*********
Hari ini langit sangat cerah, secerah hatiku yang masih membayangkan keromantisan Mas Anjas tadi malam. Aku tersenyum tersipu setiap mengingat godaannya tentang kata ‘menunda’.
“Makasih, yah, Dek,” ucapnya setelah kami selesai memadu kasih malam tadi.
“Untuk apa, Mas?”
“Karena kamu tidak pernah menunda lagi.”
“Kamu bisa aja, Mas.”
“Aku masih ingat enam bulan yang lalu saat malam pertama kita, kamu sangat takut berada di dekatku, seolah-olah menganggapku seperti penjahat yang ingin menyakitimu. Sangat terlihat dengan jelas tubuhmu gemetar saat aku mendekatimu. Dengan penuh kelembutan kamu berusaha menolakku, karena kamu tidak tahu kalau aku juga sudah mengetahui semua tentangmu. Diam adalah jalan terbaik menurutku kala itu, untuk menutupi rasa takut yang kamu rasakan.” Mas Anjas mengingatkanku tentang malam pertama kami yang tertunda.
“Kenapa kamu nggak jujur saat itu kalau ternyata sudah mengetahui masa laluku?” Aku ingin tahu alasan Mas Anjas.
“Aku takut kamu kaget dan akhirnya menghindariku.”
“Kalau seandainya kamu saat itu terus terang, mungkin malam pertama kita tidak akan tertunda, Mas. Aku nggak merasa bersalah karena harus mengabaikan suamiku, nggak merasa berdosa karena tidak melaksanakan kewajibanku sebagai istri, nggak akan sedih karena belum mampu memuaskan dan melayani hasrat suami. Aku merasa menjadi istri yang tak berguna saat itu, merasa nggak pantas dicintai oleh suami yang bertanggung jawab sepertimu.” Rasa bersalah itu masih sering menghantuiku.
“Aku minta maaf, yah, Dek, karena tidak berani jujur padamu, niatku hanya ingin menjaga perasaanmu. Tapi sekarang semua itu sudah kita lewati bersama, kita sudah saling terbuka dan tidak menyimpan sesuatu hal yang membuat salah paham.”
“Iya, Mas, aku sangat beruntung menjadi istrimu.”
“Dan aku jauh lebih bersyukur karena memilikimu.” Dia lalu mendaratkan ciuman di dahiku. “Semoga hubungan kita tetap langgeng dan secepatnya diberi momongan, yah, Dek,” lanjutnya penuh yakin.
“Aamiin ... iyaa, Mas.”
“Kita harus banyak berdoa dan berusaha.”
“Iya, Mas, aku juga ingin seperti teman-teman yang lain. Mereka sudah pada punya momongan dan juga ada yang lagi hamil sekarang.”
“Iya, Dek, aku ngerti. Kamu yang sabar, yah.” Dia mengusap pipiku.
.
.
.Sudah beberapa bulan aku tidak berhubungan dengan Yani secara personal. Kami saling menyapa hanya dalam group yang baru dibentuk. Aku sangat merindukannya, dan ingin tahu kondisinya yang sekarang sudah hamil besar.
Aku segera mengambil gawai dan mecari namanya di layar, lalu menekan tombol simbol telepon berwarna hijau.
Tuuutt ... tuuuutt ....
Suara nada masuk teleponku untuknya.
“Assalamu'alaikum, Al.” Suara Yani menjawab telepon dariku.
“Wa'alaikumsalam, Yan, kamu apa kabar?” tanyaku.
“Alhamdulillah sehat, Al. Kamu gimana?”
“Alhamdulillah aku juga sehat.”
“Gimana perkembangan hubungan kamu dengan suami?”
“Lancar, Yan, hehe,” ucapku malu-malu.
“Ciiieeee ... yang udah merasakan malam pertama. Udah ada hasilnya belum?”
“Maksudnya hasil apa, Yan?”
“Kamu udah ada isi? Maksudku hamil.”
“Belum, Yan, minta doanya, yah,” jawabku sedih.
“Sepertinya kamu sedih, Al. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu.”
“Nggak, kok, Yan, santai aja. Oh, yah, usia kandunganmu udah berapa bulan?” Aku mencoba mencairkan suasana.
“Udah masuk delapan bulan, nih. Udah susah gerak, hehe.”
“Udah gede, yah. Pasti lucu, deh.”
“Lucu karena sekarang aku gemuk.”
“Nggak apa-apa dong, Yan, yang penting sehat. Demi si buah hati tercinta.”
“Iyaa, sih, hehe. Aku doain semoga kamu juga secepatnya menyusul, yah.”
“Makasih, Yan.”
“Iyaa. BTW ... Rommy masih sering lebay, yah, di group. Heran, deh, masih mencoba deketin kamu. Nggak malu, yah, masih gombalin istri orang.” Yani tiba-tiba berbicara tentang Rommy.
“Dia juga sering japri dan telpon aku, Yan.”
“Hati-hati, Al, sepertinya dia masih sangat mencintaimu.”
“Itu nggak mungkin, Yan, aku udah punya Mas Anjas.”
“Apa, sih, yang nggak mungkin di zaman sekarang ini, kalau dia nekat.”
“Iiihhh ... serem, jangan sampai, deh.”
“Makanya aku bilang hati-hati. BTW ... udah dulu, yah, Aliyah, nanti kita sambung lagi. Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumsalam.” Aku menutup telepon.
.
.
.Aku masih merinding mengingat ucapan Yani tentang Rommy. Bagaimana mungkin Rommy masih menyimpan perasaan mendalam padaku, statusku sekarang adalah seorang istri.
Tiba-tiba aku dikagetkan suara nada panggilan masuk dalam gawai. Ternyata Rommy yang menelepon, bingung harus berbuat apa. Kalau diangkat, takut dengan ucapan Yani. Namun, kalau tidak diangkat, dia pasti bersikukuh akan tetap menelepon seperti sebelum-sebelumnya.
Sebaiknya telponnya diangkat saja, mungkin ada sesuatu yang penting ingin disampaikan padaku.
“Hallo, assalamu'alaikum.” Aku mengucapkan salam.
“Hallo, wa'alaikumsalam, Al.” Balasan salam darinya.
“Ada apa kamu nelpon aku?”
“Pengen nelpon aja, kangen dengar suaramu.” Aku kaget mendengar jawabannya.
“Aku udah bilang berapa kali, Rom, kamu nggak pantas memiliki perasaan seperti itu terhadapku.”
“Kenapa nggak pantas? Apa salahnya kalau aku kangen kamu.”
“Statusku yang dulu dan sekarang udah nggak sama, Rom. Aku udah punya suami, dan kamu nggak pantas kangen dengan istri orang lain.”
“Aku nggak peduli! Dulu kamu juga selalu menghindariku, selalu menganggapku nggak pantas untuk mendekatimu.”
“Dulu ceritanya beda, Rom. Tolong ngerti, dong.”
“Apa bedanya dulu dan sekarang? Aku akan tetap mengharapkanmu.”
“Stoop, Rom! Kamu udah semakin keterlaluan!”
“Nggak ada yang bisa menghentikanku. Bertahun-tahun lamanya kamu mengabaikanku. Semakin hari rasa dan cintaku kian mendalam untukmu, dan dengan mudahnya kamu sudah menikah dengan laki-laki lain, aku nggak terima, Al.”
“Berhenti, Rommy!” Aku mematikan telepon.
Dia berusaha meneleponku lagi, tapi tidak menghiraukannya.
Cara berpikir Rommy benar-benar keterlaluan, entah apa yang merasuki hatinya hingga dia bisa berbicara seperti itu padaku.
=========================

YOU ARE READING
Menunda Malam Pertama
RomanceBerkisah tentang Aliyah dan Anjas yang sama-sama memiliki masa lalu. Mampukah mereka menyatukan hubungan dengan adanya perbedaan.