BAGIAN 5

291 16 0
                                    

Cepat Danupaksi melompat ke belakang begitu berhasil mengelakkan tebasan pedang Panglima Widura pada lehernya. Namun belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba melesat sebuah bayangan di antara dua orang yang sedang bertarung ini. Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah cahaya merah melesat begitu cepat bagai kilat ke arah Danupaksi. Sehingga...
Clark!
"Akh...!"
"Raden...?!"
Semua yang melihat kejadian itu jadi terpekik, bersama terdengarnya jeritan Danupaksi yang terpental ke belakang tepat ketika cahaya merah yang datang begitu cepat menyambar tepat di dadanya.
Sementara, bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat itu kembali melesat, langsung menyambar Panglima Widura yang keadaannya sudah terpojok. Begitu cepat bayangan putih itu melesat. Sehingga sebelum ada yang sempat menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan sambil membawa Panglima Widura.
Sedangkan Danupaksi terbanting keras sekali di tanah, dan kembali memekik agak tertahan. Tubuhnya menggeliat menggeletak di atas tanah yang sedikit lembab oleh siraman darah dari para prajurit yang tadi bertarung sengit.
"Raden...!"
Panglima Lanang bergegas menghampiri dengan kecemasan melihat Danupaksi tergeletak diam seperti mati. Tampak asap berwarna agak kemerahan mengepul dari dadanya yang sedikit terbuka dan bidang.
"Raden...!"
Suara Panglima Lanang terdengar tercekat, begitu melihat Danupaksi tergeletak dengan kedua bola mata terpejam. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan telah mati. Tampak dadanya memerah dan masih mengepulkan asap bagai terbakar.
"Raden..."
Perlahan Panglima Lanang mengangkat tubuh Danupaksi yang terasa begitu panas seperti ada bara api yang bersemayam dalam tubuhnya, Bahkan, sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuh anak muda itu. Panglima Lanang memondong tubuh Danupaksi yang sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Dipandanginya wajah tampan anak muda itu. Tanpa terasa, setitik air bening jatuh menggulir di pipinya.
Sementara, para prajurit yang sudah menyelesaikan pertarungan, tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka terdiam dengan wajah diliputi kecemasan, melihat Danupaksi seperti mati dalam pondongan Panglima Lanang. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan menghampiri Panglima Lanang. Mereka berdiri saja di depan panglima dari Kerajaan Karang Setra itu.
"Kita bawa ke istana, Paman Panglima," Usul salah seorang.
Panglima Lanang memandangi kedua panglima dari Kerajaan Pakuan itu beberapa saat, kemudian sedikit menganggukkan kepala. Salah seorang langsung memerintahkan prajurit menyiapkan kuda. Sedangkan seorang lagi segera menyiapkan prajurit yang masih hidup. Dan prajurit Panglima Widura tidak ada lagi yang kelihatan masih tertinggal hidup.
Tidak berapa lama, mereka keluar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang besar dan berantakan dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih bersimbah darah. Tampak berkuda paling depan Panglima Lanang yang masih tetap memondong tubuh Danupaksi. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan terus mendampingi. Sedangkan di belakang mereka, para prajurit mengikuti dengan wajah tertunduk cemas melihat keadaan Raden Danupaksi yang mungkin terluka parah atau sudah mati.

***

Entah sudah berapa lama Panglima Lanang duduk sendiri di atas bukit batu memandang matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam di ufuk barat. Cahayanya yang memerah jingga dan begitu indah sama sekali tidak dapat dinikmatinya. Pikirannya begitu galau melihat keadaan Danupaksi yang sampai saat ini belum juga siuman. Dan sekarang, Danupaksi berada dalam perawatan seorang tabib pilihan di Kerajaan Pakuan.
Meskipun tabib itu sudah mengatakan jiwa Danupaksi masih bisa tertolong, tapi Panglima Lanang masih juga belum bisa tenang hatinya.
"Paman Lanang...."
"Oh...?!"
Panglima Lanang tiba-tiba saja tersentak setengah mati, begitu terdengar panggilan dari belakang. Cepat dia terlompat bangun dan berbalik. Dan seketika itu juga seluruh tubuhnya jadi menggigil, seperti terserang demam. Panglima Lanang langsung jatuh berlutut dengan bola mata terbeliak dan mulut ternganga. Seakan-akan, dia melihat sosok makhluk mengerikan di depannya.
"Gusti Prabu...," bergetar suara Panglima Lanang.
"Kenapa wajahmu begitu pucat, Paman? Kau seolah-olah sedang berhadapan dengan hantu saja."
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba..., hamba...," tercekat suara Panglima Lanang di tenggorokan.
"Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua peristiwanya. Kau tidak perlu merasa bersalah. Bangunlah, Paman. Kau seorang panglima. Tidak pantas bersikap begitu."
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu...," masih terdengar bergetar suara Panglima Lanang.
Perlahan laki-laki berusia separo baya itu bangkit berdiri setelah memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Sementara pemuda yang tiba-tiba muncul itu tersenyum. Kakinya lalu melangkah beberapa tindak mendekati. Senyumannya begitu manis terkembang di bibirnya yang merah, bagaikan bibir seorang gadis. Pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Panglima Lanang yang juga seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.
"Aku bukan raja di sini, Paman. lngatlah. Kau harus memanggilku Rangga," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lembut dengan senyum terus terkembang di bibir.
Pemuda berwajah tampan dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung itu memang Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba seperti hantu, memang membuat Panglima Lanang jadi terkejut setengah mati. Hampir saja detak jantungnya berhenti seketika.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu Hamba..., hamba begitu terkejut tadi," ucap Panglima Lanang.
"Ah.... Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua kejadiannya. Jangan merasa bersalah atas nasib yang dialami Danupaksi. Aku malah bangga pada Danupaksi. Dia benar-benar telah membuktikan dirinya sebagai adik seorang raja yang sedang mengemban tugas. Aku sudah menjenguknya di istana. Memang cukup parah keadaannya, tapi akan sembuh dalam beberapa hari ini," kata Rangga mencoba menenangkan hati Panglima Lanang yang masih diliputi kegelisahan.
"Hamba benar-benar tidak tahu, siapa orangnya yang melakukan kecurangan pada Raden Danupaksi," ucap Panglima Lanang sudah mulai bisa tenang kembali.
Rangga tersenyum mendengar penuturan Panglima Kerajaan Karang Setra itu. Semua yang terjadi memang sudah didengarnya dari orang-orang di dalam Istana Pakuan. Bahkan dua orang panglima yang ikut menghancurkan prajurit Panglima Widura juga sudah bercerita padanya.
"Aku tahu siapa orangnya, Paman," ucap Rangga kalem.
"Oh...?!" Panglima Lanang jadi tersedak tidak menyangka.
"Dia Nyai Wisanggeni atau si Setan Perempuan Penghisap Darah, guru Panglima Widura. Memang tinggi tingkat kepandaiannya. Aku sendiri terasa sulit untuk menghadapinya. Dialah otak dari semua rencana pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura," kata Rangga, tetap kalem.
"Kalau saja hamba bisa bertemu dengannya...," terputus kata-kata Panglima Lanang.
"Sulit untuk bisa menemukan tempat persembunyiannya, Paman. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha untuk membalaskan kekalahan yang diderita Danupaksi. Aku sendiri masih punya perhitungan nyawa dengannya," kata Rangga tegas.
"Oh! Perhitungan nyawa apa itu...?" tanya Panglima Lanang ingin tahu.
"Terlalu panjang ceritanya, Paman. Nantilah kalau semua ini sudah berakhir. Aku akan menceritakannya padamu dalam perjalanan pulang ke Karang Setra," sahut Rangga.
"Gusti akan kembali ke Karang Setra?" tanya Panglima Lanang langsung gembira.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
"Oh! Tentu semua akan senang menyambutmu," desah Panglima Lanang.
"Aku akan beristirahat sebentar di sana, Paman. Sampai...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada dalam perawatan Rajawali Putih akibat luka-lukanya yang cukup parah setelah bertarung melawan Nyai Wisanggeni. Memang membutuhkan waktu cukup lama untuk menyembuhkannya. Dan Rangga sudah memutuskan untuk menunggu di Karang Setra.
"Sudah hampir gelap. Sebaiknya, kau kembali ke istana, Paman. Jangan sampai mereka mencari-carimu," ujar Rangga.
"Baik. Hamba akan selalu berada dekat dengan Danupaksi," ucap Panglima Lanang.
"Kalau Danupaksi sudah sehat, cepatlah kembali ke Karang Setra. Aku juga akan berusaha secepatnya membereskan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu dengan muridnya," kata Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat memutar tubuhnya berbalik dan langsung melangkah tanpa bicara apa pun juga. Panglima Lanang yang sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, jadi terdiam melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah melangkah pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa berdiri memandangi, sampai punggung pendekar muda berbaju rompi putih itu lenyap ditelan lebatnya pepohonan di puncak bukit ini.
Beberapa saat Panglima Lanang masih berdiri memandangi ke arah mana Rangga tadi pergi meninggalkannya, walaupun kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dan di saat matahari benar-benar tenggelam di balik peraduannya, Panglima Lanang baru melangkah meninggalkan puncak bukit ini. Angin pun sudah mulai terasa berhembus, menyebarkan udara dingin bersama butir-butir embun. Panglima Lanang terus berjalan perlahan-lahan, menuruni lereng bukit yang tidak begitu lebat ditumbuhi pepohonan ini.

***

Sementara di tempat yang lebih tinggi dari bukit itu, Rangga berdiri tegak memandangi Panglima Lanang yang semakin jauh menuruni lereng bukit ini. Jelas sekali kalau arah yang dituju Panglima Lanang adalah Istana Pakuan. Dan Rangga sendiri seperti menanti sesuatu di bukit ini. Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak pergi, walaupun sekelilingnya sudah diselimuti kegelapan. Suara gerit seranggga malam pun sudah sejak tadi terdengar menabuh gendang telinganya.
"Secepatnya aku harus bisa menemukan di mana Nyai Wisanggeni dan muridnya bersembunyi. Jangan sampai mereka mengacaukan Pakuan ini lagi," gumam Rangga dalam hati.
Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan saja yang tampak menghitam dijilati cahaya rembulan. Jauh di sebelah selatan bukit ini, terlihat kerlip cahaya lampu dari rumah-rumah di Kotaraja Pakuan bagai kunang-kunang di sawah. Begitu indah kota itu dipandang dari atas bukit pada malam hari seperti ini. Namun semua itu sama sekali tak dinikmati Pendekar Rajawali Sakti.
"Luas sekali wilayah Pakuan ini. Rasanya, tidak mungkin aku harus menjelajahinya hanya untuk mencari Nyai Wisanggeni. Terpaksa..., aku harus meminta bantuan Rajawali Putih. Mudah-mudahan saja, Rajawali Putih sudah bisa meninggalkan Pandan Wangi barang sejenak," gumam Rangga lagi dalam hati.
Perlahan kepala Pendekar Rajawali Sakti menengadah ke atas. Hanya kegelapan dan kerlip bintang saja yang terlihat di langit. Beberapa saat Rangga berdiri tegak seperti patung. Tapi tidak lama kemudian, mulai terlihat napasnya ditarik dalam dalam. Sehingga dadanya yang bidang, jadi membusung. Kemudian...
"Suiiit...!"
Malam yang semula begitu hening, seketika jadi pecah oleh siulan Rangga yang begitu keras membelah angkasa. Sementara, Rangga sendiri masih tetap berdiri tegak dengan pandangan tertuju lurus ke langit yang kelam bercahayakan kerlip bintang berwarna keperakan.
"Hm..., lama sekali. Apa yang dilakukan Rajawali...? Rasanya tidak terlalu jauh dari sini ke Lembah Bangkai," gumam Rangga perlahan.
Memang Rangga merasakan kedatangan Rajawali Putih begitu lama tidak seperti biasanya. Dan dia tahu, jarak antara bukit ini dengan Lembah Bangkai yang menjadi tempat tanggal burung rajawali raksasa itu tidak terlalu jauh. Dan seharusnya, hanya sekali panggilan saja Rajawali Putih sudah sampai. Tapi sampai begitu lama menunggu, Rajawali Putih belum juga menampakkan diri.
"Sebaiknya aku coba panggil sekali lagi," gumam Rangga lagi dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap-siap memanggil Rajawali Putih. Kepalanya sudah terdongak ke atas, dan dadanya sudah membusung. Lalu tidak lama kemudian...
"Suiiit...!"
Kembali Rangga menunggu. Tapi kali ini dia jadi heran. Panggilannya sama sekali tidak membawa hasil. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau Rajawali Putih bakal muncul. Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi heran, bertanya-tanya sendiri dalam hati. Belum pernah hal seperti ini dialaminya. Rajawali Putih pasti datang, kalau mendengar panggilannya. Tapi kali ini?
"Baiklah. Aku coba sekali lagi," ujar Rangga pelan.
Rangga kembali bersiap hendak memanggil Rajawali Putih. Dan kali ini siulannya lebih panjang daripada sebelumnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam dengan kepala terdongak ke atas, memandang langit. Dan tidak lama kemudian...
"Suiiit...!"
Namun baru saja suara siulan yang dialunkan Rangga terdengar, tiba-tiba saja...
"Heh...?!"

***

117. Pendekar Rajawali Sakti : Memburu PengkhianatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang