👉 Bagian Kesebelas; Keinginan (COMPLETED)

77 8 0
                                    

"Tiroz, hidup adalah sesuatu yang tak kau inginkan namun kau selesaikan."

Sekarang Tiroz bekerja di sebuah kafe milik ponakan ibu Lastri, pemilik kos tanpa sepengetahuan Ustadz Hasan. Hanya saja ia berpamitan untuk tidak lagi ngaji dan akan dilanjutkan jika kuliahnya selesai dan menjumpai waktu senggang. Pekerjaan itu ia mulai dari usai kuliah hingga kafe tutup pada larut malam. Bekerja bukan untuk kerakusan dunia, setidaknya untuk biaya wisuda yang sudah di depan mata. Hal itu dikarenakan dua pekan setelah Tiroz mengantar Dhafa ke Kudus, ia mendapatkan kabar dari ayahnya. Pesan whatsapp, sebuah foto dan tertulis "segala puji syukur kehadirat Allah, baru saja ayah menerima lamaran Faiz, anak Hasan untuk Dhafa dan akan diboyong ke Kairo karena S2-nya belum selesai, wassalam."

Rasa bahagia bercampur pening di kening hingga mengharuskan Tiroz memeluk tubuhnya sendiri saat ini. Satu sisi, ia bahagia adiknya mendapatkan apa yang diharapkan. Dinikahi seorang mahasiswa Azhar, terlebih Dhafa bisa melanjutkan pula kuliah disana. Jika kendalanya ijazah, setidaknya bisa Dhafa menghadiri kajian dari ulama-ulama azhar. Sisi lain yang membuat Tiroz pening, kedua anak ayahnya saat ini membutuhkan banyak biaya. Pernikahan dan wisuda. "Semakin memutih rambutmu, Ayah..!"

"Skripsimu itu bagus, Tiroz..! Aku ingin kau segera menyelesaikannya. Aku telah siapkan waktu sore untuk membantu menyelesaikan skripsimu..!" Tekan Pak Mubarok, dosen pembimbing skripsi Tiroz.

"Maaf pak, saya tidak bisa. Lebih baik saya menundanya terlebih dahulu."

"Kau menukar itu dengan pekerjaanmu...?"

"Iya, pak. Sekali lagi mohon maaf, terima kasih banyak atas bantuannya."

Tiroz keluar dari ruangan dosen meninggalkan kekecewaan pak Mubarok sendiri. Memanggil Tiroz usai kuliah sia-sia. Pak Mubarok berniat untuk membantunya, namun tiba-tiba Tiroz tak menjadikan akhir kuliahnya sebagai prioritas.

Pengunjung kafe mulai sepi, Tiroz membuka buku. Kesempatan untuk membaca pikirnya. Jika tenaga fisik sudah terpakai seharaian, kini saatnya melelahkan otak. Belum dua halaman Tiroz sampai membaca teman dari belakang menegur. "Tiroz, kopi dua dan kau antar sendiri di teras..!" Tiroz menghela nafas panjang, mencoba tenangkan emosi. Seakan ia memang benar-benar tidak di beri kesempatan malam ini untuk membaca buku. "Kafe mau tutup, masih saja ada yang datang, tak tahu apa orang mau baca buku.. ganggu aja..!" Gerutunya. Kekonsentrasiannya sekarang beralih pada kopi yang ia racik.

"Bangku nomer 12." Kata temannya. Tiroz sendiri mengantar.

"Pak Mubarok..!" Tiroz terkejut melihat seorang yang duduk di bangku nomer 12. Ternyata yang memesan adalah pak Mubarok. Ia terlihat seorang diri. Ia melempar senyum kepada Tiroz.

"Bisa kau temani bapak ngopi..?"

"Jadi, ini yang membuat skripsimu amburadul..?" Asap kopi menari-nari disamping hidung pak Mubarok. Matanya terpejam sedikit saat seruput kopi menggrayangi lidahnya.

"Untuk interpretasi ayat Alqur'an terlebih dahulu harus tahu asbabul nuzul, realita dibalik turunnya ayat..! Bukan begitu pak..?" Ia sumat rokok. Setelah menghembus dan sesekali memainkan asap.

Pak Mubarok tertawa lepas mendengar Tiroz berkata seperti itu.

"Kau ini bisa saja. Kalau begitu bolehkah bapak tahu asbab nuzulnya?"

Tiroz memandangi pak Mubarok lekat-lekat. Ia mulai bercerita tentang dirinya hingga ia menjatuhkan pada opsi yang menurutnya sudah ia pertimbangkan matang-matang.

"Pak, saya sebenarnya kuliah tidak ada ada minat sama sekali. Bagi saya, ketika saya tahu hidup di pesantren. Saya akan curahkan seluruh hidup saya terhadap pesantren."

Pak Mubarok belum berkomentar. Tiroz melanjutkan.

"Saya kuliah disini atas perintah Kyai saya di pesantren dulu. Beliau menginginkan saya menjadi akademisi, hanya perintah pak. Hanya perintah...!" Nada Tiroz mulai meninggi.

Yang Kau Sebut Cinta Itu Bukan Cinta (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang