BAGIAN 4

345 16 0
                                    

Panglima Widura terkejut setengah mati, begitu menerima laporan dari Ki Renges kalau tempat tinggalnya sudah dikepung ratusan prajurit gabungan Karang Setra dan Pakuan. Maka seluruh prajuritnya segera diperintahkan untuk siap menghadapi segala macam serangan. Baginya memang tidak ada pilihan lain lagi, meskipun disadari tidak akan mungkin bisa melawan begitu banyak prajurit. Terlebih lagi dia tahu kalau prajurit Karang Setra yang ada di Pakuan ini kemampuannya dalam bertempur sudah tidak bisa diragukan lagi.
"Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Rasanya tidak mungkin kita menghadapinya." ujar Ki Renges, dengan wajah mencerminkan kecemasan.
"Sudah kepalang basah. Lawan mereka!" sentak Panglima Widura geram.
"Siapkan semua prajurit!"
"Semua prajurit sudah siap, Gusti," lapor Ki Renges memberi tahu.
"Bagus! Jangan biarkan seorang pun dari mereka bisa menginjak tanah ini. Beri mereka pelajaran yang berharga, Ki Renges." "Hamba, Gusti Panglima.
Ki Renges bergegas berlari-lari kecil ke luar. Diperintahkannya seluruh prajurit untuk bersiaga penuh mengadakan serangan. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah berada di beranda depan rumahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling memandangi prajuritnya yang sudah siap menghadapi pertempuran.
"Hhh! Ini semua gara-gara Pendekar Rajawali Sakti. Kalau dia tidak muncul di Pakuan ini, tidak akan mungkin jadi berantakan seperti ini. Huh...!" dengus Panglima Widura, kesal.
Sementara itu, suara hiruk-pikuk di luar terus terdengar. Sehingga, membuat wajah Panglima Widura jadi memerah menahan kemarahan yang amat sangat. Rencana yang sudah disusun begitu lama, sekarang jadi berantakan. Bahkan sebelum bisa melakukan tindakan, sudah terlebih dahulu dikepung prajurit-prajurit gabungan yang sangat besar kekuatannya.
"Seraaang...!" seru Panglima Widura tiba-tiba memberi perintah dengan suara lantang menggelegar.
Seketika itu juga, prajurit yang berada di atas pagar berbentuk benteng, langsung melepaskan anak panah yang sejak tadi sudah terpasang di busur.
Jerit dan teriakan melengking mengantar kematian pun langsung terdengar dari luar pagar yang berbentuk benteng kokoh ini. Sedangkan prajurit Panglima Widura yang berada di atas pagar benteng, terus melontarkan anak-anak panah secara beruntun. Sementara, sebagian prajurit yang sudah siap di halaman bersikap waspada, menanti kalau kalau pintu gerbang yang tertutup rapat dapat dijebol lawan.
"Phuih!"
Panglima Widura menyemburkan ludahnya, saat melihat beberapa orang prajuritnya yang berada di atas pagar mulai berjatuhan tertembus panah dan serangan balasan. Satu persatu prajurit-prajurit itu berjatuhan, memperdengarkan suara jeritan melengking dan menyayat hati. Tanah pun tersiram darah yang muncrat dari para prajurit yang tewas terbanting akibat tertembus anak panah.
"Perkuat pintu gerbang...!" seru Panglima Widura memberi perintah, begitu terdengar pintu gerbang yang tebal dan kokoh mulai berderak.
Tampak pintu dari kayu jati bulat itu mulai bergetar, disertai suara berderak keras. Sementara jeritan-jeritan panjang terus terdengar. Sedangkan tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus berjatuhan. Tampak Panglima Widura mulai merasa cemas melihat pintu gerbang semakin rapuh kekuatannya.
Dan sudah bisa dipastikan tidak lama lagi pintu itu akan hancur. Sementara mereka yang berada di luar akan menyerbu masuk. Kalau hal ini terjadi, sulit dibendung lagi.
Brak!
Belum lagi Panglima Widura bisa berpikir lebih jauh, tiba-taba saja pintu gerbang yang dipertahankan itu hancur berkeping keeping. Dan seketika itu juga, puluhan prajurit yang berada di luar menyerbu masuk sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata di atas kepala.
"Hadang mereka...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi. Dua prajurit yang saling bertentangan mulai bertarung sengit di halaman rumah Panglima Widura yang sangat luas ini. Denting senjata beradu seketika terdengar, menyertai teriakan-teriakan lantang menggelegar membangkitkan semangat pertempuran yang bercampur jeritan kematian.
Sebentar saja, tubuh-tubuh bersimbah darah sudah terlihat berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, prajurit Pakuan yang dibantu prajurit Karang Setra terus merangsek semakin banyak ke dalam halaman rumah panglima ini. Akibatnya, prajurit-prajurit yang bertahan semakin kewalahan saja menghadapinya. Sementara, Panglima Widura mulai menyingkir mendekati kuda hitam tunggangannya yang tertambat di bawah pohon, tidak jauh dari beranda depan rumahnya yang besar dan megah.
"Hup!"
Cepat panglima itu melompat naik ke punggung kudanya. Tapi belum juga kuda hitam tunggangannya digebah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.
"Ups...?!"
Panglima Widura jadi kaget setengah mati. Cepat tubuhnya melenting ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Lalu manis sekali tubuhnya meluruk turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah. Saat itu terlihat seorang pemuda berwajah tampan sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau anak muda tampan itu adalah Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra.
"Jangan harap bisa kabur dengan mudah, Pengkhianat Busuk!" terasa begitu dingin nada suara Danupaksi.
"Phuih!"
Panglima Widura hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit. Dia tahu, anak muda yang menghadangnya ini adalah Danupaksi dari Karang Setra. Dan itu membuatnya tidak bisa menganggap sebelah mata pada anak muda yang usianya jauh berada di bawahnya ini.
Sret!
Cring!
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Panglima Widura meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Sementara melihat lawannya sudah meloloskan pedang, perlahan-lahan Danupaksi mencabut pedangnya juga. Dan pedangnya langsung dilintangkan di depan dada sambil menggeser kakinya perlahan-lahan ke kanan. Sedangkan Panglima Widura mulai melangkah ke depan perlahan-lahan, sambil memainkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam memancarkan nafsu membunuh penuh kebencian pada anak muda di depannya.
"Mampus kau Keparat! Hiyaaat!"
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura melompat cepat bagai kilat menerjang. Pedangnya langsung dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Danupaksi sendiri sudah melesat menyambut serangan dengan menghentakkan pedangnya ke depan. Sehingga...
Tring!
"Ups!"
"Ikh...!"
Mereka sama-sama berlompatan mundur begitu pedang satu sama lain beradu keras di udara. Begitu kerasnya sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tapi mereka cepat bisa menguasai keseimbangan, dan berdiri tegak dengan pedang sama-sama tersilang di depan dada.
Beberapa saat mereka terdiam dan saling menatap tajam. Benturan pedang yang terjadi begitu cepat dan dahsyat itu membuat mereka sama-sama menyadari akan ketangguhan masing-masing. Jelas, tenaga dalam yang mereka miliki saat ini seimbang.
"Hm... Tampaknya anak muda ini memiliki kepandaian yang setara denganku," gumam Panglima Widura dalam hati. "Aku harus lebih berhati-hati menghadapinya."
Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya, menyusur tanah ke kanan. Sementara, Danupaksi tetap berdiri tegak dengan pedang masih tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan setiap gerak lawan. Sedikit tubuhnya memutar, saat Panglima Widura sudah berada agak menyamping di bagian kiri. Dan saat itu, Panglima Widura sudah berhenti menggeser kakinya, kemudian memainkan pedangnya perlahan di depan dada.
Pedang yang berkilatan tajam serasa hendak menggetarkan jantung lawan yang jauh lebih muda usianya. Tapi kelihatan jelas kalau Danupaksi tidak gentar sedikit pun melihat mata pedang yang berkilatan memantulkan cahaya matahari. Sementara di tempat lain, pertarungan masih terus berlangsung. Walaupun sudah terlihat kalau para prajurit Panglima Widura sudah tidak berdaya lagi untuk terus bertahan lebih lama. Dan kedudukannya semakin terdesak dengan semakin banyaknya prajurit yang gugur bersimbah darah.
Sementara Danupaksi dan Panglima Widura masih tetap berdiri saling berhadapan, dengan jarak kurang dari satu tombak. Sedangkan beberapa orang prajurit Karang Setra berpangkat punggawa yang sudah tidak memiliki lawan lagi, sudah mulai mengelilingi tempat ini. Bahkan terlihat dua orang panglima dari Pakuan, serta Panglima Lanang, sudah berada di tempat itu, tidak jauh di belakang Danupaksi.
Keadaan yang tidak menguntungkan ini cepat diketahui Panglima Widura. Hatinya seketika mulai diliputi kecemasan. Terlebih lagi, saat mengetahui prajuritnya sudah tidak berdaya lagi menghadapi serangan para prajurit gabungan Pakuan dan Karang Setra. Panglima Widura cepat menyadari kalau tidak lama lagi akan menghadapi lawan-lawannya ini seorang diri yang tidak akan mungkin dilakukannya. Sedangkan anak muda yang kini sedang dihadapinya saja memiliki kepandaian yang setara.
"Phuih!"
Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit, menyadari keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Kedua bola matanya yang memerah beredar tajam ke sekeliling seperti sepasang bola api. Sedikit pun tidak ada celah baginya untuk dapat meloloskan diri. Malah semakin banyak saja prajurit yang mengepungnya. Sementara Danupaksi semakin kelihatan tenang melihat keadaan sekelilingnya yang begitu menguntungkan. Dan kepercayaan diri yang semula sudah mulai menipis, langsung bangkit seketika.
“Sebaiknya menyerah saja, Panglima Widura. Tidak ada gunanya lagi terus bertahan," terasa begitu tenang suara Danupaksi. Tapi, terdengar begitu dingin nadanya.
"Phuih!"
Untuk kedua kalinya, Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Memang tidak ada pilihan baginya. Bertahan, atau menyerahkan lehernya untuk digantung sebagai pengkhianat dan pemberontak. Tapi bagi orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, lebih baik mati di ujung pedang lawan daripada harus mati di tiang gantungan! Panglima Widura mulai menegakkan pedangnya hingga sejajar tubuhnya. Dan tatapan matanya yang begitu tajam penuh nafsu membunuh, tertuju lurus pada Danupaksi yang berada kurang dari satu tombak di depan.
"Kita bertarung sampai ada yang mampus, Bocah!" bentak Panglima Widura lantang menggelegar. "Hiyaaat...!"
Panglima Widura benar-benar tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Lesatannya yang begitu cepat bagai kilat, hingga terasa begitu sulit diikuti pandangan mata biasa. Namun Danupaksi yang sudah siap sejak tadi, cepat pula mengibaskan pedangnya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bersamaan dengan itu, kakinya bergeser sedikit ke kanan sambil meliuk hingga terlihat agak miring.
Trang!
"Yeaaah...!"
Begitu pedangnya beradu, tangan kiri Danupaksi cepat melepaskan satu pukulan keras menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tepat mengarah ke lambung Panglima Widura.
"Ikh...?!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Tidak disangka kalau Danupaksi bisa bergerak begitu cepat menangkis serangan yang dibarengi sebuah serangan balasan yang begitu cepat luar biasa. Untung tubuhnya cepat meliuk, hingga pukulan yang dilepaskan Danupaksi hanya mengenai angin kosong belaka.
"Hup!"
Panglima Widura cepat-cepat melompat ke belakang, menjaga jarak. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, saat itu juga Danupaksi sudah melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya ke arah kepala. Begitu cepat serangannya sehingga membuat Panglima Widura jadi terbeliak setengah mati.
Wut! "Ups...!"
Panglima Widura cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang Danupaksi hanya lewat di depan wajahnya.
"Hih! Hiyaaa...!"
Namun pada saat yang hampir bersamaan, Danupaksi melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti mata biasa pedangnya diputar ke bawah.
"Hih!"
Wuk!
Trang!
Kembali dua pedang yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi beradu, tepat di depan perut Panglima Widura. Dan panglima itu cepat melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Sedangkan Danupaksi langsung menjejakkan kakinya. Lalu saat itu juga tubuhnya merunduk hingga lututnya yang tertekuk menyentuh tanah. Seketika itu juga pedangnya cepat dikibaskan ke arah kaki lawan.
Bet!
"Hup!"
Tidak ada jalan lain lagi bagi Panglima Widura untuk menghindari serangan Danupaksi yang sungguh cepat luar biasa ini kecuali melompat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Danupaksi justru menegakkan tubuhnya tepat di saat Panglima Widura melesat ke atas. Bahkan seketika itu juga Danupaksi melepaskan satu pukulan dahsyat dengan tangan kiri.
"Heh...?!"
Panglima Widura hanya dapat terbeliak saja melihat serangan lawannya yang begitu cepat dan beruntun. Dia berusaha berkelit dengan meliukkan tubuhnya, namun gerakannya sudah terlambat. Dan...
Begkh!
"Akh...!"
Panglima Widura terpekik keras begitu pukulan tangan kiri Danupaksi yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tepat menghantam bagian samping dadanya yang sebelah kanan. Akibatnya panglima itu terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Tapi keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai walaupun dada kanannya terasa begitu nyeri akibat pukulan Danupaksi tadi.
"Ukh!"
Panglima Widura mengeluh sedikit, merasakan sesak yang menyergap dadanya. Dan pandangannya pun jadi sedikit berkunang-kunang. Panglima Widura menggeleng beberapa kali mencoba mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya.
"Setan alas kau, Bocah! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Panglima Widura kembali melompat menyerang tanpa menghiraukan rasa sesak yang mendadak saja timbul menyelimuti dadanya. Pedangnya langsung berputaran dengan kecepatan kilat menyerang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Hap!"
Dengan liukan-liukan tubuh yang diimbangi kelincahan gerakan kaki, membuat Danupaksi agak kerepotan juga menyarangkan pedangnya ke tubuh panglima yang menjadi lawannya. Beberapa kali Danupaksi melancarkan serangan yang begitu cepat, tapi belum juga bisa melumpuhkannya. Bahkan perlawanan Panglima Widura begitu gigih walaupun tadi sempat terkena pukulan.
"Lepas kepalamu! Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Panglima Widura berteriak keras sambil mengebutkan pedangnya ke leher, tepat di saat Danupaksi sendiri baru melancarkan serangan dengan pedangnya.
"Haiiit!"
Namun hanya meliukkan tubuh, Danupaksi berhasil menghindari serangan.
"Hup!"

***

117. Pendekar Rajawali Sakti : Memburu PengkhianatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang