9. Keduanya Bukan Pilihan

58 12 9
                                    

Teriakan Nadira merusak suasana kelas serta suasana hati Bu Yani. Guru yang terkenal suka akan suasana tenang itu mendadak marah saat mendengar teriakan dari salah seorang muridnya. Bu Yani menoleh lalu bertanya siapa yang membuat keributan saat ia tengah menulis materi. Dengan gugup Nadira mengangkat tangannya.

"Keluar sekarang. Duduk di depan tiang bendera dan kerjakan latihan soal bab lima," perintah Bu Yani. Mungkin terdengar lembut, tetapi sangat menyeramkan.

"Ta-tapi bu, bab lima belum ibu jelasin."

"Sekarang saya tanya, kamu kesurupan?"

"Ng-ngga bu," jawab Nadira dipenuhi rasa takut dan bersalah sebab merusak suasana belajar.

"Lalu kenapa kamu berteriak? Kamu kaget sama materi baru kita?"

"Tidak bu...,"

"Lalu kenapa?"

"Sa-saya menang undian bu," jawabnya ragu-ragu. Nadira terpaksa berbohong sebab jawaban sesungguhnya mungkin akan menjadi masalah yang lebih besar, serta memalukan.

"Kamu main handphone di pelajaran saya?"

Nadira berdecak kesal. Sangat sulit untuk mengontrol diri hingga semua perbuatannya menjadi masalah untuk dirinya sendiri. Nadira hanya mengangguk pasrah.

"Bawa kursi kamu dan keluar sekarang, jangan lupa kerjain apa yang ibu suruh."

"Saya minta maaf bu, saya memang salah, tapi saya ingin ikut pelajaran ibu," mohon Nadira dengan wajah penuh penyesalan.

"Ngapain kamu ikut pelajaran saya? Kamu berteriak barusan menandakan bahwa kamu sudah paham dengan materi baru kita. Dan saya tidak mau ada kekacauan lagi nantinya. Silakan keluar!"

"Bu saya mohon—"

"Kamu atau saya yang keluar?"

Nadira malu telah melawan gurunya. Ia pun mematuhi hukuman yang diberikan Bu Yani. Keluar ia dari kelas sembari menggotong kursi ke tengah lapangan upacara. Diletakkan kursi itu tepat di depan tiang bendera, sebab Bu Yani memantaunya. Usai Nadira duduk di kursi, Bu Yani kembali mengajar.

Nadira membuka buku dan melihat latihan soal yang harus ia kerjakan. Spontan otaknya menolak untuk berpikir. Buku pelajaran pun ia jadikan penutup kepala sebab panas matahari mulai membakar. Nadira bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya mencoret buku tulisnya sembari menunggu jam istirahat. Sesekali ia melihat sekitar, memastikan Bu Yani tidak memantaunya dari jauh. Namun tiba-tiba saja buku yang menutupi kepalanya itu terangkat. Akibat refleks Nadira langsung menoleh. Kehadiran orang itu lebih menakutkan dari Bu Yani. Bu Yani mungkin membuat jantungnya berdebar, tetapi Argi bisa membuat jantungnya lepas.

Pria dengan penuh kejutan itu kini berdiri di dekatnya. Nadira tidak tahu alasan apa Argi menghampirinya, meski memang hari ini terasa sangat berbeda. Awalnya Nadira tidak percaya saat Argi tidak lagi memblokir nomornya, bahkan kakak kelasnya itu mengirim pesan padanya. Itu alasan mengapa Nadira berteriak. Pesan singkat yang dikirim Argi berhasil membuatnya senang sekaligus kesal sebab dihukum oleh Bu Yani.

"Lo ngapain di sini?" tanya Argi.

Merinding Nadira mendengarnya. Cepat-cepat ia berdiri dan memeriksa kening calon masa depannya itu. Tingkahnya sontak membuat Argi risih, tanpa sengaja pria tinggi itu menepis tangannya. Ia pikir Argi berubah, ternyata tetap saja pria itu tidak suka padanya. Nadira maklum saat tangannya ditepis, sebab ia merasa tidak sopan begitu saja menyentuh Argi, namun semua itu terjadi begitu saja, tanpa pemikiran yang panjang. Anehnya, setelah menepis tangan Nadira, pria yang selalu kejam terhadap adik kelasnya itu tiba-tiba merasa bersalah. Argi langsung meraih tangan gadis di hadapannya, "Maaf kalau gue kasar, tangan lo sakit gak?" tanya Argi, sedikit cemas.

Waiting For YouWhere stories live. Discover now