Rengkah Ekstasi

1.1K 151 12
                                    

Jaemin membuka pintu apartemen dan wajah semringah Jeno langsung menyambut satu detik setelahnya. Menautkan kedua alis heran, matanya menyipit dengan wajah menjulur ke arah si pemuda.

"Tebak, apa?" tanya Jeno dan mata Jaemin semakin memicing.

"Kalau itu tentang peluncuran buku, kuyakin tidak mungkin. Aku belum menerima bukumu untuk dipasarkan."

Jeno tergelak mendengar jawaban itu. Ia lantas melangkah masuk begitu saja, mengabaikan si pemilik apartemen yang masih terheran-heran di depan pintu.

Berdecak sebal, Jaemin mendorong pintu menutup, kemudian mengekori Jeno masuk lebih dalam, memperhatikan si pemuda yang tersenyum lebar sambil membaringkan diri di sofa ruang tengah. "Sejak kapan kau jadi tidak sopan, Jen? Lepas sepatu dulu!"

Jeno pun bangkit, melepas kedua sepatu dan meletakkannya pada rak di samping pintu masuk. Ia kembali sambil menanggalkan mantel dan menyampirkannya ke punggung sofa, lalu duduk di samping Jaemin yang kini asyik menekan-nekan tombol remote, memindah-mindah saluran televisi.

Memperhatikan wajah si lelaki Mokpo yang tak menunjukkan ekspresi tertarik, bersama jempol yang juga tak henti memencet remote, membuat Jeno berpikir tombol itu bisa tertanam dan tak kembali ke permukaanㅡmengingat seberapa kuat Jaemin menekannya. Tanpa berkata apa-apa, Jeno menyandarkan kepala ke pundak lelaki itu, menyamankan diri dengan senyum yang belum pudar.

"Kenapa? Senang sekali kelihatannya," celetuk Jaemin dengan mata tak teralih dari televisi.

Senyum Jeno semakin mengembang, membuat ketampanan semakin menguasai roman. "Dia bilang aku harus meneleponnya."

"Huh?" Kali ini Jaemin menoleh, dengan raut heran persis seperti sebelumnya, menatap Jeno lebih lamat.

"Haechan," katanya, mengangkat kepala dari pundak Jaemin. "Dia bilang aku harus menghubunginya."

"Ya, terus?"

"Sepertinya ... aku dan dia resmi berkencan sekarang." Jeno menggaruk tengkuk, merasa canggung sekaligus malu. Peristiwa beberapa menit lalu berhasil membawa perasaan geli menggelitik jantung, membuat benda itu melompat-lompat tak tentu. Ia kembali mendongakkan kepala, menatap Jaemin yang kedua matanya membola.

"Kau menyatakan perasaan pada Haechan?!" Jaemin begitu terkejut, bahkan perhatiannya sudah tak lagi mengarah ke televisi, tersita penuh pada wujud Jeno saat ini.

"Ya ..." pemuda itu mengangguk singkat, "seperti yang sudah kukatakan padamu."

"Dan ... dia menerimamu? Ah, sudah jelas!"

Jeno terkekeh, pun menarik Jaemin ke dalam pelukan, mem-beri usapan pada punggung lelaki itu seraya tertawa-tawa, melampiaskan rasa senang dan lega.

Sementara itu, Jaemin hanya terpaku pada keadaan. Membiarkan Jeno terus memeluk dan mengusap punggungnya. Sudah sangat jelas, ini adalah hari terbaik bagi pemuda itu sebab berhasil mendapatkan Haechan, dan menjadi sosok pencemburu merupakan sikap tak tahu malu lagi tidak sopan. Jaemin tidak akan melakukannya.

"Selamat," ujarnya, menahan agar suaranya tak bergetar sedikit pun. Jaemin tak ingin membuat si sahabat terbingung-bingung akibat perubahan sikap yang tiba-tiba. Dengan cukup pintar, ia melingkarkan kedua tangan melingkupi Jeno, membalas pelukan si pemuda beserta tepukan-tepukan halus yang juga diberikan pada permukaan punggung lebarnya. "Aku senang untukmu, Jen. Serius."

"Semua juga berkat bantuanmu."

"Kau bicara apa? Aku hanya melakukan hal wajar yang pasti akan dilakukan seorang sahabat." Jaemin merasa pemuda di pelukannya mengangguk, sebelum akhirnya melepas dekapan mereka dan beralih saling tatap.

[✓] A Day Before Christmas [Bahasa]Where stories live. Discover now