Satu

10.8K 595 25
                                    

"Aku mau tinggal sama ayah!"

Ucapan yang keluar dari bibir anak perempuan berusia 12 tahun itu langsung membuat tubuh Isyara mematung kakinya terasa kaku dan berat. Mungkin pendengaran nya salah, tak mungkin rasanya kata-kata ini keluar dari mulut anaknya, anak yang ia rawat dan jaga mati-matian dari sejak kandungan hingga sebesar sekarang dengan entengnya mengatakan ingin tinggal dirumah ayah yang menelantarkan dan tak memperdulikan nya, hubungan mereka baru baik belakangan ini saja itupun hanya bertemu beberapa kali. Dada Syara terasa sesak jika memang benar ini permintaan anaknya, marah, kecewa dan sedih seakan bercampur menjadi satu.

"Ibu gak salah dengar kan? Maklum ibu udah tua, takut kuping ibu bermas..."

"Ibu gak salah dengar, aku memang bilang mau tinggal sama ayah." Potong Syani.

"Tapi kenapa sayang?" Tanya Syara tak terima sambil menekan rasa sesak di dadanya, hatinya meronta menolak keputusan anaknya itu.

"Aku bosan hidup susah sama ibu, aku pingin ngerasain jadi orang kaya. Dan ayah nawarin aku, bunda bahkan udah siapin kamar yang bagus buat aku. Aku jadi makin yakin buat tinggal sama mereka." Cerocos Syani anak nya tanpa memikirkan perasaan sang ibu yang telah melahirkannya dan merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak kandungan.

Mereka berdua hidup berkecukupan walau tak bisa dibilang berlebihan juga, Syara bekerja sebagai guru di SD swasta, namun gajinya terbilang lebih dari cukup untuk hidup mereka berdua. Namun bukan untuk hidup bermewah-mewahan. Mungkinkah godaan dunia mulai mencuci otak anaknya.

"Kamu lupa kalo ayah kamu udah menelantarkan kita. Ibu diceraikan dalam keadaan hamil kamu nak, dan dia memilih menikahi perempuan yang kamu sebut bunda itu. Tanpa memberi nafkah apa pun. Baru sekarang dia datang dan peduli kamu langsung terima." Syara sengaja mengungkit lagi luka masa lalu, saat Syani bertanya mengapa mereka hidup berdua.

Tak ada satu cerita pun yang Syara sembunyikan dari anaknya, baik buruk mantan suaminya ia beritahu. Jika ada ibu yang sengaja menutupi keadaan mantan suami dengan mengatakan bahwa ayahnya kerja jauh atau ayahnya sedang sibuk mencari uang, Syara tidak begitu. Niat nya tentu saja agar Syani, anaknya tahu jika ayahnya seorang lelaki yang bejat. Urusan Syani membenci atau tetap menghormatinya ia serahkan kepada anak itu. Tapi nyatanya semudah itu Syani melupakan semua ceritanya.

"Ayah udah minta maaf sama aku dan berjanji memperbaiki semuanya. Kan kata ibu anak perempuan itu tanggung jawab ayahnya jadi lebih baik aku langsung tinggal sama mereka. Lagipula dengan gak adanya aku kan ibu bisa lebih menikmati hidup, gak perlu lagi berhemat. Pengeluaran ibu berkurang satu." Jawab Syani tanpa raut bersalah.

Air mata itu akhirnya lolos di pipi Syara, ia tak menyangka mendapat penolakan frontal sekeras ini dari anaknya. Dilawan oleh anak yang ia sayangi membuatnya tak mampu mengendalikan emosi. Ia tak sanggup lagi membendung air mata yang berlomba ingin jatuh, ditambah rasa sesak kian merajam dada.

"Ibu gak ijinkan!" Jerit Syara putus asa.

"Aku gak butuh ijin ibu, dan ayah udah beliin semua kebutuhan aku jadi aku gak perlu berkemas sama sekali. Aku bosen pakai baju dan tas murah terus. Nanti sore ayah datang." Syani langsung melenggang keluar meninggal Syara yang mulai menangis terisak.

"Syani!!" Teriak Syara namun diabaikan oleh anak itu.

Syara menangis sambil memukul dadanya, sakit akibat dikhianati dan ditelantarkan suami nyatanya tak sebanding dengan sakit ditinggalkan oleh anak sendiri karena ingin hidup mewah bersama sang ayah. Kenapa nasibnya jadi seperti ini. Apa dosanya hingga Tuhan mengujinya terus menerus. Salahkah ia memilih berterus terang kepada anaknya ketimbang berbohong dan menyembunyikan keburukan mantan suaminya. Tidak tidak, jika seandainya ia berbohong maka mungkin semakin mudah Syani meninggalkannya, mengetahui keburukan ayahnya saja tak berpengaruh apa-apa pada gadis remaja itu.

Menukar HidupWhere stories live. Discover now