1|Pamit

97 16 4
                                    

Tak pernah ada yang tau tentang jalan hidup. Bahkan sekalipun aku berusaha terkadang takdir belum juga akan memihakku. Bolehkah aku membenci Dunia yang tak pernah adil padaku, juga pada keluargaku.

💕🏡💕

"Buk besok Kaka akan pergi ke Jakarta, tempat teman Kaka kerja. Katanya, lagi butuh karyawan buk." Ibuk menghentikan pergerakan tangannya yang sedang melipat pakaian, menatapku diam.

"Kenapa harus kerja di Jakarta Lek, coba cari yang di sini saja." Ibuk masih menatapku, sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya.

"Ibuk, ini kesempatan Kaka. Kalau di Jakarta kan UMR-nya besar buk. Jadi gajihnya juga lumayan," bujukku memikirkan kondisi keuangan keluarga kami yang tak pernah stabil, dan jauh dari cukup. Mungkin merantau ke kota metropolitan itu pilihan yang harus kucoba saat ini.

"Kamu mau kerja apa di sana dengan ijazah SMA, Ibuk khawatir Lek." Aku memilah pakaian yang sudah Ibuk lipat, melihat wajahnya yang serius berucap padaku.

"Jangan khawatir Buk, Kaka enggak sendiri disana." Aku mengambil pakaianku yang sudah kupilah. Masih mencoba membuat ibuk mengerti.

"Lagian kerjanya juga santai Buk, Kaka kerja di toko pakaian online Buk." Aku beranjak menuju kamarku, membawa pakaian di tangan. Hanya ada lemari pakaian tak berpintu di tutup kain lepas kusam, meja kecil tempatku belajar, dan kasur tanpa ranjang 2,5 X 1 meter.

"Walaupun Lek, Ayahmu juga endak akan setuju Lek," ucap Ibuk dari luar kamar. Tetap jelas terdengar sampai di kamarku. Yah, rumah kecil keluargaku dengan ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, dikelilingi tiga kamar kecil berderet di sisi kiri, kamar Ayah dan Ibuku, kamarku, dan kamar kedua adik perempuanku. Dapur kecil dan satu kamar mandi di ujung rumah paling belakang. Rumah tanpa plafon. Berbicara pelanpun, akan terdengar ke seluruh ruangan.

"Cari kerja di sini saja. Nanti ibuk tanya sama Yanti, temenmu yang kerja di Bank, kali aja ada lowonglan di sana." Lanjut Ibuk. Aku kembali duduk di samping Ibuk. Lebih dekat dan memeluknya yang terdiam.

"Buk, izinin Kaka yah. Kaka janji akan selalu kasih kabar ke Ibuk. Nanti Kaka akan sering telpon Ibuk," ucapku, menepuk lembut punggung ibuk, dan mengusapnya. Tak ada jawaban dari ibuk, hanya aku merasakan anggukan kepala ibuk.

Ibuk, wanita terhebat dan sumber kekuatanku. Berat rasanya pergi. Rumah ini dan keluarga ini juga tanggung jawabku, bukan hanya ayah. Aku anak laki-laki satu-satunya di keluargaku, sudah jadi tanggung jawabku membantu ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami.

Aku berharap ini adalah keputusan yang tepat. Dari pada berdiam diri di sini dan bekerja serabutan jadi kenek bangunan bersama ayah, atau jika sedang tak ada pembangunan, waktu banyak kuhabiskan menjadi kuli panggul di pasar. Dengan penghasilan yang tak tentu. Belum lagi ayah yang kini sering sakit-sakitan, dan rentenir yang sering datang ke rumah menagih hutang.

Miris, Ayah banyak berhutang dengan rentenir untuk membiayai sekolahku juga kedua adikku yang masih sekolah dasar, kelas 2 dan kelas 5. Ayah selalu mengusahakan apapun untuk pendidikan anak-anaknya. Kata Ayah kami harus sekolah minimal lulusan SMA. Ayah tidak mau anaknya seperti beliau yang tidak lulus sekolah dasar bahkan tidak bisa membaca.

Sejak dulu aku ingin berhenti sekolah, karena sebab ucapan Ayahlah aku tetap bersekolah, sambil bekerja di pasar di hari libur dengan syarat tetap harus berprestasi di sekolah kata Ibuk, jangan buat ayah kecewa dengan kerja kerasnya.

💕🏡💕

Aku mencium punggung tangan ayah dan ibuk. Akhirnya izin dari Ayah dan Ibuk kudapatkan setelah negosiasi, perdebatan dan obrolan cukup panjang semalam.

Ibuk memelukku erat, airmatanya terasa hangat jatuh di pundakku. Aku tak pernah seharipun pergi menginap selain rumahku. Kecuali acara sekolah. Jangankan Ibuk, akupun takut akan sangat merindukannya di sana.

Aku menahan agar airmataku tak ikut tumpah, menambah berat beban ibuk untuk merelakanku pergi.

"Ayolah buk, masak nangis." Aku mengusap punggungnya, menenangkan Ibuk, sambil tertawa kecil.

Ibuk melepaskan pelukannya, memukul pundakku pelan. "Kamu ini," ucap ibuk mengusap airmata dan menyedot masuk ingusnya kembali. Aku tertawa, Ibuk melempar senyum.

Menghampiri kedua adikku yang menangis menatapku. Keduanya memelukku erat, aku sedikit membungkuk menyamakan tinggi mereka. aku akan sangat merindukan kedua adikku yang cerewet.

"Kakak!.. Jangan pergi," ucap Riri adik pertamaku tersedu menangis. Pundaknya bergetar dalam dekapan.

"Iya kak, jangan pergi," ucap Rinra, si bungsu juga tersedu di pelukanku.

"Udah jangan nangis, Kakak kan cuma pergi kerja dek." Aku mengecup pipi kedua adikku, aku berisik pelan sebelum melepaskan dekapan mereka, "jangan nakal, belajar yang rajin ya, bantu kakak jaga Ibuk sama Ayah." Mereka mengangguk kompak, aku tersenyum mengusap pundak, dan pucuk kepala mereka.

kembali berpamitan kepada semua melambaikan tangan pada mereka. Aku pergi diantar Riyan dengan motornya, ke terminal bus, Idris sudah menungguku di sana. Perjalanan akan panjang dari Lampung sampai ke Jakarta. Berbekal uang pinjaman dari Idris, teman yang menawarkan pekerjaan padaku. Aku harus berterima kasih banyak padanya.

Hope & Home (Completed) Where stories live. Discover now