Epilogue

240 33 14
                                    

Bunyi desing pesawat yang baru berangkat cukup memekakkan telinga. Gadis berpakaian serba tertutup dengan masker di wajahnya kini cemas melihat arloji. Ia merasa transportasi terbang itu akan segera meninggalkannya dan ia harus segera check in sekarang juga.

"Masih 1 jam lagi, Vira. Astaga!" Fery menunjukkan penunjuk waktu di ponselnya serta bukti check in tiket yang telah dilakukan online. "Kau hanya tinggal naik saja, duduk di kursi penumpang, dan menunggu selama dua jam hingga ia sampai ke tujuan."

Vira memandang sahabatnya yang tengah memijit kepala. Ia lalu duduk kembali seiring napas lega yang ia keluarkan. "Syukurlah."

"Ya, kau harus bersyukur karena memiliki teman yang sangat cekatan untuk mengurus semua keberangkatan―hingga mengurusi check in online."

"Tidak, Bodoh. Aku tidak membahas itu," Vira bertopang dagu. Mata dibalik kacanya agak sipit melengkung ke atas. "Aku bersyukur bisa diantar pulang olehmu. Kali ini tidak perlu mengemis di kediaman Ganendra untuk meminjamkanku uang."

Senyum Fery yang awalnya merekah otomatis pudar. Ia melirik Vira tersinggung. "Seribu maaf pun rasanya tidak akan bisa membuatmu melupakan hal itu, ya."

"Aku agak pendendam, Fer. Tapi, sebenarnya juga pelupa. Semua tergantung keadaan."

Fery meninjau berbagai individu yang melewatinya. Sebagai wilayah ibukota, wajar saja jika bandara ini dipenuhi orang dengan beragam suku. Selain itu juga tidak sekali ia menemukan turis dengan koper kecil yang tidak merepotkan. Diantara yang lewat, ia menyadari seseorang yang sepertinya tidak asing namun tidak dapat tertangkap di matanya.

"Semoga sukses untuk pelatihanmu, Fer," kata Vira sembari menggenggam sahabatnya. Senyumnya terukir tulus di balik masker.

Berkebalikan dengan Fery, ia tidak sengaja memasang wajah cemas dan sedih yang membuat Vira heran. Pemuda itu sudah cukup lama memendam unek-unek yang telah ia pikirkan sejak pengumuman kelulusannya. "Vir, itu berarti kita akan berpisah. Paling cepat selama 7 bulan. Paling lama―aku tidak bisa menargetkannya. Aku hanya berdoa untuk selalu mendapatkan nilai terbaik agar ditempatkan di kampung halamanku sendiri―agar bisa kembali kepadamu." Sadar akan ucapan muluknya, ia segera meralat. "Maksudku, orangtuaku."

"Tidak masalah. Aku pernah menunggu selama 4 tahun. Kurasa 7 bulan bukanlah hal yang menyusahkan." Vira lalu menatapnya bingung. "Tapi yang aku tanyakan, memangnya aku menunggu untuk apa?"

Fery mendapat serangan telak. Ia langsung menangkupkan kedua tangan di depan wajah. "Vira.., aku benar-benar meminta maaf atas kebodohan―pengkhianatan, baiklah, Cleosa menyebutnya begitu. Karena itu, ayo kita berkomitmen. Setidaknya agar ada kejelasan tentang hubungan kita."

Tatapan Vira menajam. "Fer, jangan pernah bermain-main dengan kata 'komitmen' kepadaku jika kau masihlah seorang laki-laki biasa."

Fery terdiam. "Apa maksudmu?"

"Jangan mengajukan komitmen jika sikapmu masih mudah dihanyutkan keadaan. Jalani saja hubungan seperti biasa. Kau bisa datang ke rumahku bersama orangtuamu saat benar-benar siap―jika itu definisi 'menunggu' yang kau maksud, maka aku akan menunggu. Kalau kau merasa lelah dengan hubungan tidak jelas ini, maka silakan mundur dan akhiri semua ini―tapi jangan lupa kabari aku agar semua perasaan ini tidak digantung begitu saja." Vira menatapnya begitu intens hingga Fery terasa terhipnotis di dalamnya. "Satu hal yang perlu kau tahu. Jika terucap kata 'mengakhiri', maka kupastikan itu bukan keluar dari mulutku."

Rasanya sangat memalukan jika langkahnya harus ditikung lebih dulu oleh perempuan. Terlebih, ucapan gadis di sampingnya terdengar sangat bijak. Ucapan halus itu membuat ribuan kupu-kupu berkumpul di perutnya. Jantungnya memompa lebih cepat karena rasa senang. Secara umum ia hanya ingin bertingkah lebih hebat daripada Vira. Dan akan ia tunjukkan siapa diantara mereka yang lebih menyayangi dan paling mampu menjaga hubungan. "Vira, aku akan―"

IN Series 4: PengantinWhere stories live. Discover now