**********
Keesokan harinya, aku merasa lebih canggung berhadapan dengan Mas Anjas, kejadian semalam membuatku merasa malu untuk memandang ke arahnya.
Seperti biasa, aku menyiapkan sarapan pagi ini, kami sarapan bersama.
“Kamu kenapa, Dek? Pagi ini banyak diam.” Mas Anjas ternyata menyadari perubahan sikapku.
“Nggak apa-apa, Mas,” jawabku singkat.
“Kenapa wajahmu memerah? Jangan bilang kamu malu melihatku setelah kejadian semalam.”
“Maaf, Mas, mungkin karena belum terbiasa, jadi merasa aneh aja.”
“Kenapa harus malu sih, Dek. Kita suami istri dan sudah semestinya kita melakukannya. Ini aja kita menunda sampai tiga bulan.”
“Karena itu, Mas, aku merasa nggak enak sama kamu, sampai harus menunda berbulan-bulan.”
“Udah ... nggak usah dibahas lagi, aku ikhlas kok nungguin kesiapan darimu. Buktinya selama tiga bulan aku sabar menanti keikhlasanmu.”
“Aku minta maaf yah, Mas. Aku janji ke depannya akan melaksanakan kewajibanku dengan baik.”
“Iya, Dek, aku percaya padamu, kamu akan melakukan yang terbaik untuk suami. Mulai sekarang jangan canggung lagi atau merasa bersalah yah.”
“Makasih, Mas.”
“Kita sarapan yuk, Dek, udah nggak sabar nih makan masakan Istriku.”
“Kamu bisa aja, Mas. Tiap hari juga aku masak untukmu.”
“Itu salah satu yang ku banggakan darimu, Dek. Masakannya enak dan selalu buat aku ketagihan.”
“Mujinya berlebihan deh, Mas, padahal aku baru belajar masak sebelum nikah.”
“Tapi kenyataannya enak, Dek. Aku nggak bohong.”
“Iya deh, Mas, mungkin karena masaknya khusus untuk suami, jadi enak.”
“Kamu ikhlas masak untuk suami, Dek. Aku semakin mengagumimu.”
“Makasih, Mas.”
Mulai sekarang aku akan membiasakan diri, untuk tidak merasa canggung lagi di depan suamiku, setelah melakukan tugasku sebagai istri.
Kami sudah sama-sama dewasa dan juga suami istri, dan sudah seharusnya kami akan sering melakukan hasrat itu. Mas Anjas pasti akan meminta haknya apabila dia menginginkannya.
.
.
.Sore ini sebelum Mas Anjas pulang dari kantor, seperti biasa diri ini belanja keperluan dapur di super market yang berada tidak jauh dari rumah kami. Tiba-tiba aku dikagetkan suara seorang laki-laki yang suaranya tidak asing, dan ternyata benar dia adalah Rommy, temanku masa SD hingga SMA.
“Aliyah ...” Dia memanggil namaku.
“Rommy, yah?” tanyaku meyakinkan.
“Iya, Aliyah, ternyata kamu masih ingat. Tapi tumben kamu nggak menghindariku, padahal dari SD aku selalu mendekatimu tapi kamu selalu menjauh.”
“Sekarang situasinya sudah berbeda, Rom.”
“Maksudnya?”
“Aku sudah menikah.”
“Apa?” Rommy sangat kaget mendengar pengakuanku.
“Kok, kamu kaget, Rom?"
“Kamu benar-benar tidak mengerti perasaanku dari dulu, Aliyah.”
“Maksudnya apa, Rom?”
“Tidak mungkin kamu nggak ngerti dengan sikapku padamu.”
“Aku tau kalau kamu selalu berbuat baik padaku.”
“Apa kamu tidak paham atau pura-pura tidak tahu, Aliyah.”
“Aku tidak mengerti maksud kamu, Rom.”
“Sudahlah, Aliyah, jika kamu memang tidak tau. Aku akan mencoba belajar menngubur perasaan ini dalam-dalam, walaupun sebenarnya aku belum bisa terima kenyataan kalau kamu sudah menikah.”
“Perasaan apa, Rommy?"
“Perasaan cinta, cinta yang tidak pernah kamu anggap.” Rommy segera pergi meninggalkanku.
Aku sangat ingat Rommy adalah sosok seorang teman yang selalu ingin mendekatiku, dia selalu berusaha untuk perduli padaku, dan dia adalah laki-laki yang mengetahui tentang masa laluku.
.
.
.“Mas, tadi aku ketemu temen lama,” ucapku sambil rebahan di dada Mas Anjas di ruang TV.
“Laki-laki atau perempuan, Dek?" Tanya Mas Anjas.
“Laki-laki, Mas.”
“Temen lama apa maksudnya, Dek?”
“Temen dari SD hingga SMA, Mas.”
“Woow.”
“Dia kaget setelah mengetahui kalau aku sudah menikah.”
“Kenapa dia kaget? Bukannya dia temen kamu, dan seharusnya juga harus turut bahagia.”
“Sepertinya dia juga kelihatan kesel, Mas.”
“Berarti dia bukan temen biasa, dong, Dek.”
“Maksudnya bukan temen biasa apa, Mas? Dari dulu aku tidak pernah dekat dengan yang namanya laki-laki. Walaupun banyak yang mendekatiku, tapi aku selalu berusaha untuk menghindar.”
“Yang menghindar kamu, Dek. Tapi kamu nggak tahu, mungkin mereka menyimpan rasa untukmu. Buktinya tadi kamu bilang temenmu kesel setelah tau kamu sudah menikah, maksudnya apa coba?”
“Aku juga nggak ngerti, Mas.”
“Sedekat apa dulu sama dia, Dek?”
“Aku nggak merasa deket, sih, Mas, cuma dia selalu mencoba untuk lebih mengenalku hingga SMA. Tapi aku selalu berusaha untuk menghindar, karena aku nggak mau jatuh cinta. Dan lagi pula orang tuanya membenci keluargaku.”
“Terus apa reaksinya saat kamu berusaha menghindar?”
“Yah, tetap biasa, Mas, mendekat lagi dan mendekat terus, sampai aku merasa risih.”
“Kalau bukan suka apalagi namanya, Dek?”
“Tapi aku nggak suka, Mas.”
“Kamu nggak suka, tapi dia suka. Kalau ketemu dia lagi, sebaiknya kamu menghindar, Dek. Aku nggak mau kalau sampai dia mengingatkan atau mengungkit usahanya mendekati kamu di masa lalu.”
“Iyaa, Mas, dan aku juga merasa aneh saat tadi dia bilang kalau aku tidak pernah mengerti perasaannya.”
“Apa? Dia berani ngomong seperti itu pada wanita yang sudah bersuami. Terus terang aku nggak suka, Dek.”
“Iyaa, Mas, aku janji akan menjauh jika bertemu dia. Jangan marah yah, Mas, aku hanya ingin berusaha untuk selalu jujur pada suamiku.”
“Iyaa, Dek, aku nggak marah, aku senang kamu cerita, makasih yah.” Dia mencium keningku.
Ternyata bukan hanya aku yang merasakan keanehan sikap Rommy, buktinya walaupun hanya mendengar cerita dariku, Mas Anjas juga dapat menebak sikap Rommy.
==============

YOU ARE READING
Menunda Malam Pertama
RomanceBerkisah tentang Aliyah dan Anjas yang sama-sama memiliki masa lalu. Mampukah mereka menyatukan hubungan dengan adanya perbedaan.