah payah, dan akan berakhir dengan sia-sia jika aku terus tidak berani mengambil sikap. Jujur saja, aku tidak ingin itu terjadi.

Kami sedang bersenda gurau tanpa melihat keadaan sekeliling, ketika dari arah depan, seseorang yang tampak seperti gadis kecil sedang mengendarai sepedanya dengan laju yang tidak biasa, terlalu kencang, dan itu tertuju ke arah kami berdua.

Sigap, Neil merangkul pundakku dan membawa tubuh kami berdua menjauh dari tujuan si gadis bersepeda.

Aku dan Neil jatuh terduduk di tanah liat keras, tanpa ada kendaraan berlalu lalang di desa terpencil seperti ini. Lagipula, jalanannya juga terlalu sempit untuk bisa dilewati kendaraan.

Si gadis juga terjatuh ke arah kiri di mana semak belukar tumbuh tinggi dan terlihat siap menggores kulit.

Setelah memastikan keadaanku, Neil dan aku menghampiri si gadis yang justru menangis keras ketika kami mendekat ke arahnya.

“Hei, apa kami menakutimu?” tanya Neil, lembut. Ternyata dia gadis yang hampir kutabrak di penginapan. Gadis yang mendekap buku-buku di dadanya.

Dia menggeleng tanpa berhenti menangis. “Aku takut,” isaknya, “rem sepedaku blong.”

Aku dan Neil saling pandang. Lalu kudekati dia dan mengulurkan tanganku. “Ayo, kubantu kau bangun.”

Sementara Neil mengangkat sepeda si gadis yang tampak tidak baik-baik saja, aku berusaha menenangkan gadis yang akhirnya kuketahui bernama Trisa.

“Di mana kau merasakan sakitnya, Trisa?” Aku berjongkok, memeriksa lututnya yang tertutupi celana berbahan kain lembut tepat selutut. Kedua kakinya tergores semak berduri. Meksi tidak berdarah, ini akan perih jika terkena air.

“Di sini,” tunjuknya pada kedua lengan dan bagian siku. Air matanya sudah terlihat berhenti mengalir, tapi pakaian dengan lengan pendek tentu tidak akan melindungi kulit di sepanjang lengannya yang terbuka.

Goresan dari semak berduri dan sebuah luka lebam menjadi tanda bahwa ini harus diobati.

Dan aku tidak berani mengambil risiko untuk seorang gadis kisaran dua belas tahun dengan membiarkan diriku atau Neil mengobati luka-lukanya.

Meski tidak separah yang terlihat, aku terbiasa untuk mengambil sikap berjaga-jaga.

“Trisa, adakah klinik atau Rumah Sakit yang buka di sekitar sini pada jam ini?” Seolah paham diriku, Neil bertanya pada Trisa dengan ikut berjongkok di sampingku.

Dia mengangguk. “Di sana, ada klinik Nyonya Weli.” Trisa menunjuk lurus ke arah kanannya, dan itu berarti menjauh dari penginapan.

“Kita ke sana sekarang,” kata Neil. Dia menoleh untuk melihatku. “Menurutmu apa mungkin ditempuh dengan berjalan kaki?”

Aku mengangkat bahu, lalu Trisa yang menyahuti Neil. “Bisa. Tidak terlalu jauh, setelah lurus, akan ada belokan ke kanan. Di sanalah klinik Nyonya Weli.”

“Baiklah, ayo naik ke punggungku,” ajak Neil, dia memutar posisi berjongkok membelakangi Trisa.

Trisa tampak ragu, dia menatap bingung padaku. “Naiklah, Trisa, tidak apa-apa. Aku juga akan ikut.” Kuusap pundaknya dan dia langsung setuju.

***

Hampir jam dua belas malam kami tiba kembali di penginapan. Ternyata, Trisa keponakan dari pemilik tempat kami menginap. Rumahnya terletak tepat di sebelah kiri penginapan.

Ketika kaki menyusuri lorong, aku sempat bersenda gurau dengan mengatakan akan memberi pijatan diseluruh punggung Neil, karena dia tampak lelah menggendong Trisa dalam dua kali perjalanan pulang pergi.

“Kau serius tidak ingin kupijat?” Kusikut lengannya. Tersenyum menggoda.

“Kau juga lelah. Lebih baik kita saling memijat,” canda Neil. Jemarinya menyentuh bibir bagian bawahku.

“Oh, memijat bibir dengan bibir?” tawaku berderai, memutar gagang pintu kamar dan seketika berhenti tertawa dalam sekejap. “Neil ....”

“Apa-apaan ini?” Neil bersuara panik, berjalan mendahuluiku masuk ke kamar, mendapati hewan ternak seperti ayam dan bebek berlarian di atas kasur dan seluruh penjuru kamar.

Jumlahnya tidak terhitung. Suara, bau, dan kepakan sayap hewan-hewan itu, benar-benar mengganggu.

Mereka membuat keributan di seluruh penjuru kamar.

“Ayo keluar, sayang. Aku akan bertanya pada pemilik penginapan.”

Lemas, aku menutup pintu dengan dua ekor ayam yang terbang hampir menyerangku. Ah, menyingkirlah hewan pengganggu! Menyebalkan sekali!

Pemilik penginapan ternyata sedang tidak berada di tempat. Bahkan meja resepsionis kosong tanpa pelayan yang biasa menerima tamu.

Apa karena tempat ini berada di desa terpencil mereka jadi sesuka hati berperilaku pada tamu? Bagaimana bisa ada, mungkin sekitar selusin hewan ternak di dalam kamar tamu? Ini gila, acara bulan maduku yang tenang, jadi berantakan!

Pelayanan macam apa ini? Bahkan kami tidak bisa meminta pertanggungjawaban pemilik penginapan karena dia tidak ada di tempat.

“Apa kita coba bertanya pada para tamu lain yang juga menginap di sini? Mungkin mereka bisa membantu kita menemukan di mana pemilik hotel,” usulku.

“Jangan sayang. Ini sudah larut malam. Semua orang pasti sedang beristirahat. Kita justru hanya akan mendapatkan kemarahan mereka, bukan jawaban.” Peringatan Neil kuanggap sebagai penolakan darinya untuk mengetuk pintu kamar tamu yang menginap, satu persatu.

Tidak salah, bahkan mungkin mereka juga tidak tahu apapun. Bukankah mereka juga tamu sama seperti kami?

“Kita tunggu di sini saja, Bia. Kemarilah,”panggil Neil, melambai padaku. Dia sudah duduk lebih dulu di sebuah kursi kayu sedikit panjang di tengah-tengah ruangan, muat untuk menampung tiga orang dewasa.

Aku duduk dan merapat pada Neil, lalu menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Neil, apa aku coba saja sendiri?”

“Mencoba sendiri? Maksudmu?”

Ide bagus muncul di benakku. “Biar kugiring hewan-hewan itu kembali ke kandangnya.”

Neil tergelak, mencium lembut bibirku tanpa ragu. “Memangnya kau tahu di mana letak kandang mereka?”

“Jika enggan mencari, kita tidak akan pernah tahu. Jadi ayo ...” Aku berdiri, mengulurkan tangan kananku di depan wajahnya, “kita cari bersama-sama. Kandang hewan ternak seperti ayam dan bebek itu, biasanya terletak di belakang rumah.”

Neil menatapku dengan bingung. “Sayang ... mereka hewan yang senang terbang dan melompat secara tiba-tiba, bahkan bisa menyerang. Apa kau yakin?”


𝐀𝐦𝐛𝐢𝐯𝐚𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞Where stories live. Discover now