Aku Benci Mimpiku

17 2 2
                                    


Sore itu, aku sedang berkumpul dengan teman-temanku. Tiba-tiba ponselku diraih oleh salah satu temanku, Maher. Dia membuka-buka laman galeri di ponselku dan menemukan sebuah tangkapan layar durasi percakapan aku dengan Si Dia. 

"Cieee lama banget nih telpon sampe dua jam. Gila, jam berapa nih telponannya? Jam 11 malam? Wuihh," ledek Maher. 

Aku dan Si Dia hanya saling tatap, bingung. Kikuk, dan terdiam. 

Ku putar otak, kubawa topik dalam sebuah canda dan kuhilangkan kikukku. 

"Mau tahu gak isi obrolannya apaan?" balasku. Ku lihat wajahnya penasaran dan disambut teman-teman lainnya. 

"Anjing! Dari siang email gue nyangkut! Gak kekirim! Anjing lah ini. Aduh. Kan harusnya dari siang udah kelar kerjaan. Aduh. Mana udah malam lagi ini. Masih diterima gak nih kerjaan gue, ya?" ceritaku mengulang percakapannya malam itu. 

"Ah masa cuma ngobrolin itu? Ciee," ledek Maher, lagi. 

"Lah serius. Isinya makian dia semua sepanjang telepon. Dia cuma marah-marah," tutupku agar tak lagi ditanyakan. 

Ya, memang tak semuanya aku ceritakan. Satu hal yang tak kusangka keluar dari bibirnya di akhir telepon malam itu adalah, "Gue rasanya pengen selesai sama cewek gue. Gue bingung." 

Itu hal yang sebenarnya tak ingin aku ingat lagi. 

*KRRRRRRIIIIIIINGGGGGGG* 

Alarm ponselku berbunyi. 

"Aaah cuma mimpi," helaku, sambil mematikan dering alarm. 

Aku bingung lagi. Dari mimpi itu, kejadian telepon tengah malam dan isi percakapan itu benar terjadi. Kenapa bisa benar-benar sama? 

Oh! Foto tangkapan layar percakapan itu .... Buru-buru ku cek ponsel, 'berlari' ke folder tangkapan layar. 

"Hah masih ada? Gila," batinku. Dulu kusimpan tangkapan layar perbincangan kami karena sudah lama dia tak meneleponku. 

++++

*Tung!* bunyi notifikasi chat ponselku. 

"Woy," sapanya. 

Sumpah. Ini bukan kali pertama, kedua, atau ketiga. Setiap aku usai atau sebelum memimpikannya. Pasti ada chat darinya. 

Aku benci ilmu cocoklogi ini. 

++++

Hari berlalu, sebelum tidur. Kuharap aku bisa tidur nyenyak, tanpa mimpi. Apalagi mimpi tentangnya. 

Tapi, doaku tak diterima. Malam itu aku kembali memimpikannya.

"Rei. Lu dulu pernah kan ya ngilang di tongkrongan, gak kerja ada kali lama banget. Katanya lu sakit. Sakit apa dulu lu? Gue sampe sekarang kayaknya gak tau deh," tanya Farid. 

"Hemm... Iya, tumor. Abis operasi tumor di lengan," jawabku. 

"Ada kali sekitar, 2 minggu? Sebulan? Hampir tiga minggu?" lanjutku sambil berpikir dan melihat ke arah Si Dia.

"Gak nyampe sebulan ah. 2 mingguan doang," jawab Si Dia. 

"Cieee tahu," ledek Maher menyaut. 

"Ya gue yang nemenin dia bolak-balik kontrol jahitan abis operasi ke rumah sakit," jawab Si Dia enteng. 

"Beuhhh!" timpal Farid. 

"Yaaa dulu kan kakak gue cuma bisa nemenin gue pagi. Kalau siang ya dia yang nemenin gue. Sekedar jemput di rumah sakit dan pulang, makan doang. Udah," jelasku agar segera berakhir topik ini. 

+++ 

Aku terbangun. Tersadar, perbincangan itu tak pernah ada di kejadian nyata tapi itu semua benar. Khususnya, saat memang Si Dia yang menemaniku bolak-balik ke rumah sakit. 

Oh my God! Aku benci kembali mengingat kejadian bersamanya. Kenapa sering terselip dalam hari-hariku? Mana ini berhari-hari lagi mimpinya. 

Damn!




Tahan Rindu, Emang Kamu Kuat?Where stories live. Discover now