30 : Mundur Teratur

14.4K 1.9K 213
                                    

"Silakan minum Ndoro." Cecep mengangsurkan segelas es kelapa muda segar dengan perisa jeruk dan madu kepada gue. Cukup tahu diri bagaimana menghadapi kegalauan gue yang sudah ditinggal ayang pacar tiga hari belakangan ini. Gue bahkan nggak menggunakan make up dasar seperti yang gue lakukan sahari-hari dan hanya mengoleskan lip balm berwarna pink. Seenggaknya, gue jadi nggak terlihat pucat setelah semalaman nggak bisa tidur gara-gara memikirkan keberadaan sang pacar yang seolah menguap menjadi udara.

"Mada masih nggak mau kasih tahu apa-apa tentang Genta?"

Cecep merengut ketika gue kembali menanyakan hal itu. "Lo yakin banget Mada tahu di mana Genta?"

Gue mengedikkan bahu. "Gue cuma tahu kalau Genta dekat dengan Mada. Memangnya siapa lagi yang bisa dia mintain bantuan selain Mada?"

"Memangnya lo udah berapa tahun kenal Genta sampai yakin begitu?"

Gue menghela napas panjang. Benar apa yang diucapkan Singa laut di sebelah gue. Pengetahuan gue tentang Genta memang sangat sedikit sekali.

"Dosennya nggak nyariin dia ya? Kan dia harus nyelesein skripsi dia."

Cecep bereaksi berlebihan. "Dia baru ngilang tiga hari. Lo pikir dosen dia nggak ada kerjaan lain kecuali nyariin anak didiknya satu persatu?"

Kembali perkataan Cecep terdengar benar. "Kasih dia waktu dengan apapun permasalahan yang sedang terjadi di antara kalian. Nanti juga kalau dia udah capek main petak umpat juga bakalan nongol sendiri kok. Gue yakin itu."

"Gimana lo bisa ngomong begitu. Emangnya lo udah kenal Genta berapa lama?"

Cecep mengibaskan tangan. Jemarinya lalu menoyor kening gue. "Gue udah kenal lama banget sama dia ya! Lo aja yang orang baru dan langsung naik kasta jadi pacar dia. Dia pernah ngilang selama satu dua minggu dan bolos kuliah. Tapi pada akhirnya dia balik lagi."

"Ke mana?" Gue bertanya cepat.

"Ya mana gue tahu!" Cecep menjawab ketus. "Mada aja yang waktu itu ngomel-ngomel ke dia nggak di kasih tahu."

"Demi apa Mada berani ngomel ke Genta? Memangnya hubungan mereka sedekat itu sampai Mada nggak ada risih-risihnya begitu ke Genta." Gue memprotes.

"Iya. Kami memang sedekat itu." Suara serak milik wanita dengan rambut elektrik biru menyela. Gue menoleh ke belakang dan menemukan Mada dengan setelan khasnya yaitu bomber, jeans sobek-sobek, dan tas yang memiliki banyak sekali tambalan di sana sini. Mungkin tambalan itu hasil karya dia, gue nggak tahu dan nggak mau tahu.

Dia lalu meletakan tas ranselnya di antara gue dan Cecep. Membuat Cecep otomatis bergeser dan menjadikan Mada di antara kami. Nah, sekarang dia mau menjadi orang ketiga di antara gue dan Cecep gitu?

"Daripada lo nyuruh-nyuruh temen lo," dia melirik ke Cecep, "nanya Genta ke gue, mending lo tanya langsung aja."

Gue merengut. "Kok lo sensi gitu sih."

"Siapa yang sensi? Gue nanya baik-baik kok."

Gue mendengkus. "Tapi muka lo nggak kelihatan baik sama gue."

Mada tertawa. "Lo kayaknya butuh kopi deh. Kelihatan banget muka lo kuyu gara-gara nggak tidur satu abad." Mada lalu mengangkat tangan. Memesan kopi ke salah satu abang penjual minuman seolah dia sedang berada di warteg. Kok gue mendadak kesal ya sama Mada?

Tingkah seenaknya dia mengingatkan gue ke seseorang yang sekarang lagi menghilang. Tentu aja itu Genta. Mata gue langsung berkaca-kaca. Gue kok kangen dia ya?

Gue udah ke kosan dia pagi siang malam mirip jadwal minum obat. Bertemu dengan Mbak Leha yang lagi-lagi info kalau Genta sedang nggak lagi dikosan. Di rumah Menteng juga dia nggak bakalan ada karena dia bermusuhan dengan rumah itu. Dan sejauh ini, gue cuma bisa memikirkan dua tempat itu untuk mencari sumber kerusuhan hati gue.

"Lah, kok malah mewek ini bocah." Mada terlihat kaget melihat gue menangis. Cecep hanya melengos dan beralih tempat ke sebelah gue. Lengannya yang besar memeluk gue sehingga gue bisa menyembunyikan wajah gue di dadanya.

"Lo mau pindah tempat nggak?"

Gue mengangguk. Cecep lalu mengambil tas gue dan menggandeng gue ke tempat yang lebih sepi sementara tangisan gue sudah mulai menghilang.

"Lo nangisin Genta?" Tanya Mada yang ternyata mengekor di belakang. Satu tangannya membawa es kopi yang dia pesan. Gue nggak menjawab pertanyaan Mada. Sementara Cecep dengan telaten membuka tas gue. Mengambil cermin dan menaruhnya di atas meja depan gue. Dia membawa gue ke gazebo yang berada di belakang gedung jurusan. Tempat di bawah pohon rindang yang jarang didatangi oleh mahasiswa karena koneksi internet gratis yang lelet. Tetapi bagi gue, tempat ini sempurna sebagai tempat touch up penampilan selain toilet kampus.

"Lo nggak malu nangis di depan umum begitu?" Komentar Mada lagi yang membuat gue semakin kesal ke dia.

"Ngapain gue malu. Air mata juga punya gue!"

"Kay emang nggak pernah malu nangis begitu. Dia kan nggak punya temen lain selain gue untuk jaga image dia. Lagian cewek cantik sah-sah aja mau ngapa-ngapain."

Gue mencubit lengan Cecep yang membuatnya mengaduh. "Barbar amat lo."

Gue mendelik kesal. "Lagian mulut lo lemes banget hina gue."

"Siapa yang hina lo? Gue cuma menyampaikan fakta yang tersaji kok. Kalau nggak ada gue tadi yang bawa lo pergi, paling bentar lagi lo bakalan di datangi kating iseng yang mau tebar kebaikan dan pesona sama lo."

"Jadi lo pamrih?"

"Siapa yang pamrih? Gue cuma bosen aja lihat lo kayak kehilangan separuh nyawa lo pas Genta nggak bisa dihubungi. Apa kabar kalau lo putus sama dia? Bisa-bisa lo bunuh diri atau masuk rumah sakit jiwa."

"Kalau Genta bikin lo begini, mending lo udahin perasaan lo sama dia." Kali ini Mada yang bersuara setelah beberapa saat diam. "Lo tahu kan dia itu tipe cowok angin-anginan. Gue sebagai sahabat dia tahu kelakuan asli dia. Dia bisa manis banget tetapi dia juga sebenernya pengecut. Dia nggak pantas lo tangisin kayak gini."

Enak aja dia bilang ayang gue pengecut. "Lo bilang gitu karena lo naksir kan sama Genta? Lo mau kan gue putus sama dia?"

"Ini nggak ada hubungannya sama gue yang naksir dia. Gue cuma ngasih saran."

"Tapi saran lo nggak guna. Sahabat macam apa yang nggak tahu keberadaan sahabatnya di situasi macam begini."

"Lah terus lo pacar macam apa yang malah cariin pacarnya ke orang lain?" Mada membalas dengan alot dan mata melotot sengit. Sumpah, kalau di situasi normal gue bakalan mundur teratur dan menghindari konflik. Tetapi akal sehat gue sedang nggak ada saat ini.

"Iya. Gue memang pacar nggak guna karena nggak bisa berbuat apapun saat ini. Puas lo?!" Teriak gue di depan wajah Mada. Kami bertatapan dengan sengit sampai-sampai gue merasa sedang berada di salah satu sinetron ikan terbang di mana backsound petir dan halilintar menjadi latar kami.

Kalau besok gue ditemukan mengambang di kali Ciliwung, kalian tahu kan siapa penyebabnya?

***

Pulang dong, kan gue kangen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pulang dong, kan gue kangen.
-Kay




Gw lagi produktif nih.
150 komentar ya buat lanjut.
Dua part kemarin dikit banget komen kalian.
Emang sejahat itu kalian sih. 😱

See yaa 💓

RUMBLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang