Bab 1

52 1 0
                                    

"Rumah? Apa itu?"
__

Aku menatap Zara yang tengah tertawa riang dihalaman kampus. Kakak ku yang Bersinar, cantik dan dikelilingi orang-orang. Kembali kususun kardus-kardus botol minuman yang harus diantar ke gudang. Hidup kadang tidak adilkan? Terlebih untuk orang pendiam, tidak menarik dan berkepribadian buruk yang sering di kritik ibu— sepertiku . Saat-saat seperti ini, aku biasanya mengasihani diri. Pertanyaan seperti "Why me?" selalu muncul. Zara kuliah dibiayai full Ayah, aku harus bekerja apa saja—dikantin, toserba, private les. Zara punya motor bebek cash dibeli Ayah dari hasil jual tanah, aku kesana-kemari naik bus sesekali pakai motor butut Astrea yang asapnya mengepul milik bos. Zara dibelikan laptop baru untuk tugas-tugas kuliah, saat aku bahas laptop, ibu bilang tidak ada uang dan aku disuruh pinjam laptop Zara. Tapi zara selalu sibuk dengan drakor-drakornya. Kadang..hidup memang sesialan itu

"Ziriii.."

"Hai, Zar..minum?" sejak ibu diam-diam membelikan baju tidur motif Strawberry hanya untuk Zara, aku berhenti memanggilnya kakak.

"kalian mau apa? Aku yang traktir" zara seperti biasa selalu ramah dan royal. Dalam kamusku dia pamer dan Bodoh. Teman-teman zara membuka kulkas, mengambil minuman yang mereka inginkan.

Zara menyodorkan uang 50 ribu padaku, yang aku yakin didapatnya dari ibu "Nanti pulang jam berapa? Om Wirhan dan tante Rani datang."

"Om Wirhan? Dokter wirhan? dalam rangka apa?"aku bertanya heran. Om Wirhan dan Tante rani teman Ayah juga Tetangga kami diperumahan sebelumnya

Zara menaikkan bahunya acuh "Nggak tahu. Kayaknya sih makan malam aja. Tadi mama WA, suruh pulang cepat."

Sontak aku mengecek handphone di bawah kasir. Tidak ada wa dari ibu. Apa sih yang aku harapkan? Tidak terhitung seberapa banyak perlakuan seperti ini kudapat, selalu ada jarum yang menusuk hatiku. Salah hatiku yang bebal dan tidak belajar.

"Kalian saudara?" salah satu teman Zara menyela

Zara mengangguk. "ya ampun, beda banget." Dia memperhatikanku "Iya kan?" teman zara yang bertanya bahkan meminta persetujuan kawannya yang lain untuk memastikan betapa buruknya aku. aku tersenyum. Ini bukan pertama kalinya kami dibandingkan.Zara berkulit putih, aku sawo matang. Zara punya rambut bervolume warna burgundy hasil salon, rambutku hitam pendek—lebih sering lepek karena keringat. Kalau ada orang yang selalu mendapatkan apa yang dia mau, Zara lah orangnya.

"aku duluan ya." Zara berlalu meninggalkan bau parfumnya yang segar dan ketukan heelsnya yang mantap.

Tanpa sadar aku menghela napas. Kupandangi sekelilingku, kulkas berderet-deret, mesin kopi, dispenser, kardus-kardus yang belum tersusun. Tas kuliahku yang kumal disudut ruangan. Aku yang keringatan dengan sepatu yang berlumpur. Aku merasa agak menyedihkan ..

__

Jam menujukkan angka 06.05 , shift ku berakhir lima menit yang lalu. Aku menyandang ranselku yang berat, berpamitan pada Feby-- kasir shift malam. Dikampus swasta ini, menyediakan kuliah malam yang mahasiswanya rata-rata bekerja pada siang hari. Udara diluar lembab, langit masih menyisakan warna jingga abstrak. Hanya butuh waktu 5 menit untuk sampai ke Halte bus. Bagiku, Waktu pulang kerja adalah waktu yang paling banyak kuhabiskan untuk berpikir. Bus datang dipenuhi orang-orang yang pulang bekerja, aku bisa melihat betapa lelahnya kakak-kakak dibangku depan. Beberapa Pria berdiri tidak kebagian tempat. Wajah mereka lesu, lelah, beberapa wajah kukenal sebagai orang yang sama dengan hari-hari sebelumnya.Semua orang sepertinya bekerja keras dalam hidup mereka. Bus melaju, membawa kami ketempat yang disebut rumah.

Hm! Rumah? Apa itu? Tempat nyaman dan orang-orang saling menyayangi tanpa syarat? Kalau ku pikir lagi, tidak ada tempat seperti itu untukku. aku menghabiskan seluruh waktuku untuk membuktikan diri, belajar siang-malam menjadi juara kelas, ikut lomba apapun yang tertempel dimading sekolah, ikut club bahasa inggris yang kusuka, ikut kelas masak yang tidak kusuka, ikut kelas tari yang disuka ibu, ikut karate seperti ayah yang membuatku lebam-lebam, ikut try out dibanyak lembaga supaya lulus universitas terbaik dikotaku. aku menghabiskan waktu untuk membuktikan diri. Kupikir..setelah berjuang sekeras itu, akan ada satu tempat untukku. Kutatap rumahku yang sudah dekat. Suara gelak tawa terdengar. Handphoneku nihil dari notifikasi appapun. Tidak ada yang merasa perlu untuk mencariku. Sepertinya.. memang tidak ada tempat untukku dari awal.

"Kak Ziri?" aku berbalik kearah suara dibelakangku. Zaki, adikku paling bungsu berlari kecil menyusul. "kami dari swalayan, disuruh beli Tisu".

"kami?" aku bertanya bingung, saat itulah seseorang muncul dari bayangan lampu jalan. mendekati kami. Suara sepatu beradu dengan aspal menggema. Sangat mengganggu.

"Kakak ingat, Bang Hendra? Anak Om wirhan?"

Aku menatap wajah orang didepan ku sekilas. "kamu banyak berubah ya?" suaranya yang lembut berdenging ditelingaku.

"Mas Hehen?" tanya ku tak yakin

Dia tertawa geli "Mas hendra" ralatnya. Kami saling bertatapan. Apakah hari ini akan jadi Zara Day lainnya, cinta pertamanya bahkan ada disini. Mas hendra tersenyum pada ku, cuping basotemporalku diaktifkan, aku menyalin apa yang kulihat. Senyum itu menular..

___

semoga berkenan

Terimakasih..

A PlaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora