Twelve

7.6K 600 101
                                    

Yang baik hati jangan lupa vote dan komen ya❤ Oh ya sebelumnya, Padila mau ngucapin minta maaf ya sama kalian kalau padila ada salah, maapin ya 🦄


Jangan lupa komen di setiap paragraf dan votenya!
Happy reading🐰

------------------------

Galexia Elarania, mungkin kebanyakan orang yang melihat dirinya selalu tertawa, menyimpulkan bahwa ia gadis yang selalu bahagia. Tapi siapa sangka, justru persepsi mereka semua salah. Lexa tidak bahagia, Lexa selalu merasa sendiri meski di tengah-tengah keramaian.

Sama seperti di situasi ini dan di tempat ini, rumah sakit. Lexa bahkan sangat anti untuk datang ke tempat ini. Tapi Lexa rela datang kesini hanya untuk Galexter.

Lexa menghembuskan napasnya merasa sesak karena bau obat-obatan terus menyeruak ke dalam rongga hidungnya. Mungkin satu-satunya kebebasan baginya kini adalah pergi dari rumah sakit ini.

Lexa menoleh ke samping lalu berdiri dan mengambil sling bagnya, gadis berambut pirang itu beralih menatap kearah pintu tepat dimana Galexter masuk untuk melihat kondisi Lunar. Lexa terdiam, bahkan mungkin kini dadanya semakin sesak karena melihat Galexter yang selalu tersenyum kepada Lunar apapun keadaannya.

Lexa langsung pergi dari sana tanpa memikirkan kedepannya, bagaimana jika Galexter mencarinya?

"Ah nggak boleh kepedean! Mana mungkin Galexter nyariin aku," batin Lexa seraya menggelengkan kepalanya dan berjalan menjauh dari sana. Mungkin tujuannya kali ini, keluar dari rumah sakit. Hidungnya sudah benar-benar gatal karena terlalu banyak menghirup bau obat-obatan asli resep dokter itu.

Lexa terus berjalan hingga beberapa menit kemudian ia baru bisa berhasil keluar dari Rumah Sakit. Benar-benar melelahkan, ternyata tempat ini benar-benar luas dari yang ia kira. Gadis itu sudah sampai di taman area depan rumah sakit, untung saja banyak pepohonan disini, jadi rongga hidungnya akan menghirup udara yang menyegarkan dan menyejukan.

Lexa memandang kearah langit yang sepertinya murung, diatas sana awan berubah menjadi warna hitam. Bagaimana ini? Ia menyukai hujan, tapi ia belum cukup pulih untuk benar-benar bermain leluasa dengan hujan. Kepalanya masih terasa pusing, apalagi karena efek mencium bau rumah sakit.

Perlahan, awan menangis, Lexa tersenyum, ternyata awan sangat mengetahui isi hatinya. Tanpa pikir panjang, Lexa berlari kearah halte, ia akan menunggu awan kembali tersenyum di sana. Tapi tanpa sengaja matanya menangkap segerombol orang bermotor, Lexa tau siapa orang itu, teman-teman Galexter. Dengan tanggap Lexa memalingkan wajah. Sip, mereka melewati Lexa tanpa mengenali gadis itu.

"Huh, untung mereka nggak liat," gumam Lexa. Ia akan menunggu awan sampai meredakan tangisnya. Itu akan lebih baik untuk sekarang. Gadis itu memilih duduk di bagian pinggir. Mungkin agar lebih dekat dengan hujan.

"Lexa kangen papah," ujarnya getir, otaknya kembali memutar memori lama yang masih membekas di ingatannya.

Lexa menutup matanya sejenak, membiarkan suara derasnya hujan menyeruak di kepalanya.

"Mbak ngapain merem-merem gitu?" pertanyaan bebas meluncur dadi bibir seorang wanita yang sepertinya umurnya sudah hampir setengah abad, mungkin. Lexa membuka matanya dan tersenyum kikuk pada ibu itu.

"Ah enggak bu, ini memang kebiasaan saya, merem pas lagi hujan, itu akan terasa melegakan bagi saya." Lexa berkata jujur, dan ibu yang duduk di sampingnya terdengar mendesis pelan. Kini giliran Lexa yang menatap ibu itu dengan segala pertanyaan yang muncul di benaknya.

GALEXTERWhere stories live. Discover now