eleven.

599 75 3
                                    

Got everyone watchin' us
___

"Kamu pergi kemana? Kamu tahu kalau aku bingung mencarimu? Bahkan, ada seorang gadis asing yang tiba-tiba mendatangiku! Yuna, aku takut!" Celoteh Lia ketika mereka telah dalam perjalanan pulang, Yuna hanya diam. Bibirnya sedikit terbuka, ingin mengucap namun ragu.

"Yu-"

"Iya, maaf nona."

Lia hanya merotasi mata kesal, wajahnya menatap keluar jendela- seolah ia menunjukkan bahwa ia benar kesal dengan kekasihnya. Yuna yang mampu melihatnya hanya tersenyum tipis, tidak hendak menghancurkan ketenangan Lia.

Hampir memakan satu jam hingga keduanya tiba di rumah Lia. Terasa, Yuna menghentikkan laju mobil mewah Lia seraya menoleh; mendapati seorang putri tidur yang begitu pulas dan cantik. Yuna tersenyum.

"Nona, bangun. Kita sudah sampai di rumah anda-"

"Emm.. aku lelah..." ucapnya tanpa berniat sedikitpun membuka matanya, Yuna menggeleng dengan masih berusaha mengguncang tubuh Lia. Namun gadis itu juga tetap dalam pendiriannya, masih memejam erat.

Merasa tak ada pilihan, dan ia juga harus segera pulang. Dengan terpaksa Yuna harus mengangkat tubuh Lia, membawa gadis itu memasuki rumah megahnya.

Lia sadar benar, dan mengerti betul bahwa semuanya akan berakhir begini- ia tak kuasa lagi menahan senyumannya. Just if Yuna was her girlfriend for real, these things would happen more often.

Yuna merebahkan tubuh Lia diatas ranjang kamarnya, ia kemudian meletakkan kunci mobil Lia diatas nakas.

"Selamat malam, mimpi indah, nona Julia." Ucap Yuna penuh hormat dan meninggalkan Lia sendirian lagi di dalam rumahnya.

Lia mengintip dari ekor matanya, Yuna benar-benar sudah pergi darinya malam ini- dan artinya, besok mereka hanya sepasang partner bos dan karyawannya. Lia tersenyum getir, jika saja ia mengenal Yuna terlebih awal dari apapun; mungkin, kini Yuna sudah jadi miliknya, dan ia milik Yuna.

"Aku menyukaimu. Tapi kenapa kamu justru menghindariku, Yuna-yah?"

Yuna menghela nafasnya, suhu malam benar-benar rendah. Membuat seluruh tubuhnya yang tipis itu menggigil. Sialnya, ia masih harus menunggu bus untuk pulang.

Yah, meskipun tubuhnya tak lagi dibalut pakaian formal yang disewakan oleh Lia. Namun tetap saja, tubuhnya kedinginan karena hanya berbalut hoodie setebal 3 cm dengan celana panjang kasualnya, tak lupa sepasang kasut basketnya.

Tubuhnya ia istirahatkan di bangku halte. Matanya sesekali terpejam, sudah hampir pukul dua belas dan ia tak lihat ada satupun bus yang lewat. Ia baru mau menyandarkan tubuhnya, namun netranya terlebih dulu menemukan sesuatu yang familiar.

Kenapa mobil Ryujin yang harus ia lihat dalam keadaan seperti ini? Yuna mengacak rambutnya frustasi, sial!

Ryujin tampak sibuk dengan ponselnya, disampingnya ada supir pribadi tengah mengendarai mobilnya.

"Apa mommy sudah pulang?" Tanyanya pada sang supir, sang supir hanya menggeleng; "belum, nona muda. Beliau bilang akan pulang dua hari lagi jika masalah kontrak dengan mister Kwang sudah selesai."

Ryujin hanya mengangguk-angguk. Tampak tak peduli sama sekali, ia hanya butuh informasi apa ibunya itu akan pulang ke rumah malam ini atau tidak. Karena telah mendapatkan jawaban yang ia harapkan, Ryujin akan tidur nyenyak tanpa perlu khawatir nenek sihir itu akan datang menganggu mimpi indahnya bersama Yu-

"Tunggu dulu, uncle." Pinta Ryujin seraya mengacungkan tangannya kesamping, meminta agar sang supir menghentikkan laju mobilnya. Sang supir tampak kebingungan meski ia tetap menghentikkan laju mobil, sesuai perintah bos mudanya.

"Ada apa, nona muda?" Tanya sang supir sopan, Ryujin hanya mengernyit seraya menunjuk kearah halte bus yang berada diseberang jalan. Sang supir mengikuti arah telunjuk Ryujin, alisnya naik sebelah karena bingung.

"Ada apa disana?"

"Bukannya itu Yuna?"

"Kekasih nona? Tapi kata nona, dia pulang ke rumah ibunya?"

Ryujin mengangguk pelan, "iya. Tapi dia mirip Yuna. Masa mataku membohongiku?" Cetus Ryujin tak yakin, sang supir hanya tersenyum; "mungkin nona terlalu lelah malam ini, bisa kita lanjutkan perjalanannya, non?" Tanya sang supir, Ryujin tersenyum.

"Sure, uncle."

Yuna melirik ke seberang jalanan, ia lihat mobil Ryujin yang sempat berhenti kini sudah berjalan normal kembali— meninggalkannya sendiri di halte lagi.

Yuna membuang napasnya, benar-benar lega. Jika saja Ryujin turun dari mobil, mungkin saja nyawanya akan habis malam ini. Tapi sepertinya Tuhan selalu berpihak padanya, Yuna tersenyum puas.

Sesuai dugaannya, satu bus angkatan malam berhenti di hadapannya dan Yuna segera memasukinya— ia melirik kilat arloji yang melingkar di pergelangannya. Seulas senyum terukir ketika tangannya merogoh ponsel untuk dibawanya mendekat ke kupingnya dan berbisik;

"Hei, Karin. Malam ini aku mau pulang. Tunggu aku di stasiun."

Ryujin merebahkan dirinya diatas ranjang. Tubuhnya lemas betul. Kepalanya pening, sisa alkohol masih terendap dalam tubuhnya. Untungnya, ia tak mabuk kali ini.

Kedua matanya terpejam letih, sepertinya. Meski seluruh tubuhnya tampak menggelepar, pikiran Ryujin tak juga istirahat. Hanya tertuju pada Yuna.

Yuna yang ada di halaman belakang rumah Heejin, dan Yuna yang ia lihat tengah menunggu di halte bus. Apa kedua Yuna yang ia lihat itu hanya halusinasi yang timbul kala merasa lelah dan membutuhkan kehadiran si jangkung?

"Nona kelihatan lelah. Apa mau saya buatkan sup dan teh hangat?" Tanya auntie seraya berdiri di dekat pintu masuk. Ryujin sedikit terperanjat, secara otomatis tubuhnya jadi terbangun dan bersandar pada kepala ranjang. Satu senyum terulum, "boleh. Terima kasih, aunt."

Mendengar adanya persetujuan, sang auntie pun undur diri dari kamar Ryujin untuk menjawab permintaan sang majikan.

Ryujin hanya terdiam diatas ranjang, pikirannya masih kalut, namun kali ini tak hanya Yuna, melainkan Yeji pula. Gila. Ryujin sudah gila karena dua gadis brengsek yang mengisi hatinya.

Segurat senyum pahit terpatri, "kenapa hanya datang untuk memberikanku sakit hati, sayangku?"

i n t o  y o u

chapter eleven: end

into you┊2shinWhere stories live. Discover now