Dua Puluh Empat

3.8K 442 12
                                    

Halo semua, apa kabar??
Niatnya mau hiatus sampai awal Januari eh keterusan sampai februari. Hihihi...
Lagi asyik sama dunia nyata sampai kelupaan punya lapak di sini. 😁
Untuk selanjutnya aku akan up tiap jumat seperti jadwal sebelumnya ya.
Kayaknya uda cukup deh pengantar (alasan) panjangnya.
Selamat membaca..
__________________________________

"Ingin main-main kesana dong nak. Bunda juga ingin dekat sama Ibu." Ucap Artika jujur.

"Jangan sakiti Ibu dan keluarganya Bun. Udah cukup Bunda menyakiti Ibu dan Syani di masa lalu, jangan ditambah lagi."  Pesan Gerry sambil mewanti-wanti.

"Kadang Bunda suka lupa kalau umur kamu baru dua belas Nak. Sikap kamu terlalu dewasa, untuk anak seusia kamu. Maafkan Bunda yang sudah lama lalai mengurus kamu." Air mata kembali mengalir di pipi Artika.

"Yah, asal jangan diulangi lagi." Putus Gerry tak tega melihat wanita yang melahirkannya itu mulai menangis.

"Ayo kita berangkat sekarang, aku udah gak sabar mau main sama Arkan." Lanjut Gerry mengajak Artika.

Dengan kedua tangannya, Artika menghapus air matanya cepat, ia segera bangkit dan mengantarkan Gerry ke rumah yang ditempati Syara dan keluarga barunya. Rumah dua lantai itu terlihat cukup besar dan asri, tidak sebesar dan semewah rumah Jakra, tapi terasa nyaman saat menginjakkan kaki di sana.

Rumah model minimalis yang terletak di komplek perumahan kelas menengah dengan lingkungan dan keamanan yang baik. Sepertinya rumah ini mengambil dua kapling perumahan karena tanahnya terlihat lebih besar dibanding rumah yang lain.

"Silahkan duduk Mbak." Sambut Syara setelah dia kaget tadi saat membuka pintu rumahnya.

Artika tampak masih sibuk memindai isi ruangan dengan ekor matanya, menatap penataan ruang rumah yang terlihat menarik dan terasa sangat nyaman itu. Ia segera tersadar lalu menduduki bokongnya ke atas sofa di ruang tamu itu.

"Makasih Isyara." Balas Artika sopan.

"Saya tinggal sebentar ya Mbak mau bikin minuman dulu."

"Jangan repot-repot, air putih aja."

Syara tersenyum lalu mengangguk sebelum berlalu dari hadapan Artika. Tak lama Syara datang dengan nampan berisi segelas air putih, dan sepiring brownies.

"Ini pertama kalinya saya kesini, tapi saya langsung merasa betah. Rumah kamu rasanya hangat dan nyaman." Puji Artika.

"Makasih Mbak. Saya beruntung di ijinkan masuk ke kehidupan Mas Bagas dan Rara. Kehangatan, kebaikan dan kasih sayang yang mereka berikan membuat rumah ini terasa nyaman, saya sangat bersyukur untuk itu. Saya harap Mbak juga bisa menemukan rumah seperti ini, atau kalau tidak Mbak yang menciptakan rumah dengan suasana seperti ini." Balas Isyara dengan senyum ramahnya.

"Saya akan hidup sendiri setelah ini gimana caranya bisa menghangatkan rumah sendirian." Artika tertawa getir.

"Mbak akan menemukan caranya nanti. Jika Mbak berhasil bukan tak mungkin Gerry akan menemani Mbak nanti." Syara terus menyemangati.

"Makasih.."

Hening sejenak, dua orang wanita itu sedang menarik nafas masing-masing. Mereka terlihat tampak sama-sama lelah. Tentu saja lelah dengan alasan yang berbeda. Artika lelah karena masalah yang dihadapi, sedangkan Syara lelah karena harus lembur mengurus Arkan yang rewel tadi malam dan Bagas yang menuntut haknya. Jadilah ia dobel capek. Beruntung Bagas bersedia membantu mengurus Arkan saat ia tak ada tenaga lagi.

"Saya mau minta maaf sama kamu Isyara. Saya sadar semua kesalahan saya gak akan selesai hanya dengan satu kata maaf saja, tapi dengan kerendahan hati, saya benar benar memohon maaf atas semua yang telah saya lakukan. Yang saya alami sekarang ini mungkin adalah karma atau balasan Tuhan atas kesalahan saya dulu. Kesalahan yang menjadi boomerang di kehidupan saya kini. Saya tahu kesalahan saya sangat besar, tapi saya mohon maafkan saya. Setidaknya setelah ini hati saya sedikit lega karena satu beban terangkat." Pinta Artika mengiba.

"Saya tak tahu apa Mbak paham seperti apa sakit yang saya alami dan rasakan dulu. Tapi setelah kejadian itu akhirnya saya berusaha berdamai dengan takdir, memaafkan kalian lalu melangkah menata masa depan bersama Syani. Dulu saya hanya berpikir akan menghabiskan hidup berdua dengan Syani hingga Syani menikah dan punya anak nanti. Tak ada kepikiran untuk bersuami lagi, hingga kalian datang kembali kesini dan memporak-porandakan keluarga saya untuk kedua kalinya." Syara menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan.

Membahas masa lalu yang pahit membutuhkan energi lebih banyak dari biasanya. Masih ada rasa sakit dari luka yang mereka ciptakan. Jadi ngilunya tetap saja terasa saat semuanya perlahan diungkit. Beruntung ada sepotong hati yang baru yang bisa membantu mengobati luka dan mengurangi rasa sakit di hatinya.

"Beruntung untuk yang kedua kalinya kalian menyakiti saya, ada Mas Bagas dan Rara yang menemani saya, menyemangati bahkan mengembalikan semangat yang semula terasa mati. Hingga akhirnya saya merasakan hidup dan bahagia. Kebahagiaan sebenarnya karena kali ini Mas Bagas lelaki baik bukan Jakra yang gampang tergoda." Ucap Syara tak mampu menahan sikap sinisnya.

Artika masih terdiam mencerna setiap perkataan Isyara yang terluka, tentang hidupnya yang berkali kali di sakiti oleh orang yang sama. Dirinya dan Jakra, sambil berpikir jika ia di posisi Isyara, apa ia sanggup.

"Tidak hanya Mbak yang salah, Jakra juga ikut andil besar waktu itu. Karena jika Jakra suami yang baik dia tak akan gampang tergoda wanita lain. Namun nyatanya dia malah menyambut godaan itu dengan baik. Itu tandanya kalian memang pas dan cocok kan. Saya menyayangkan perpisahan kalian." Lanjut Syara setengah bercanda setengah menyindir.

"Jadi katakan kepada saya, bagaimana  saya bisa memaafkan Mbak untuk rasa sakit yang kedua kalinya kalian torehkan?"

"Sekali lagi maafkan Isyara." Artika menunduk, seketika ia merasa tak punya muka memandang wajah Isyara.

Isyara menghembuskan nafasnya perlahan, menetralkan emosi yang tiba-tiba datang berkecamuk. Ia tak boleh dikuasai emosi. Mas Bagas sudah berkali-kali menasehatinya dan menyembuhkan lukanya. Jadi tak sepatutnya ia menyimpan dendam. Ibarat api dalam sekam, dendam tak hanya membakar orang lain tapi juga dirinya sendiri.

"Saya maafkan Mbak, setelah ini hiduplah dengan menjadi orang baik." Putus Syara setelah berhasil menguasai diri.

"Saya sadar jika terlalu berlebihan rasanya jika meminta kita untuk berteman setelah ini. Tapi saya berharap jika kita tak sengaja bertemu suatu saat nanti kita bisa saling menyapa dan tersenyum tanpa dendam." Pinta Artika pelan.

Syara tersenyum tipis sambil mengangguk. Ia sudah bahagia dengan hidupnya saat ini, jadi ia tak akan mengotorinya dengan dendam yang tak berkesudahan.

"Ibu Arkan pipis. Popoknya ibu6 simpan di mana?"

Suara Gerry membuat Syara dan Artika tersentak, ketegangan di antara mereka memang sudah agak mencair, tapi dikejutkan dengan panggilan seperti itu tiba-tiba tetap saja membuat mereka kaget.

Gerry datang dengan membawa Arkan dalam gendongan. Bayi berusia satu tahun itu memang sudah bisa berjalan tertatih, tapi abang dan kakak-kakaknya senang memanjakan Arkan dengan menggendongnya kesana kemari.

"Di keranjang bawah lemari Ger. Sementara Ibu gendong dulu ya Arkannya, kamu tolong ambilin popok dan celananya arkan."

Syara langsung menggendong bayi gembil yang tak mengenakan bawahan itu. Bau tissue basah tercium menandakan Gerry sudah membersihkannya tubuh bagian bawah bayi itu.

Artika yang melihat bayi lucu itu pertama kali langsung jatuh cinta. Yah siapa yang tak akan suka melihat wajah bulat dengan pipi tembem bayi Arkan, matanya besar, bulu mata panjang, alis dan rambut lebat dan kulit yang putih bersih. Arkan terlihat seperti calon idola remaja putri masa depan.

"Boleh saya gendong Isyara?" Pinta Artika tiba-tiba.

Isyara memandang Artika, ia terlihat ragu menyerahkan Arkan ke Artika. Namun wajah bersemangat Artika membuatnya tak tega menolak permintaan wanita itu.

"Arkan agak rewel sama orang baru Mbak, biasanya kalau gak suka orang itu akan dipipisin. Mbak yakin mau gendong Arkan"" Tanya Syara menyakinkan.

Ragu sejenak, kemudian Artika mengangguk yakin.

"Gak apa, lagipula sudah lama saya gak merasakan dipipisin bayi." Canda Artika sambil menerawang.

Atau bahkan ia tak pernah merasakan itu sama sekali. Karena ia tak pernah mengurus Gerry sejak anak itu dilahirkan.

Menukar HidupDonde viven las historias. Descúbrelo ahora