Bab 2

36 1 0
                                    

"Ya ampun Ziri.." Tante Rani bersedekap melihatku dipintu. Aku pasti seburuk itu "kamu berubah sekali sayang.." dua kali, kurang dari lima belas menit aku mendapat respon seperti itu. Tante Rani yang memakai celemek ibu menyeberangi dapur untuk memelukku. Tante rani selalu baik.

"Tante apa kabar?" Waktu kecil, Tante rani adalah ibu impianku. Orang dengan pelukan terhangat yang pernah kukenal.

"sehat sayang.." dia mengecup pipi-pipiku

"ya ampun Ran, Ziri keringatan dan bau. Baru pulang kuliah dia.." suara ibu menyela. Aku melepaskan pelukan tante Rani

"iya tante. Ziri Mandi dulu ya.." Tante Rani masih menyapu kelapaku

"kita makan malam sama-sama ya. Ya ampun.. udah lama banget tante nggak nyuap kamu."Aku tertawa. Dulu..saat week end, saat Ayah-ibu dan Zara keluar atau saat zara menjadi perhatian penuh Ayah dan ibu karena pencernaannya yang bermasalah, aku disuruh 'menunggu rumah', aku yang kesepian akhirnya membawa piring makan siang ku kerumah tante Rani. Waktu itu tante rani seorang diri. Om Wirhan sibuk bekerja dan Hendra kuliah diluar kota. Kami adalah dua orang kesepian yang saling mengisi.

aku melihat Om Wirhan yang sedang duduk bersama Ayah."Apa kabar, Om? " aku menyalami Om Wirhan dan Ayah yang berbincang-bincang. "saya baca penelitian Om tentang Leukimia dan pendekatan-pendekatannya, itu benar-benar revolusioner, Om. Apa kata Guru besar UI waktu itu.." aku mencoba mengingat-ngingat artikel yang pernah kubaca "salah satu Penemuan paling penting untuk pengobatan manusia. " aku memberi dua jempol dan pujian tulus tentang penelitian Om Wirhan beberapa bulan lalu. Sempat heboh didunia kedokteran.

Om Wirhan tertawa renyah "Bisa saja kamu, Zir. Kamu suka baca Jurnal kedokteran juga?" Om Wirhan kaget sekaligus tersanjung. Ibu mulai mendekat. Zara yang menata piring menatap ku penuh tanya begitu juga dengan yang lain.

"sesekali Om, untuk menambah wawasan." Aku tersenyum sungkan lalu pamit berlalu kekamar. Jadi dokter adalah salah satu impian ku yang kandas, setelah itu ada banyak hal-hal kandas lainnya dalam hidupku.

Zara mengenakan gaun peach sifon yang baru pertama kali kulihat. Dia tampil menawan Seperti biasanya. Dan makan seanggun mungkin, sepertinya karena Hendra duduk disampingnya. Aku menggeleng.

"Jadi Zara kapan wisuda?"

"harusnya tahun ini, Tan. Soalnya udah mulai penelitian kan kemarin, tapi ya gitu, disuruh ganti lagi sama dosen." Ini tahun kelima Zara kuliah, judul penelitiannya beberapa kali ditolak.

"kalau Ziri?" Tante Rani bertanya padaku lembut

"lagi diusahakan tante.."

"emang sudah sampai mana?" Hendra ikut bertanya perihal kuliah. Hendra seperti Om Wirhan, sangat mementingkan pendidikan yang selalu membuatku terinspirasi. Dia diterima di beberapa Universitas terbaik. Dan baru saja mendapat tawaran menjadi dosen.

Leherku terasa gatal "baru Bab 3, Mas .."

"kok bisa Zir?" tanya zara "kok nggak cerita?"

Aku tersenyum canggung, tidak ada yang pernah peduli dengan kuliah ku sebelumnya"judul aku baru diapprove kok zar, mata kuliah dan sks yang aku ambil udah cukup. Ramadhan tahun lalu aku ikut semester pendek. Aku juga konsul kepembimbing akademik dan disuruh ngajuin Judul, ini lagi tahap revisi."

"Jadi bisa tamat 3,5 tahun?" lagi-lagi mas hendra bertanya

Aku meringis "Insyaallah Mas .."

Ibu meminta maaf karena dentingan sendok nya yang terjatuh

"Nanti tante harus datang ke wisuda aku." Aku mengancam tante Rani, yang disambut gelak tawa semua orang. Aku dan Zara beda satu Tahun, ibu selalu bilang aku adalah anak yang membuktikan betapa tidak akurat dan tidak bisa dipercayanya Pil KB.

"Ran, Nasi Wirhan sudah habis tu, diambilin lagi, ayo ditambah, jangan sungkan.." ibu sibuk menyodorkan makanan ke tante dan Om, Zara terlihat mengobrol dengan Hendra, Zaki sudah meletakkan sendok nya dan beralih menggunakan tangan saat makan daging. Semua orang sibuk dimeja makan. Ku tatap ayah yang tampak bahagia karena sahabat lamanya berkunjung, Ayah tersenyum padaku. Lalu berkata tanpa suara 'makan yang banyak'. Ayah selalu baik. Diam-diam mentransferkan uang jajan untukku, satu-satunya orang yang mendukungku kuliah saat ibu bilang tidak usah karena uang pendaftaran yang mahal. Aku tahu, Ayah sayang padaku. Dia adalah alasan kenapa aku harus pulang. Kalau suatu hari, jika aku ditakdirkan untuk menikah. Kuharap orang seperti Ayahlah suamiku. Orang dengan senyum menenangkan sedunia.

Bel Pintu berbunyi, aku mengajukan diri membuka pintu..

Laki-laki berbadan tinggi berada didepanku. berkemeja hitam dan celana hitam. Kepalanya miring, seolah-olah menilai ku. Matanya yang tajam tampak dingin. Bibirnya mengatup rapat.

"siapa ya?.."

"Zero?" suaranya yang dalam dan berat membuat ku merinding

Hanya ada satu orang didunia ini yang memelesetkan nama Ziri menjadi zero, seseorang yang tidak bisa dijangkau. Yang namanya terselip rumit di bagian otakku. Si Pemberontak ulung.

he..ru?


___

Hope you like this story :)

A PlaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora