02 - Is that right, Jim?

596 92 76
                                    

Saat aku membuka mata, pemandangan langit-langit kamar nuansa putih yang tidak asing bagiku itu yang aku dapati. Aku sempat panik saat mengingat aku pingsan tadi, tapi setelah aku mengenali ini, aku bernapas lega. Ini kamar aku dan Jimin.

Aku mengedarkan pandangan, kudapati Jimin yang sudah melepas jas kantornya juga perlengkapan lainnya. Dia duduk di tepian ranjang dengan kemeja putihnya. Tangannya berusaha melepas dengan tenang dasi hitam yang membuatnya tak nyaman seharian.

Aku dengan ragu mencicit. "Terima kasih." Kedua tanganku meremas kuat selimut tebal yang membuatku merasa hangat.

Iya, Jimin kan sudah membawaku kemari. Aku harus berterima kasih, kan? Kalau bukan Jimin, aku tidak tahu ketika aku terbangun nanti berada di mana. Namun, aku agak tidak enak dengannya. Ya, meski tidak seharusnya. Sebab dia suamiku. Sudah menjadi kewajiban suami untuk melindungi istrinya, kan?

Alih-alih membalas ucapan terima kasihku. Dia malah memerintahku. "Cepat siapkan air hangatku." Suaranya dingin, bahkan salju yang masih turun di luar sana kalah dingin dengannya. Langsung saja tanpa suara aku bergegas turun dari ranjang. Aku melirik lewat ekor mataku saat melewatinya, namun dia tak barang sedikitpun melihat ke arahku.

Dia selalu bersikap dingin. Aku menyadari kalau dia menikahiku hanya untuk dijadikan sebagai patung. Ketika dia menyentuhku, aku tahu dia sedang merasa sedih. Sebab dia selalu menangis dalam diam. Aku melihatnya, namun dia tak tahu jika aku melihatnya. Mungkin saja dia teringat kecelakaan beberapa bulan yang lalu, yang merebut nyawa adiknya juga mengubah takdir hidupku.

Aku memasuki kamar mandi, mengisi air hangat di bath up juga menuangkan beberapa tetes sabun beraroma. Aku tidak tahu persis aroma apa, mungkin seperti kayu, ah, jadi aku menyukainya. Aroma Jimin adalah aroma yang terbaik.

Dia tidak sekejam yang kalian duga. Dia hanya berlaku kasar padaku ketika dia sedang sedih. Dia tidak selalu menyentuhku. Namun saat ketika dia menyentuhku, dia memang sangat kasar. Aku tidak apa-apa. Selama dia bisa merasa lega karena telah melampiaskan amarah, sedih, kecewanya padaku, ya ... tidak masalah.

"Air hangatmu sudah selesai aku siapkan." Hampir saja aku teriak, sebab ketika aku keluar dari kamar mandi. Mata bulatku menyorot tubuh bagian atas Jimin yang tanpa busana. Celana bahan hitam masih menggantung di pinggangnya, namun dia telah melepas semua pakaian atasnya. Sungguh, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak gugup saat dia berjalan ke arahku dan menatap mataku dengan mata tajamnya, namun terlihat banyak kesedihan. Sampai detik terakhir dia melewatkanku lalu masuk ke kamar mandi.

Aku membuang napas lega. Udara di sekitarku seakan habis tadi sehingga aku tidak bisa bernapas sedikitpun. Padahal aku sudah sering melihatnya, namun kenapa selalu gugup? Seperti itu adalah pertama kalinya.

Aku melihat handuk Jimin berada di tepian ranjang beserta baju kotor yang barusan ia pakai. Aku menaruhnya ke ranjang pakaian kotor, lalu mengambil handuk dan mengetuk pintu kamar mandi dengan ragu. Ah, semoga saja dia tidak marah. Dia mungkin saja melupakan hal kecil karena habis menghadapi hal berat seharian ini.

Aku pikir dia tak akan membukanya, tapi di luar dugaan. Dia membuka dan menyembulkan kepalanya. Menatapku dengan tatapan dingin juga alis yang terangkat. Mulutnya penuh dengan sikat gigi. Aku pikir dia sudah bersiap mandi, namun penampilannya masih seperti ketika masuk tadi.

"Handukmu. Kau melupakannya." Aku menyodorkan handuk tebal itu. Dia meraihnya lalu kembali menutup pintunya. Aku kira dia akan memakiku. Ah, tapi, hanya dengan lewat tatapan matanya, aku tahu dia tak suka diganggu.

THEATRICAL ; PJMWhere stories live. Discover now