2| Dari rumah harapanku dimulai

60 14 4
                                    

Kurma, jadi makan vaforitku. Setokkan yang awet dan makanan yang mengenyangkan ketika tak memiliki bahan makanan atau uang, begitulah caraku bertahan dan menghemat sebulan ini di rantauan. 

Mendengar suara azan. Kugigit kurma di tangan kananku, setelah berdoa dan meneguk air putih. Kali ini aku kembali menghitung biaya pengeluaranku yang harus kusisihkan supaya bisa mengirim uang lebih untuk keluarga di kampung.

Aku teringat Ibuk, hampir setiap senin-kamis Ibuk rajin mengajak kami untuk berpuasa sunah. Walaupun, akhirnya aku tahu alasan ada alasan lain, ketika menemukan Ibuk yang kadang suka menangis diam-diam di dapur, memandang wadah beras yang mungkin aku bisa perkirakan tak sampai satu canting untuk dimasak dan dibagi 5 orang penghuni rumah.

Ibuk tak pernah mengeluh, bahkan pertengkaran ayah dan ibu jarang terlihat oleh kami. Walaupun uang adalah masalah utama keluarga kami, Ibuk dan Ayah mampu membuat kami mengerti tanpa menceritakan hal sulit yang mereka rasakan.

"Ka! di dalam enggak?" Suara Idris mengetok pintu kamarku. Aku segera bangkit membuka pintu kamar kosku, Idris berdiri di depan pintu kamar dengan menunjukan bungkusan kresek bening di tangan di depanku.

Idris menerobos masuk. Duduk di lantai tanpa alas. Mengeluarkan dua bungkus nasi padang dengan lauk rendang. MasyaAllah luar biasa baiknya temanku ini, sampai aku tak enak hati selalu menerima kebaikan darinya.

"Puasa, kan?" tanyanya. Dan melanjutkan ucapannya, tanpa menunggu jawabanku, "aku juga. Nah, ini buat kamu." Dia mendorong bungkus nasi di depannya. Aku masih terpaku di ambang pintu yang terbuka.

"Jangan terlalu sering beliin aku makan begini Dris. Walaupun kamu enggak punya tanggungan, setidaknya kamu harus nabung buat masa depan kamu," kataku. Aku menatap tingkah Idris yang santai menikmati makanannya. 

"Nggak papa Ka, santai aja." Selalu begitu jawabannya. "Kan, ngasih makanan sama orang puasa berpahala."

"Kamu tahu Dris, aku enggak mau berhutang banyak sama kamu." Aku masih diam memerhatikan kegiatan Idris. Tak enak hati rasanya, selalu di beri, tapi tak pernah memberi. 

"Ka ... kamu itu udah aku anggap saudara. Apapun kebaikan aku sama kamu saat ini, enggak ada apa-apanya." Idris menghembus nafas panjang. "Karena kamu, sampai saat ini aku masih bisa hidup. Jadi, tolong jangan sungkan sama aku Ka." Aku dudu di hadapannya.

Aku tak tau kalau dia selalu memikirkan hal itu, kejadian beberapa tahun yang lalu. Aku ingat kebiasaanku menyendiri, memikirkan nasib. Bibir sungai adalah tempat favoritku. Saat itu aku melihat tangan seseorang di permukaan air sungai sambil sesekali memunculkan kepala, menari-nari mancari pegangan. Aku kaget bukan main, bahkan tubuhku bergetar. Khawatir membiarkan, dan melihat saja kematian seseorang di depan mata.

Aku berteriak mencari bantuan. Namun nihil, keadaan sungai sepi. Aku mengumpulkan kekuatan sambil berteriak minta tolong. Aku beranikan diri untuk berenang mendekat menggapai tangan itu. Hal yang aku takutkan adalah dia akan menarikku juga kedalam sungai, dan mati sia-sia bersama. Hanya saja, melihat seseorang mati di depan mata tanpa usaha membantu, adalah penyesalan seumur hidup.

Saat hampir memcapai tempat tangan itu, dia menghilang. Dengan takut, beberapa kali menyelam mencari. Alhamdulilah Allah memang mengirimku kesungai untuk menolongnya. Kakiku menyenggol kepalanya di dalam air. Dengan tenaga tersisa aku menyelam menemukannya. Kutarik dia kebibir sungai. 

"Udah makan dulu." Aku tersentak, Idris menyentuh pundakku. Aku meneguk liur yang tergiur mencium bau rendang. Perutpun ikut bersuara. Cacing-cacing seolah berdemo. Berteriak mengetuk lambungku.

"Tu kan, kamu pasti tadi pagi nggak saur?" tebak Idris. Dia mulai tau kebiasaanku menghemat. Walaupun tak pernah ku ceritakan apapun masalahku.

💕🏡💕

Berita buruk untuk beberapa karyawan baru ada pengurangan karyawan karena omset menurun. 5 orang karyawan di berhentikan, dan itu termasuk aku. Untung Idris tidak. Mencari pekerjaan di kota ternyata bukan hal mudah. Sampai di Jakarta langsung bisa dapat pekerjaan adalah keberuntunganku, dan berkat bantuan Idris. Tapi, kali ini aku tak lagi mau merepotkannya.

"Udah Ka, tar aku bantu cari kerja tempat lain." Idris menggeser bubur ayam ke arahku. Tiba-tiba aku ingat Ibuk, saat melihat bubur di hadapanku.

"Kamu tau enggak Dris, lihat bubur aku ingat Ibuk." Aku berdecak tersenyum memandang mangkuk bubur di hadapanku.

"Dia pernah masak bubuk dengan air menggenang."

"Menggenang?" ulang Idris.

"Iya, ibuk menyulap beras setengah canting, biar bisa di makan berlima." Entah mengapa aku jadi bercerita pada Idris. Hal yang jarang kulakukan pada siapapun.

Aku tak berani memberi kabar pada Ibuk, sudah 3 bulan aku tak pulang. Ibuk dan adik-adikku bahkan terus menanyakan kapan aku pulang. Rindu, pasti. Tapi, aku sudah bertekat tak akan pulang sebelum hutang dan kehidupan keluargaku menjadi lebih baik. Kalau aku katakan aku tak lagi bekerja, Ibuk pasti langsung menyuruhku pulang.

💕🏡💕

"Maaf mas." Seorang menegurku, yang duduk di kursi taman kota sendiri. Melepas lelah setelah berkeliling melamar pekerjaan. Namun, nihil.

"Boleh minta tolong fotoin,? lanjutnya. Dia mengulurkan kamera kehadapanku. Aku terkesima menatap gadis cantik di hadapanku, seperti terhipnotis. "Mas!" Panggilnya lagi, menyadarkanku. 

"Eh, iya. Boleh." Kuraih kamera dari tangannya. "Eh, tapi gimana caranya?" tanyaku jujur, dia tersenyum manis, tanpa bertanya atau mengejekku yang tak tau menggunakan kamera. Dia mengajarkanku cara menggunakan kamera. Dia kembali bersama teman-temannya, dan mulai berpose. Aku mengambil beberapa poto gadis itu bersama grupnya, yang berdiri di dalam lingkaran bunga taman.

"Makasih ya mas," Ucapnya berdiri di hadapanku. Aku mengangguk. Dia mengambil kembali kameranya, memeriksa hasil poto. 

"Bagus, hasilnya keren. Mas kerja apa?" tanyanya, berbasa-basi. Mungkin.

"Baru di PHK Mbak." Aku berbicara jujur tanpa malu dia akan memandangku rendah. Padahal, aku berharap dia tertarik padaku.

"Wahh.. kebetulan aku lagi cari potografer untuk endorse dan baju onlineku ... lagian aku enggak percaya Mas baru pertama pegang kamera?" ucapnya menahan tawa. Apa dia berpikir aku modus minta ajar segala?.

Aku menghela nafas. "Kamera Mbak, beda sama yang biasa saya pakek. Di tempak kerja kemarin." belaku, tak ingin dia salah paham. Dulu aku bekerja di bagian pemotretan barang yang akan dipasarkan di aplikasi online shop.

"Mas potografer? Wahhh. Cocok kalau gitu, kerja dengan aku." Dia meminta nomor ponselku dan memintaku untuk datang ke kantornya besok.

💕🏡💕

6 bulan di Jakarta, Alhamdulilah pertolong Allah selalu hadir memberi kemudahan lewat orang sekitar, aku menarik kembali ucapanku tentang membenci dunia yang tak adil. semua hanya masalah waktu, usaha, doa, dan harapan yang terwujud.

Kondisi keuanganku semakin membaik. Selain mengirimkan uang untuk keluarga di kampung, aku bahkan bisa menabung. Penghasilanku meningkat berkali lipat. Plus bonus yang kadangku dapatkan dari kerja exstra di luar kontrak, seperti membantu mengecek barang di butik, lembur atau mengirim barang saat kurir tak menjemput pengiriman barang.

Indah Wulandari, seorang selebgram, pemilik butik muslimah, juga sedang mencoba dunia youtuber dengan film pendek. Gadis yang menawarkan pekerjaan dan juga banyak membantuku.

Ponsel di saku celanaku bergetar. Videocall  dari Riri. Minggu lalu aku mengirimkannya ponsel android supaya bisa bertatap muka.

Layar penuh dengan wajah berseri mereka, Ayah, Ibuk, Riri dan Rinra. Obrolan seputar kabarku, keadaanku, pekerjaanku, semuanya tentang aku. Ibuk bilang aku jangan terlalu keras bekerja, hutang Ayah sudah lunas. Ayah sehat. Dan uang yang kukurim lebih dari cukup. 

Video call aku tutup dengan mengatakan aku akan segera pulang bulan depan, aku rindu Ibuk, Ayah, Riri dan Rinra. Aku juga rindu rumah dari sana harapanku, kumulai.

Hope & Home (Completed) Where stories live. Discover now