20: Kado dan Rahasia

58 12 2
                                    

Aku membuka mata.

Mengerjap.

Seberkas cahaya menyirami retina. Samar, aku melihat langit-langit ruangan berwarna putih dan bebauan tajam menusuk.

Sebentar ... kalimat itu terdengar ambigu bagiku. Aku ... membuka mata?!

Seketika, aku bangun terlonjak.

AKU MEMBUKA MATA!

Ba ... bagaimana bisa? Bukankah harusnya ...

... aku mati?!

Setelah terpekur beberapa saat, aku menyadari hal lainnya. Ini rumah sakit. Ada selang di hidungku, juga tabung oksigen di samping ranjang. Begitu sadar, aku mencium bau menusuk khas rumah sakit yang membuatku mual dan memutuskan bersandar.

Mengapa aku tidak jadi mati?

Siapa yang membawaku ke sini? Dengan apa? Bagaimana dia bisa? Mungkinkah itu ...

"Kau bangun!"

Arash masuk bersama seorang dokter. Mereka mendekatiku. Sang dokter menanyakan dua-tiga hal yang kujawab dengan kebisuan. Akhirnya, ia menyerah, lalu beranjak.

Tersisa Arash yang menarik kursi, lalu duduk di samping ranjangku.

"Kenapa?" tanyaku lirih. Aku kesal karena lidahku tiba-tiba kelu sekali, padahal aku sudah berniat mengamuk detik ini. "Kenapa aku ... tidak jadi mati?!"

Arash hanya diam. Aku semakin kesal karena tidak mendapat jawaban.

"Kenapa kau ... menghalangiku?"

"Yang kau lakukan tidak akan pernah membuatmu mati," kata Arash akhirnya, "Kau hanya mengobrak-abrik jalinan takdirmu. Belum saatnya kau mati. Mau melukai diri sendiri sebanyak apapun, kau tetap takkan mati."

Aku terdiam. Rasanya, bagai ada pisau-pisau kasat mata yang menyayat hatiku, terus menerus begitu, mengoyaknya hingga aku tidak bisa lagi memikirkan bagaimana bentuk hatiku sekarang.

Aku tidak bisa berpikir lagi.

"Kalau begitu," aku menatapnya, "kenapa kau tidak membiarkanku? Bukankah aku tetap takkan mati, kalau belum saatnya aku mati?"

Laki-laki itu memandangku lurus. Kemudian menghela napas. Kukira, ia akan menjawabnya. Tetapi beberapa menit berlalu setelah pertanyaan terakhirku, dan ia masih bergeming di tempatnya.

Aku menunduk.

Kepalaku sakit. Hatiku sakit.

Aku marah. Aku gelisah. Aku khawatir, ketakutan, kesepian ...

Aku benci mengatakan kalau aku sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang kuinginkan.

"Kau ingin menangis, Afya?" Suara Arash memecah sesakku. Aku refleks menatapnya, terkejut. "Kau ingin menangis?"

Aku menelan ludah.

"Kau perlu menangis! Tidak apa-apa," Arash tersenyum.

Aku membuka suaraku yang parau, "Apa kau bisa pergi dulu?"

"Oh, baiklah," Arash berdiri, kemudian meninggalkan ruangan.

Lalu aku meledak.

***

Aku tertawa pedih. Menarik.

Gadis malang itu bertanya pada pemuda beriris mata nebula di sampingnya.

"Bukankah aku tetap takkan mati, kalau belum saatnya aku mati?" yang dikatakannya mengusikku.

Masih terngiang di kepalaku, suara Afya yang mempertanyakan mengapa Arash tidak membiarkannya mati.

TransferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang