Rindu Atau Benci?

38 5 13
                                    

Bus yang terhenti di halte mulai melaju dengan tenang. Di salah satu bangku penumpang terlihat seorang pria mengenakan coat hitam tengah duduk dengan mata terpaku pada luar jendela. Entah ia menyaksikan jatuhnya rintik hujan yang mengenai kaca atau lalu-lalang kendaraan di bahu jalan dan orang-orang di trotoar. Tak ada yang tahu sorot apa yang ditampilkan oleh kedua bola matanya. Barangkali itu kesedihan atau justru sebuah kerinduan.

Tak berselang lama, pria bermasker itu bangkit dari bangkunya saat menyadari bus berhenti di halte tujuan. Begitu keluar dari bus, tempatnya yang kosong pun diisi oleh seorang perempuan yang menutup kepalanya dengan hoodie.

Pria itu berjalan singkat menyusuri sebuah kompleks perumahan dengan tangan kanan menenteng sebuah tas belanja. Langkahnya terarah pada sebuah Cafe yang masih tertutup, ia pun masuk dan meletakkan belanjaannya di atas meja pantry.

Dilepasnya coat tersebut dan mengenakan apron yang tergantung di salah satu sisi dinding. Selepas mencuci kedua tangan, pria itu mulai membuka isi tas belanja dan mengayunkan pisau.

Tempat itu cukup sepi bahkan suara bilah piasu yang beradu dengan talenan terdengar jelas ke penjuru ruang. Ya, pria itu terlihat menikmati kegiatannya.

"Kau sudah datang rupanya... heheee... ma'af aku sedikit terlambat."

Seorang pria lainnya datang dengan senyum yang lebar. Dia pun melakukan hal serupa dengan pria sebelumnya yakni melepas jaket dan mengenakan apron. Dia kemudian bergabung dengan lelaki yang sibuk memasak itu.

(***)

Waktu kian bergulir menuju siang yang seharusnya terik. Namun, mendung yang cukup tebal rupanya menghalangi sinar matahari yang hangat. Merubah sekeliling lebih dingin.

Di Cafe milik dua orang lelaki itu pun terlihat tak terlalu ramai sehingga pengunjung cukup leluasa keluar masuk dengan santai.

Pria mengenakan apron hitam itu berdiri di depan jendela kaca yang tembus pandang. Dia menyesap secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Matanya terfokus pada rintik hujan yang mulai jatuh, terlihat lebih deras dari pagi tadi.

"Kau masih berdiri di tempat yang sama, Sungjae-ya." Teguran ringan itu membuatnya menengok ke asal suara.

"Eum... Aku tidak tahu, setiap kali hujan turun ada rasa benci dan sesuatu yang menyesakkan dadaku." Sahutnya dengan mata kembali pada jatuhnya air hujan.

"Kupikir masa lalumu cukup menyedihkan. Apa kau berakhir hubungan dengan pacarmu saat hujan? Atau yang lain?"
Pria yang di sebut Sungjae itu terkekeh pelan,"aniya... kau tahu sendiri kalau aku tidak pernah berhubungan..."

"Tapi..."

"Aish... sudahlah." Sungjae berbalik dan melangkah pergi begitu saja.

"Kau mau ke mana?!!"

"Mencium kucingku..."

'Ting!'

Pria itu mendengar suara lonceng kecil di atas pintu berbunyi, tanda seseorang masuk ke dalam. Ia pun bergegas menyambut tamu yang baru duduk di salah satu kursi dekat jendela.

"Eoh? Kau lagi?" tanyanya pada pelanggan tersebut.

"Ne, annyeonghaseyo... boleh kupesan secangkir latte dan rainbow cake?"

"Tentu saja. Semua menu yang tersedia bisa dipesan. Tunggu sebentar, Son-nim."

"Ne..."

Pria itu bergegas menghampiri Sungjae dan meletakkan nampan di atas meja pantry,"hei. Rainbow cake dan latte."

Sungjae pun menyiapkan pesanan itu, sementara pria di depan meja pantry itu terlihat sibuk memerhatikan gadis yang duduk di kursi dekat jendela. Sungjae yang penasaran pun berusaha mencari tahu.

"Hyung, apa yang kau lihat?"

"Gadis itu."

"Eum? Yang menutup kepalanya dengan hoodie?"

"Eoh. Kau tahu, dia beberapa kali kemari dan memesan sesuatu yang sama. Dia selalu duduk di sana dan menghadap ke luar jendela. Kupikir dia tidak bisa move on dari mantan pacarnya..."

Sungjae terkekeh dan meletakkan pesanannya di atas,"pergilah. Sapa dia, mungkin kau bisa berkencan dengannya."

"Aish..."

(***)

Pertengahan malam menyapa, kedua pria itu menutup Cafe dan membereskan tempat tersebut. Setelah kembali rapi, pria yang menjadi rekan Sungjae itu berpamitan dan pergi lebih dulu.

Sungjae pun mengekor dan menutup rapat pintu Cafe. Pria itu terdongak, menatap langit yang gelap kosong. Ia menghela nafas dan melangkah perlahan. Dia menunggu bus di halte. Namun, bukan bus yang datang melainkan hujan yang lebih deras dari sebelumnya.

"Aaah.. sial..."

Sungjae duduk diam menatap setiap jatuhan air hujan yang mengenai tanah. Sekilas lamunannya kembali. Ia merasakan sepasang sepatu sekolah berjajar dengan sepatu miliknya. Sepatu itu memainkan air hujan yang menggenang dan menimbulkan percikan.

Perlahan Sungjae mendongakkan kepala melihat sosok pemilik sepatu itu, seketika matanya nanar sendu melihat seorang siswi di sampingnya.

Gadis itu sangat tak asing, Sungjae menitikkan air mata dan mengangkat sudut bibir,"Eun... Eunbi-ya... Eunbi..."

Gadis itu menengok dan mendecih,"aish... kau menangis? Hei! Yook Sungjae! Ayo bermain..."

Gadis itu meraih lengan Sungjae dan berdiri,"ayolah... ini menyenangkan, kau bilang juga suka hujan..." rengeknya sembari sedikir menarik lengan kekar Sungjae.

Sungjae pun mengangguk,"eum... tapi kau bisa kedinginan, ini malam. Eunbi-ya..."

Tak menggubris, gadis berseragam sekolah serba panjang dengan penutup kepala itu menarik paksa lengan Sungjae. Rupanya pria itu pun tak menolak sedikitpun. Dia mengikuti gadis itu menuju ke bahu jalan yang sangat sepi.

Gadis itu melepas lengan Sungjae dan bermain hujan penuh senyum. Sungjae hanya diam menyaksikannya yang senang. Gadis itu berbalik dan melambaikan tangan ke arahnya. Ya, dia menyuruh pria itu mendekat.

Baru berniat melangkah, kedua mata Sungjae terbelalak. Dia melihat cahaya lampu mobil yang sangat silau melaju cepat dari arah belakang gadis itu. Segera Sungjae berteriak sekeras mungkin dan berlari. Ia merasa memeluk tubuh kecil Eunbi dengan erat dan memejamkan mata. Dirasakannya sinar terang yang melaju kian cepat dan membias lalu hilang dalam sekejap.

Pria itu tak merasakan pelukan Eunbi, dia pun tak merasa dihantam oleh benda keras. Yang hanya dirasakannya adalah air hujan yang jatuh kian deras juga memeluk tubuhnya sendiri. Perlahan ia membuka mata dan mengamati sekeliling.
Seperti orang yang hilang arah. Pria itu kebingungan terhadap sekeliling. Dia berdiri sendirian di tengah jalan dengan hujan mengguyur tanpa henti. Pikirannya sangat kacau. Ia tak tahu dengan perasaannya.

Merasakan hujan itu seolah rasa benci tersemat dalam dirinya, namun ada pula secercah kerinduan yang ia nanti dalam waktu yang tak singkat. Ia menyadari posisinya yang sendirian. Di sini sepi dan gelap, sepertinya.

(****)


COME WITH WINDWhere stories live. Discover now