• sɪᴇʙᴢᴇʜɴ

1.3K 206 19
                                    

Jeno melihat kembali lembaran polaroid dalam genggaman, jumlahnya tidaklah lebih dari setengah dibanding yang kemarin setidaknya masih muat saat ia menggenggam keseluruhannya.

"Ku pikir kali ini akan lebih banyak dari kemarin." lengkung tipis dibibir Jeno mengembang begitu lembaran dalam tangannya terhenti pada potret kedua orang tua pemuda Park ini. Dengan posisi kepala saling tumpang tindih, mereka nampak damai dalam tidurnya.

"Aku sibuk."

"Sibuk?"

"Mengagumi Eomma haha."

"Kau tahu? Dirimu tidak lagi sekaku saat pertama kita bertemu, Park."

"Benarkah?"

Jeno mengangguk, tapi pandangannya tidak pernah lepas dari lembaran foto ditangan. Terus berdecak bilamana netranya mendapati polaroid yang memuat potret candid Seungwan dan Chanyeol yang terkadang juga ada Renjun disana, benar-benar potret keluarga sempurna. Pantas saja saat Seungwan Noona pergi Renjun menjadi sekalut itu.

Kehangatan yang seumur hidup selalu ia dapatkan, rumah tempat ia kembali mendadak kosong bak lubang hitam tak berujung. Pulang adalah untuk bertemu guna menyambung cerita dan berbagi pengalaman, bukan untuk menghantarkan ketempat peristirahatan terakhir.

Mungkin pertanyaan seperti, kenapa Tuhan tidak memukul rata membiarkan semua orang untuk mempersiapkan kematian? Akan muncul dibenak orang-orang seperti mereka. Dari semua ujian hidup rasanya ditinggal dan meninggalkan tanpa isyarat adalah yang paling berat.

Jeno rasa ia bahkan hampir gila saat tahu Hina meninggalkannya begitu saja. Rasanya tidak adil sekali.

Tapi itu dulu, seiring bergulirnya waktu dan ia menemukan banyak pengalaman baru sekarang Jeno mengerti. Walau begitu, ia yakin maksud Tuhan adalah sebagai peringatan untuk semua orang agar lebih memperhatikan kembali apa yang sudah mereka miliki saat ini. Setiap orang mestinya pernah paling tidak merasakan hal seperti itu sekali seumur hidup, entah kehilangan benda, peliharaan, bahkan orang sekalipun. Namun manusia tetaplah manusia, meski tidak semua tapi sudah tabiatnya kalau sebagian besar dari mereka menjadi acuh serta congkak terhadap waktu dan keadaan.

"Tuan, bagaimana biasanya klienmu melakukan perpisahan?" Renjun memutar gelas yang berisi seperempat jus jeruk didalamnya, memperhatikan bagaimana air itu bergerak mengikuti wadahnya.

Ia kini tengah berada disalah satu kafe terletak agak jauh dari rumah.

"Aku rasa aku akan gila saat hari itu tiba lagi." kekehan sumbang diakhir kalimat terdengar putus asa. Sungguh, rasanya seperti diterbangkan ke langit lalu sayapnya dipatahkan dan ia ditendang begitu saja ketanah. Renjun tidak tahu apakah ini adalah berkah atau malah nasib buruk.

Ia kesini untuk merubah hidup dan melakukan perpisahan. Kalau dipikir ulang Renjun tetap tidak siap jika harus mendengar berita itu lagi, seperti mengoyak luka lama yang bahkan belum sembuh sepenuhnya.

"Hm, kebanyakan dari mereka hanya mengambil foto dan mengucapkan perpisahan untuk terakhir kali." Jeno meletakkan kumpulan polaroid keatas meja lantas meraih strawberry smoothie didepannya.

Jawaban dari Jeno harusnya cukup untuk Renjun. Sembilan hari perjalanan waktu ini sebenarnya juga sedikit banyak telah mengubah pola pikirnya untuk beberapa hal. Renjun juga telah memanfaatkan waktu disini dengan sangat baik. Tapi rasanya masih tidak cukup.

Ia ingin serakah. Renjun mau eomma yang menjadi pengunjung istimewa dalam pamerannya.

Tapi kenyataan bahwa besok hari terakhir dan lusa adalah hari itu, membuatnya gila bahkan hanya dengan memikirkannya.

comeback. || renjun wendy chanyeol ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon