3

1.8K 200 3
                                    

Mingyu mengecup kening Wonwoo lembut. Ia tersenyum saat menyadari Wonwoo tertidur setelah pagi tadi cemberut karena dipaksa masuk kuliah.

Kemarin, mereka menghabiskan waktu sampai larut malam bersama. Mingyu mengajak Wonwoo makan siang, pergi ke toko buku, jalan-jalan sore di taman kota, lalu mengantar Wonwoo pulang tepat pukul tujuh malam.

Tapi, orang tua Wonwoo menitipkan anak semata wayangnya itu padanya. Setelah makan malam di rumah Wonwoo, kedua calon mertuanya itu pergi karena mendapat kabar teman koleganya sakit. Orang tua Mingyu juga turut hadir karena mereka merupakan rekan bisnis sejak lama.

Mingyu nyaris menginap di rumah kekasihnya kalau saja ia tidak mendapat telepon dari ketua HIMARS, yang mengatakan kalau Mingyu harus mengumpulkan proposal untuk kegiatan seminar bulan depan. Ia terpaksa pulang dan sampai di rumahnya pukul satu dini hari.

"Sayang? Ayo bangun, sudah sampai."

Karena semalam begadang menyelesaikan proposal, sekalian saja Mingyu tidak tidur. Ia selesai saat jam menunjukkan pukul 7 pagi. Laki-laki itu lekas mandi dan menjemput Wonwoo yang ada kelas jam 10.

Wonwoo yang tadi masih bergelung selimut pun menginjakkan kakinya kesal di kamar mandi karena ocehan Kim Mingyu.

"Hnngg??"

"Sudah sampai. Ayo."

Wonwoo mengerjapkan matanya. Dia hendak mengucek matanya kasar sebelum Mingyu menariknya, "Jangan ceroboh. Kau pernah melukai pelipismu karena cincin ini."

Wonwoo melirik cincin tunangannya. Ia tersenyum lalu menggeleng, "Bukan karena cincin ini. Tapi karna kuku tajamku waktu itu."

"Bohong."

"Ya sudah kalau tidak percaya."

Wonwoo melepas seat-beltnya. Ia akan membuka pintu mobil saat dirasa Mingyu masih betah menatapnya. "Kenapa?"

"Kau cantik."

"Aku tahu."

Mingyu tertawa. Ia menarik dagu Wonwoo dan mengecupnya singkat.

"Segitu saja?"

"Hmm??"

"Aku merindukanmu, Mingyu-ya."

"Aku juga. Aku sangat merindukanmu, Jeon Wonwoo."

Pagi itu, Wonwoo menghabiskan detik-detik jam kelasnya dengan berciuman—melepas rindu dengan Mingyu di dalam mobil.

***










"Jeon Wonwoo?"

Wonwoo mendongak. Ia menatap laki-laki jangkung di depannya, "Siapa, ya?"

"Ah, benar. Kau Jeon Wonwoo."

Laki-laki itu mengambil kursi di depan Wonwoo persis. Ia meletakkan tas dan tabung hitam seperti milik Mingyu di atas meja.

"Aku Rowoon. Kim Rowoon."

Untuk sejenak kening Wonwoo mengerut. Lalu, apa hubungannya denganku?

Seperti bisa menebak pikiran Wonwoo, laki-laki berlesung pipit itu tersenyum geli, "Buku. Kau bilang kau menemukan bukuku."

"Oh, astaga!"

Wonwoo menepuk keningnya. Ia membuka tasnya dengan cepat dan menatap Rowoon dengan wajah menyesal tak lama kemudian, "Aku minta maaf. Tapi bukunya tertinggal di rumah."

Rowoon mengangguk. Dia tidak berkomentar atau apapun, hanya mengeluarkan laptop tebal dari dalam tasnya.

"Besok akan kukembalikan. Aku janji!"

Rowoon melirik. Ia mengalihkan tatapannya karena Wonwoo masih menatapnya. "Santai saja."

Suasana menjadi hening. Wonwoo tampak canggung karena kondisi seperti ini. Sebenarnya ia tidak nyaman dengan orang baru. Dan perasaan itu semakin bertambah dua kali lipat saat ia tidak membawa buku milik laki-laki itu.

Wonwoo jadi merasa bersalah tapi dia sendiri tidak tau harus berbuat apa sekarang.

Apa Wonwoo harus bertanya lebih dulu? Agar suasananya tidak secanggung sekarang. Tapi dia bukan tipe orang yang bisa langsung berbicara begitu saja dengan orang baru. "Hm.. kau anak arsitektur?"

Akhirnya Wonwoo bertanya juga.

"Bukan."

"Tapi.."

"Aku di jurusan MRK."

"Apa itu?"

Rowoon kembali mengalihkan pandangannya dari laptop. Kali ini matanya dipaksa menatap Wonwoo lebih lama, membiarkan perasaan berbedar memenuhi rongga hatinnya, "Manajemen dan Rekaya Konstruksi."

"Aku baru dengar jurusan itu?" Guman Wonwoo tanpa berniat merespons. Tapi Rowoon masih dapat mendengar jelas suaranya.

"Kau bukan anak teknik, ya?"

Wonwoo mendengus. Kalau dengar kata 'teknik' dia jadi sebal sendiri. Rasanya terus teringat Mingyu.

"Bukan."

"Oh."

"Aku di jurusan pendidikan keguruan."

"Ah, menjadi guru?"

"Yap!"

Setelah senyum lebar itu tersungging di bibirnya, Wonwoo tersentak. Ia baru menyadari bahwa dirinya sudah terlalu banyak bicara.

Kepada Kim Rowoon. Kepada orang baru.

Bukan dengan Kim Mingyu. Bukan dengan kekasihnya.

Astaga.

"Kenapa?"

"T, tidak. Tidak apa-apa."

Wonwoo merapikan tasnya. Ia memasukkan bukunya asal ke dalam tas dan berdiri cepat. Rowoon menatapnya heran, "Kau mau pergi?"

Wonwoo menatap laki-laki itu. Dalam kepalanya ia bertanya sendiri, apa urusannya dengannya? Mau tinggal di tempat atau pergi, kenapa dia harus bertanya? Apa urusannya?

"Ya."

Wonwoo meninggalkan ruang meeting area—ruangan yang biasa untuk para mahasiswa mengerjakan tugas selain di perpustakaan dan pergi entah kemana. Ia tidak punya tujuan. Sepanjang jalan pun dirinya hanya bisa memaki, mengutuk dadanya yang berdebar.

Sialan!

***

Like the Beginning [MEANIE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang