16: Emily

47 12 0
                                    

Dari: Ibu
92xxxxxxxx
Sweetie, ibu ada acara jamuan dan ayah rapat. Kami pulang larut malam. Ibu menyimpan uang di atas laci pertama di sebelah kulkas. Pergilah ke supermarket dan beli beberapa bahan makanan!

Aku terdiam sejenak.

Kakiku melangkah menuruni tangga, menjamah dapur. Aku meraih kulkas dan membuka pintunya ... benar saja. Kosong.

Sekarang pukul satu kurang. Kalau menunggu ibu dan ayah hanya untuk makan, kupikir aku akan sekarat.

Tapi, aku tidak mau keluar membeli makanan.

Uhm, well, aku juga ... tidak mau mati kelaparan.

Dengan langkah berat, setelah berganti seragam sekolah, aku mengayuh sepedaku melintasi tikungan-tikungan.

***

Lonceng di balik pintu bergemerincing ketika aku keluar. Seorang pria beruban dengan kacamata tuanya melambaikan tangan.

"Sampai jumpa, Afya! Nanti kuberitahu kalau harga teleskopnya sudah turun," Paman Gale terkekeh dari jauh.

Aku tersenyum, "Baiklah. Jangan lupa juga informasi tentang festival pengamat bintangnya, Paman!"

"Tentu. Kau akan ikut?"

Seketika kuhentikan langkahku. Eh? Ikut? "Ah ... uhm, aku ... tidak tahu." Pasti acaranya ramai, kan?

"Kalau kau mau, kita bisa pergi bersama-sama, Nak. Cucuku Connie dan Alex juga akan ikut. Pasti menyenangkan!" Paman Gale tersenyum lebar.

Aku menggaruk kepalaku, "Yah, akan kupikirkan."

Sejurus kemudian, aku telah menyambangi rak demi rak supermarket, memindai daftar belanja titipan ibu berkali-kali, dengan kepala yang berdenyut.

Bagaimana tidak. Seumur hidup, sejauh ingatanku berjalan, aku hanya pernah ke supermarket lima kali. Oh, berarti sekarang enam.

Ibu tidak terlalu percaya padaku untuk membeli sesuatu di toko. Aku juga jadi tidak percaya diriku sendiri. Aku lebih banyak memahami adegan belanja atau transaksi di toko dari buku. Lima kali pengalaman itu, dua tidak sengaja, dua terpaksa, dan satu kali karena tersesat.

Sesaat setelah masuk tadi, aku bergeming di tengah keramaian. Mencoba beradaptasi. Aku belum terbiasa menceburkan diri ke lautan orang kecuali kepada satu, sekolah. Tempat lain yang kukunjungi, biasanya relatif sepi. Tidak riuh, tidak sesak dan padat. Aku menyukainya. Tenang.

Tetapi tempat ini terlalu besar! Dan penuh orang. Isi perutku mendadak naik ke kerongkongan.

Keranjangku baru terisi seperempat. Ada satu lagi hal penting di daftar belanjaan ibu yang harus kubeli. Telur. Kalau tidak salah aku melihatnya di tengah-tengah supermarket.

Kemudian aku sibuk memilih telur.

Kemudian, aku mendengar keributan kecil mendekat. Tetapi aku tidak peduli.

Dan aku menyesal karena tidak peduli.

Seseorang yang berbicara dengan gaduh dan cemas di ponselnya, berjalan tergesa melewatiku. Sayangnya, sayang sekali, kami--atau aku--tidak beruntung hari ini.

Perempuan itu menabrakku. Menjatuhkan dua telur yang kupegang. Pecah berceceran di lantai.

Aku membeku. Kaget.

Orang itu berbalik, tertegun.

Perlahan ia mematikan ponselnya, "Ya ampun ... ya ampun!"

Aku masih menjadi patung es. Kurasa sebentar lagi aku meleleh dan mengalir ke saluran air.

TransferWhere stories live. Discover now