12

2.3K 346 20
                                    

***

Baik Lisa ataupun Bobby sudah sangat sering menangis. Menangis untuk bertahan hidup. Menangis untuk menahan diri agar tidak melompat dari apartemen masing-masing. Seperti kata Jiyong, melompat dari lantai dua puluh tidak hanya akan membuat mereka patah tulang. Mereka akan langsung mati begitu tubuhnya sampai ke tanah.

Hari ini Jiyong mengantar Lisa untuk menemui Jisoo di tempat peristirahatan terakhirnya. Di sebuah rumah abu di pinggiran kota. Sebuah dress hitam selutut berlengan panjang membalut tubuh indah Lisa. Rambut merahnya hanya ia ikat rapi dan hanya sebuah flat shoes yang melindungi kakinya dari debu di lantai. Sementara Jiyong juga sudah rapi dengan setelan hitam dan kemeja putihnya. Rambutnya di sisir rapi kebelakang dan kakinya dibalut sepatu pantofel coklat berbahan kulit. Penampilannya sederhana, namun siapapun tahu kalau semua pakaian itu berharga jutaan dollar.

Mereka melangkahkan kaki ke rumah abu itu dan mencari laci kaca yang menyimpan guci abu Jisoo. Guci itu ternyata ada lorong paling ujung. Mereka mengetahuinya dari pria yang sudah lebih dulu berdiri di sana. Langkah keduanya terhenti ketika melihat Bobby sudah berdiri di depan laci kaca itu. Menggenggam sebuket bunga lily putih seperti yang dibawa Lisa. Lisa dan Jiyong dapat melihat bahu Bobby naik turun— bernafas dengan cukup teratur.

"Biarkan dia dulu, ayo tunggu di luar," ucap Jiyong, mengajak Lisa kembali ke teras bangunan itu.

Lisa duduk di undakan tangga bagian depan rumah abu itu, bersandar pada pot keramik besar di sebelahnya dan Jiyong ikut duduk di sebelahnya— merokok.

"Boleh aku minta?" tanya Lisa sembari menatak kotak merah putih yang dipegang JiyonG.

"Kau merokok?"

"Tidak, orang bilang rokok bisa membuatmu lebih tenang?"

"Kenapa kau butuh merasa lebih tenang?"

"Karena ini dan itu,"

Jiyong memberikan rokok yang sudah di sulutnya dan Lisa hanya memegangnya, memperhatikan ujung rokok yang menyala, mengamati bintik-bintik bara merah di sana, mengamati asap putih yang keluar kemudian tersenyum.

"Tidak bisa," ucap Lisa sembari mematikan api di rokok itu "aku tidak bisa menghisapnya," tegas gadis itu dengan suara yang mengisyaratkan sebaliknya.

"Kenapa? Karena sudah terkena mulutku? Kau mau yang baru?"

Lisa terdiam, mengatur nafasnya kemudian berucap dengan suara yang lebih pelan, "aku tidak bisa merokok lagi, akan sangat sulit untukku jika harus rehabilitasi lagi," ucap gadis itu sembari merogoh tasnya mengeluarkan sebotol obat dari sana dan mengambil satu pil di dalamnya. Ia menelan sebutir pil itu tanpa kesulitan sama sekali, seolah apa yang ia telan adalah sebutir permen dengan rasa buah.

"Kau tidak pergi ke Jepang untuk rehabilitasi kan? Obat apa itu?"

"Ini? Sama seperti milikmu oppa, yang oppa simpan di laci dapur? Antidepresan,"

"Kau- depresi? Gadis seceria dirimu? Juga bisa depresi?"

"Itu sebabnya aku minum ini."

Lisa mengamati obat yang ia pegang, rasa marah menjalar di tangannya dan ia remas botol obatnya itu, berharap emosinya saja sudah cukup untuk memecahkan botol kaca itu. "Aku sedang mencoba mengganti konsepku. Tapi gadis ceria itu sepertinya hanya bisa bertahan sampai kemarin," jelas Lisa, tanpa menoleh dan menatap Jiyong.

"Mengganti konsep gadis depresi menjadi gadis ceria yang terlalu hiperaktif? Hhh... jangan menyiksa dirimu sendiri dengan berpura-pura bahagia, kau bisa bercerita padaku, kudengar menceritakan kisahmu bisa membuat perasaanmu sedikit lebih ringan,"

LoserWhere stories live. Discover now