Sesal Dalam Hati

2 1 0
                                    

Senja membentang di sepanjang pantai merah muda, membuat mata berbinar tak terhentikan. "Farel, jangan nglamun lo!", tegur Dika. "Eh, engga apaan sih lo, Dik?", Farel menepis. Dika sembari menarik baju putih Farel untuk bermain di pesisir bersama teman-temannya. Mereka merayakan keberhasilan kelulusan dengan bermain percikan air yang asin. Tawa lebar tampak pada raut wajah mereka. Sebentar lagi, ia akan bertolak menuju Bandung, meraih mimpinya. Terkadang, ia merasa tak sanggup meninggalkan kenangan mulia. Tentu saja, hari ini akan selalu diingatnya sebagai titik temunya bersama mereka. Setidaknya Farel merasakan indahnya insan senja yang tak bisa ia tangkap ketika di Jakarta. "Kamu indah, mereka begitu pun, wahai teman ingatlah akan hari ini.", ucapnya sendu.

Hijaunya taman membuat langkah kaki Rahel cenderung bergelora. Ia menggandeng tangan Ilo (adiknya) dengan sangat nyaman. Bersenang-senang mengejar kupu bersayap corak unik. Berlarian tanpa arah, sehingga membuat adiknya terpleset oleh batu kerikil tak bersalah. Sontak ia menangis keras. Langsung saja, Rachel mengangkatnya, "Cup... Cup... Cup...", kata Rahel. "Ilo, nangis gpp tapi harus ceria lagi, ayo semangat!", pinta Rahel. "Iyaa, kakk.", kata Ilo sambil terbatah-batah. Memutuskan meninggalkan pulang taman penuh kehijauan tadi menuju rumah asri zaman Belanda mereka. "Kakak, cuci dulu ya, lukanya.", perhatian Rahel. Ilo hanya menyeringai perih. Luka tak lebar itu tertetes oleh betadine yang berharap menghapus rasa pedih akibat tak sengaja jatuh tadi.
Rectoverso karya Dee, menjadi lembaran kertas pertama yang ingin dibacanya. Setelah, Luna iseng mencari di internet, ia langsung menuju ketoko buku terdekat untuk membeli buku itu. Ia buka perlahan lembar buku itu dengan tatapan penasaranya, membaca dengan penuh minat. Tak sangka, ia langsung menyelesaikan buku itu sekejap saja. "Wow!", kata Luna setelah selesai membaca novel Dee tersebut. Bukunya masih erat dalam genggaman tangannya. Angin malam membuatnya tertidur tak sadar. Padahal dia belum mengecap nasi sama sekali sejak sore tadi. Untungnya masih ada gorengan yang ia belinya dari seorang ibu-ibu tua yang berkeliling di pinggir jalan dengan letih. Luna terbangun di tengah malam, menyemil gorengan yang telah dingin. Masih terbayang novel indah Dee.
"Caramel Macciatonya, satu, less ice, less sugar.", pesan Aryo di salah satu kedai kesukaannya. Kali ini dia tidak sendiri lagi, ditemani oleh secangkir kopi dan sebuah laptop dengan project terbarunya. Sedikit curi pandang dengan beberapa manusia anggun. "Lumayan, dapat inspirasi hehehe.", ketawa kecilnya. Ia berharap antologi puisinya dapat mewakili intuisi semua orang yang membacanya. Terlalu fokus hingga menghiraukan 20 panggilan dari Ibunya. Ia pun terkejut lalu menelfon balik sang Ibu. "Kamu di mana toh nak? Jam berapa ini belum pulang?", khawatir Ibunya. Aryo langsung menoleh jam yang tertempel pada dinding bata dan jarumnya menunjukkan tepat pukul 11 malam. Ia bergegas pulang karena takut tak bisa masuk rumah karena terkunci.
Tepat pada tanggal 15 Agustus 2015, banyak pendatang atau sebut saja mahasiswa baru berbondong-bondong menuju Bandung lewat berbagai jalur. Tawa, canda, sedih, rindu, tak rela bercampur menjadi satu atas kepergian para pemimpi yang berada di luar Bandung ini. Karena merantau adalah memiliki rasa yang berbeda daripada tidak merantau. Macet, dimanapun menjadi kebiasaan tahunan. Tapi, tidak apa itulah kewajaran.
Sama halnya dengan Farel dari Jakarta, Luna dari Bali, dan Aryo dari Yogyakarta, mereka bersiap untuk menuju Bandung dengan segala harap mereka. Sedangkan Rahel hanya tinggal menunggu hari karena dia sendiri berasal dari Bandung. Tak ambil pusing karena sudah tersedia semuanya. Rahel tidak sabar menunggu hari pertama masuk perkuliahannya. Bertemu dengan orang baru dan memulai cerita baru pula.
Farel tidak berangkat sendiri, ia bersama teman-temannya yang lainnya naik kereta menuju Bandung. Mereka memutuskan untuk kontrak bersama, adalah sebuah ide cemerlang bagi mereka. Karena dapat menghemat biaya dan tidak bingung akan banyak hal. Mereka bisa melakukannya bersama dan bisa saling membantu satu sama lain. Bukan kontrakan mewah, ya hanya kontrakan biasa cukup untuk tidur, belajar, dan tak lupa untuk bermimpi.
Luna membeli beberapa cemilan khas Bali untuk ia bawa naik pesawat bersamanya. Banyak yang ia beli, karena dia yakin tidak ada di sana. Sebenarnya bisa untuk membeli dari jauh tapi itu membutuhkan waktu, jadi dia membeli dengan banyak sambil membawa koper yang berbeda. Mulai memasuki bandara Bali dengan sedikit cepat karena tadi ia terlambat dan untung saja ia tak miss flight.
"Nak, jaga diri baik-baik ya, kalau sudah sampai Bandung jangan lupa kabari Ibu.", pinta Ibu sambil memeluk erat sang anak. "Iya, Bu.", jawab Aryo. Selepas pelukan itu, Aryo akan bergegas menuju gerbong kereta api. Ia sendiri. Tidak, ia ditemani tas ransel dan kamera polaroidnya. Di saat kereta berjalan, ia sempat memotret sang Ibu lewat kameranya itu. Lambaian tangan tak henti-henti bergoyang.
Hati mereka sudah siap kali ini karena mimpi mereka sudah tampak di depan mata. Canda tawa dan sendu tetap ada dalam perjalanan mereka. Luna lebih memilih mendengarkan lagu menemani penerbangannya. Aryo sambil mengemil snacknya karena perjalanan cukup panjang, terkadang ia memotret banyak figur. Sedangkan Farel bernyanyi riang bersama dengan ukulele milik temannya.
Mereka sudah sampai di Bandung. Aryo bergegas masuk kos, tak lupa menyapa bapak kos. Kosnya cukup dekat dengan kampus jadi cukup berjalan ia sudah sampai. Luna memilih untuk tinggal di apartemen aestetik yang tak jauh dari kampus, tapi transportasinya transportasi online. Sementara Rahel membayangkan bagaimana suasananya kampus, bagaimana teman-temannya nanti.
Kini, mereka telah sampai pada mimpi mereka. Hari pertama perkuliahan dimulai, tentu saja dimulai dengan pengenalan kampus dan berbagai macam kegiatannya. Mulai dari sini mereka berempat mulai menunjukkan minat dan bakat mereka masing-masing. Mereka ingin bergabung ke dalam komunitas kesukaan mereka. Dan tentu saja mereka mendapat gelar maba (mahasiswa baru).
Keempat anak ini mulai menjalankan kehidupan kampus mereka dengan jalan mereka masing, jurusan mereka berempat juga berbeda. Jarak antar fakultas mereka juga lumayan. Tentu saja, mereka tak saling kenal. Setelah beberapa bulan terlewat, fakultas Luna mengadakan sebuah pameran seni. Ya, Luna berkesempatan untuk menampilkan desain interior karyanya. Tak disengaja Aryo datang ke pameran tersebut.
Ia melihat hasil desain milik Luna, dan Luna menyadari bahwa Aryo memerhatikan karyanya dengan cukup lama. "Hai, aku Luna, kamu siapa?", tanya Luna. "Aku Aryo, salam kenal". "Matanya memancarkan kehangatan, senyumnya memberi candu.", batin Aryo. Luna tampak bingung karena Aryo hanya terdiam, lalu Luna pergi ke toilet dengan izin tapi Aryo tetap saja melamun melihat paras Luna. Setelah itu, ia tersadar karena tabrakan pengunjung lain. "Lho mana Luna?", tanyanya. Aryo berusaha menilisik perginya Luna. Akhirnya mereka bertatap di depan pameran. Tak berpikir panjang. "Makan siang bareng, yuk.", ajak Aryo. "Makan siang?", Luna sambil mengernyitkan dahi. Dan Luna mengiyakan ajakan Aryo. Dari situ mereka mengenal satu sama lain, bertukar whatsapp.
"Makasih Aryo, udah nemenin makan siang.", ucap Luna. "Sama-sama dengan sorak hati.", jawab Aryo. Mereka mulai perbincangan dari situ. Sering pergi bersama entah menonton maupun karaoke sekedar refreshing. Lalu, Aryo berkesempatan untuk tampil dalam sebuah teater besar dan ia menjadi salah satu aktor utama. Ia mengajak Luna untuk menonton teater ini. Luna langsung mengiyakan ajakannya.
Luna duduk kursi paling depan bersama seorang teman perempuannya. Aryo menampilkan drama Tenggelamnya Kapal Van Djer Wick, kisah yang sangat bagus dan kental oleh romansa dibungkus manis pada malam ini. Luna terus bersorai, ia langsung bergegas menemui Aryo. "Wahh, selamat ya Aryo. Totalitas tanpa batas!", gembira Luna. "Eh, kenalin ini Lucy teman aku.", ucap Luna. Aryo menyapa dengan lembut.
Setelah itu, mereka makan malam bersama di depot chinese kesukaan Lucy. Mereka bercengkrama satu sama lain. Menceritakan kehidupan satu sama lain. Tetapi, tetap dengan lahap memakan butiran gurihnya. Terkadang Aryo melihat sebuah ganjal, tetapi mungkin perasaannya saja. Aryo mengajak pulang bersama Luna. Tetapi, Luna sudah terlanjur pulang bersama Lucy.
Penampilan teater kemarin merupakan salah satu panggung teater terbesar dalam kampus. Banyak pujian yang terlontar pada akun sosial media Aryo. Salah satunya Rahel lewat dm, "Hi, Aryo malam teater kemarin, keren banget. Kemarin mau foto tapi kamu banyak yang ajakin foto.", sipu Rahel. Aryo pun merasa seperti bintang jagat, dia begitu senang banyak yang merespon aksi teaternya.
Seperti biasa Rahel akan menghabiskan banyak waktunya di perpustakaan umum kampus. Entah mengerjakan tugas, bersantai, mendengarkan musik, dan membaca buku komik. Kini, ia sendiri memilah-milah buku komik yang ingin ia baca karena hampir semua sudah ia baca. Akhirnya ia berhasil menemukan komik baru, disaat itu juga dia ditabrak oleh seorang laki-laki. Dan dia tidak minta maaf karena telah menabrak Rahel dan menjatuhkan komik baru itu. "Sebal, siapa cowok itu!", gerutu Rahel. Ia cukup panas hati, tapi cepat ia lupakan karena tiba-tiba temannya mengirim pesan, ada konser Tulus di kampusnya bulan depan. Ia langsung membeli tiket bersama teman-temannya. Karena ia kagum dengan Tulus terlebih suara merdu menjamah hati. "Aku beli! KALIAN HARUS IKUT NONTON! Temenin aku, ketemu calon suami.", canda Rahel.
Banyak penonton mulai memenuhi panggung dan sedikit menempel agar diperhatikan oleh Tulus. Rahel dan teman-temannya bersantai menuju tempat duduk. Jangan cintai aku apa adanya, jangan... Mereka bernyanyi mengikuti irama dan melodi Tulus. Malam itu sangat indah dipenuhi oleh lirik menghantam jiwa, suara merdu menembus telinga, terimakasih Tulus. Sebelum masuk ke acara puncak. Terdapat penampilan guest star.
Para kawula perempuan berteriak histeris karena paras wajah mereka, band kampus yang terdiri dari cowok-cowok berbagai fakultas dengan karakteristik mereka masing-masing. Mereka mulai bersenandung, tapi Rahel melihat ada yang ia kenal. "Ih, gitaris itu nabrak aku pas di perpustakaan. Siapa sih dia?", tanya Rahel. "Ya ampun, dia Farel. Masa kamu ga tahu sih dia terkenal.", jawab Sisil. Rahel hanya tidak peduli dengan keterkenalannya.
Pada malam itu, mood Rahel cukup kacau. Tapi, karena kemunculan Tulus kembali menaikkan moodnya lagi. Selesai konser Tulus, Rahel memutuskan untuk langsung pulang tidak mengikuti jejak temannya yang lain menuju tempat makan. Sesampainya di rumah, Rahel menstalk akun sosial media miliki Farel. Dia terkejut ternyata dia cukup terkenal di kampusnya. Dia dm secara berhati-hati, "Kamu yang waktu itu nabrak aku di perpus, masih ingatkah?".
Selama beberapa hari, ia tak kunjung dapat balasan dari Farel. Ia pikir itu adalah hal yang tak penting, lalu ia biarkan saja. Siang hari ini, Rahel memutuskan untuk pergi ke salah satu museum yang cukup terkenal di Bandung, hanya sekedar ingin tahu dan berkeliling saja karena tidak ada kelas. Ia berjalan sendiri karena letak museum yang tak terlalu jauh dari rumahya, dan tak lupa ia membawa air mineral di dalam tas selempangnya.
Sesampainya di sana, ia melihat semua detail yang ada di museum itu. Disaat bersamaan, Rahel menatap tajam dan ada Farel juga. Farel terlihat sendiri. Rahel tak malu langsung menyapa Farel, "Hi, Farel, aku Rahel.". "Lo siapa?", jawab ketus Farel. Rahel menjadi agak sensi akibat jawaban dari Farel. "Aku yang kamu tabrak waktu di perpus, ga ingat?", ucap Rahel. "Ga.", jawab singkat Farel sambil pergi meninggalkan Rahel menuju ke ruangan museum yang lain.
Rahel hanya bengong melihat Farel, betapa sombongnya cowok itu. Ia tetap mengikuti diam-diam Farel dari belakang, menelusuri sisa museum. Dan akhirnya sampai di ujung pintu keluar. "Awas ya Rel!", ancam Rahel. Sejak saat itu, Rahel berusaha penasaran dengan bagaimana Farel. Ia mulai memfollow, dan dia tetap mengirim pesan kepada Farel, ya, meskipun pada akhirnya tetap di balas.
Di suatu pagi, ia melewati perpustakaan dan melihat Farel di sana. Dia langsung saja menghampiri Farel, tak cukup itu. Ia menabrak sengaja Farel, sehingga tumpukan buku yang Farel bawa menjadi berantakan di ubin. Rahel langsung saja pergi lari, "Rasain tuh! Wkwkw", kata Rahel. "Eh..looo", Farel kaget. Tak lama kemudian, hp Rahel mendapatkan notifikasi dengan pesan, "He, lo!" dari Farel.
Hari demi hari, mereka terus bully canda tawa satu sama lain. Dan Farel menganggap, bahwa Rahel adalah cewek yang seru. "Hel, mau nonton ga besok?", ajak Farel. "Boleh, nonton apa? Kamu yang traktir ya.". "Kita lihat besok, iya deh.", jawab pasrah Farel. Mereka menonton, lalu lanjut dengan makan jagung bakar pinggir jalan dengan hawa dingin Bandung, sungguh tepat. Farel lalu mengantar Rahel pulang, "Oh, lo asli Bandung?, tanya Farel. Rahel mengangguk.
Dua insan ini semakin intens tiap harinya, semakin sering berpergian bersama. Rahel juga sering mengajak Farel ke perpustakaan untuk iseng membaca buku. Terkadang, Farel meminta Rahel untuk menemaninya untuk keliling ngeband. Hari Rahel semakin indah dengan bertambahnya Farel di dalam kehidupannya. "Hanya teman ya, tidak boleh lebih.", batin Rahel mengingatkan secara teguh.
Tetapi, benak Rahel diuji saat ini, Ilo tidak sengaja ditabrak oleh seorang pengendara motor ugal-ugalan nan tak bertanggung jawab. Ia harus sampai di bawa ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Rahel hanya terkejut, menangis tiada henti karena tidak berhasil menjaga adiknya dengan baik. Farel datang untuk menenangkan. Tapi, kedatangan Farel tak cukup. Di kala, Ilo dinyatakan meninggal karena terlalu banyak kehabisan darah. Rahel menangis dengan teriakan selendang-kencangnya dan pingsan begitu saja. Ibu dan Bapak tak bisa membendung kesedihan terdalam mereka juga. Farel berusaha menenangkan mereka, membopong Rahel menuju tempat yang layak. Farel ikut menitihkan air mata. Setelah, Rahel sadar ia masih tak sadar, apakah ini hanya mimpi atau sekadar lelucon. Ia tidak bisa terima dengan apa yang terjadi pada adiknya.
Ia membagikan kenangan manis bersama Ilo, salah satunya di taman waktu itu. Ilo, jangan lupain taman indah ini ya, nanti kita main ke sini lagi, caption Rahel. Ucapan bela sungkawa bermunculan dalam kolom komentar tapi Rahel tak ingin membalasnya karena masih tidak sanggup menerima semua ini. Aryo datang ke rumah Rahel berbela sungkawa, tak hanya sendiri ia mengajak Luna.
"Rahel, turut berduka cita ya.", ucap Aryo. Rahel menanggapi dengan terenyuh. Begitu pula mengucap kepada Rahel sambil memeluknya hangat, "Yang sabar ya, Hel.". Aryo dan Luna pamit pulang. Farel memutuskan untuk terus menemani Rahel di setiap langkah sedihnya. Farel siap memberi apapun kepada Rahel. Dua bulan lebih telah terlewati batin Rahel sedikit demi sedikit pulih.
Aryo mengajak Rahel untuk menonton stand up comedy, karena Rahel selama ini hanya mengurung diri di rumah dan hanya pergi ke kampus sesaat. Tentu saja, tak lupa Aryo mengajak Luna, dan Rahel mengajak Farel bersamanya. Mereka berempat tak henti-hentinya tertawa hingga sedikit pelik perut. Mereka menyempatkan untuk nongkrong sebentar untuk mengemil sedikit. Mereka mulai bertukar nomor, bertukar sosial media, menceritakan pengalaman hidup mereka masing-masing. Dan mereka berempat memiliki karakteristik yang berbeda dan dapat saling melengkapi. Setelah cukup kenyang, mereka memutuskan untuk pulang ke tempat mereka. Percakapan mereka tidak garing cenderung seru, itulah poin indah. "Bye, Rahel hati-hati di jalan.", sapa Luna.
Hari ini tepat satu tahun Ilo pergi meninggalkan Rahel, tak terasa tapi nyata. Mereka menemani Rahel menuju pemakaman. Mereka membiarkan Rahel sebentar untuk termenung. Selesai. Aryo menyeletuk, "Eh, makan yuk di restoran mahal mumpung awal bulan.". "Yee, habis-habisin duit lo.", jawab Farel. Rahel dan Luna hanya tertawa kecil. "Tak apa aku saja traktir.", ucap Luna. Aryo langsung senang karena memang dia mengode Luna. Perbincangan dimulai dengan ajakan Farel untuk mengajak pergi liburan ke Belanda sebelum lulus nanti. Mengapa Belanda? Entah. Farel menganggap Belanda adalah negara yang indah dan dia memilihnya secara acak. "Ya, udah tak nabung dari sekarang.", jawab Aryo. "Ide yang bagus Rel.", sambung Rahel. Luna mengikuti saja. "Setuju nih ya, gue tulis di buku kita.", kata Farel dengan penuh semangat.
Buku kita adalah lembaran kertas yang tertuliskan oleh tinta warna-warni penuh dengan impian dan peraturan persahabatan. Poin pertama, tidak ada yang boleh pacaran dalam pertemanan ini. Mereka semua telah sepakat terhadap semua tulisan yang ada di buku kita itu. Sedikit egois memang tapi penuh makna. Farel menutup buku itu dan memberikannya ke Aryo karena buku kita akan berganti siapa yang menjaga dalam setiap bulannya.
"Lun, besok temenin aku ya beli kado.", pinta Rahel. "Okay, Hel.", jawab Luna. Keesokan harinya, mereka janjian di mall dekat apartemen Luna. Mereka bertemu, lalu berkeliling. "Apa ya Lun buat kado Farel, aku bingung deh.", tanya Rahel. "Hoodie ? Karena ku lihat dia sering banget pakai hoodie.", respon Luna. Rahel mengiyakan ide Luna. Sementara, Luna bengong melihat gaun. Rahel meraih tangan Luna agar lebih cepat. Hati Luna sedikit berguncang. "Makasih udah nemenin Lun", ucap Rahel. "Dengan senang hati.", jawab Luna sambil membawa kado yang ia beli juga. Rahel mengingatkan kepada Luna untuk jangan lupa kejutan ulang tahun Farel. Luna tersenyum tidak lupa. "Happy Birthday, Farelll", semua teman menyanyikan dengan kuat. Mereka berkumpul semua di rumah Rahel. Api kecil telah tertiup, dan berharap mimpi akan terwujud bersamaan.
"Ada sedikit pengumuman!", ucap Farel. "Gue ama Rahel udah pacaran!", mengucapkannya dengan lantang. Semua gembira kecuali Aryo dan Luna, mereka terkejut dan tidak mempercayai akan hal ini. Sesaat pengumuman itu, Aryo langsung pulang ke kosnya tanpa pamit. Sedangkan Luna tetap berdiri kaku di situ tanpa gerak. Ia izin pamit karena tiba-tiba badannya tidak enak. Farel dan Rahel melanjutkan pestanya. Luna hanya terkejut dengan pengakuan itu. Ia langsung saja membakar foto Rahel yang ia punya, bersamaan dengan gaun yang ia beli waktu itu. Luna menangis, marah, dan teriak. Ia langsung mengirim pesan ke Rahel, "Hel, tolongin aku dadaku sesak banget.". Tepat dengan selesainya pesta Farel. Dan ia bersama Farel cepat-cepat menuju apartemen Luna. "Hel, kamu naik sendiri ya, aku gamau dilihat Farel kayak gini.", pesan Luna. "Iya, Lun.", jawab Rahel.
"Lunnn, kamu gpp? Kamu di mana?" tanya Rahel. Tanpa ada jawaban. Ia langsung menuju kamar Luna tak ada siapa-siapa. Lalu, Luna mendorong dengan cepat Rahel menuju kasurnya. Rahel terkejut. "Kenapa Hel kamu khianatin kita? Aku ada rasa kamu dan sekarang aku jadi muak padamu!", marah Luna. "Aku ga ngerti Lun, maksudmu.", cemas Rahel. Disaat itu Luna mulai menyobek seluruh pakaian Rahel tak tersisa dan dibungkam mulutnya. Farel curiga karena lama sekali Rahel menjenguk Luna. Ia bergegas melihat Rahel, betapa terkejutnya Farel. Luna melecehkan Rahel, dan Rahel tak berdaya. Farel langsung mendorong Luna dengan kuat hingga membuatnya terpental. Farel mengendong Rahel yang tak berdaya dan menangis. Ia menutupinya dengan jaket. Luna hanya menangis dan tak tahu apa yang ia perbuat, ia bunuh diri dengan lompat dari apartemennya tengah malam itu juga.
Sementara Rahel harus dibawa ke psikater karena trauma hebat yang dialaminya. Ia masih tidak menyangka apa yang diperbuat oleh Luna. Farel melihat Luna kasihan, disaat bersamaan Farel mendapat pesan bahwa Luna telah bunuh diri di malam itu juga, hancur. Hati Farel tak terelakkan. Farel sedari tadi memberi kabar kepada Aryo tentang apa yang terjadi. Namun, tidak ada balasan. Kini, orangtua Rahel melarang Farel bertemu Rahel lagi untuk selamanya. Farel lumpuh, tak mampu berjalan karena kejadian yang ada. Ia menuju kos Aryo, dan ternyata Aryo main game, tak peduli. Disaat itu juga, Farel memukul Aryo hingga berdarah hingga pingsan karena terbentur. Suasana kos ramai pagi itu, Farel dilaporkan ke polisi. Sementara Aryo telah koma dan prediksi dokter ia akan amnesia. Farel tak bisa menghela nafas tenang atas semuanya.
Buku kita telah berdosa dengan tangan mereka sendiri. Mimpi mereka bersama Bandung lenyap bersama gemuruh penyesalan. Yang tersisa ialah tangis tak henti. Semua menjadi bisu. Semua menjadi sunyi. Terdiam. Apakah ini yang mereka inginkan? Tidak tahu. Semua berjalan tanpa arah dan tak terasa. Kini, apartemen Luna telah disewakan lagi, ia telah dingaben. Keluarganya tak menyangka ia bisa sampai bunuh diri.
Rahel tetap trauma meskipun sedikit sudah membaik. Ia masih mengingat apa yang dilakukan oleh Luna. Rahel hanya sendiri, menangis. Ia tak mencari Farel. Karena tak sanggup menerima dirinya sekarang. Ia merasa tubuhnya telah rusak. Sampai saat ini, Rahel belum tahu, Luna bunuh diri. Ia dijaga dengan baik oleh kedua orangtuanya dengan penuh kasih. Ibunya hanya bisa tersendu dengan keadaan putrinya ini. Farel dibalik jeruji besi dingin, dengan tatapan kosong. Ia tak tahu apa yang akan dilakukannya. Keluarga kecewa dengannya. Tapi, kakak perempuannya masih beberapa kali menjenguk. Dan Farel tetap menanyakan kabar Rahel. Aryo sudah sembuh meskipun amnesia. Ia perlahan-lahan mencoba mengingat materi kuliahnya dengan bantuan teman-temannya. Ia hanya terdiam ketika melihat buku kita, "Ini apa? Siapa Farel, Rahel, Luna?", tanyanya.
Semua menjadi kacau. Khianat berujung kiamat mereka masing-masing. Miris hati Luna waktu itu mendengarnya. Rasa suka diamnya berubah menjadi emosi menjadi-jadi. Kata terakhir Luna yang sempat tertulis di secarik kertas, "Terimakasih Bandung, kamu bukanlah impianku lagi. Terimakasih Aryo sahabat pertamaku, dan Rahel kamu jahat tapi aku tetap cinta." Rintih sendu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sesal Dalam HatiWhere stories live. Discover now