01. Jatuh Jumpa

4.6K 734 59
                                    

Ke mana mereka membawanya pergi? Pulau apa ini? Apakah dia terjamin akan tetap selamat meski tidak melawannya? Atau setelah ini, dia akan mati mengikuti jejak Ren?

Banyak pertanyaan terlintas di kepalanya. Dia sendiri bingung guna membalas semua pertanyaan itu lantaran belum mendapatkan kunci jawabannya. Menyebalkan sekali, juga menyedihkan.

Nasib, nasib. Kenapa harus begini, sih?

Beginilah nasibnya saat ini, barangkali sampai dia mati di pulau tak bernama ini.

Astaga, memikirkan kematian membuatnya jadi mual. Josie enggan membayangkan hal tersebut. Sebetulnya mengerikan, tetapi pikirannya terus-menerus memaksanya untuk tetap membayangka. Seolah ingin menunjukkan pada kenyataan bahwa tinggal beberapa saat lagi dia akan mati.

Hallo, di mana nanti kehidupan keduaku setelah mati? Apakah surga atau justru neraka? Manapun itu, kuharap bukan neraka. Kita semua benci siksaan, oke? Tapi, mengapa aku selalu berbuat dosa?

Barangkali inilah akibatnya bila dia tidak memberikan penghormatan lebih khusyuk atas pemakaman temannya.

Ren, kamu udah mati. Tolong jangan ganggu aku. Kita bukannya teman, hm? Sungguh, kali ini aku masih ingin bertahan hidup.

Josie menangis. Syukur-syukur mereka tidak mendengarkan isak tangisnya. Bisa-bisa dia malu karena ditertawakan—oh ya, sekadar pikiran konyol dia belaka yang bisa jadi mereka tidak peduli atas kesedihannya. Lagian apa peduli mereka, sih? Toh, sehabis ini dia akan dicincang hidup-hidup sampai mati terus dagingnya dijadikan makanan.

Luar biasa sekali kehidupan pribumi.

“Aduh, pelan-pelan, dong!” omelnya jengkel lantaran mendapatkan dorongan dari belakang dengan keras. Ujung kayu dari tombak yang tidak lancip sengaja mendorong keras punggungnya hingga dia nyaris jatuh.

Josie tidak berharap pula untuk diselamatkan. Namun, diperlakukan seperti orang tidak berguna, membuatnya amatlah kesal. Seumur-umur belum pernah dia diperlakukan demikian merendahkan. Belum lagi—apa sih, ini! Matanya segala pakai ditutup. Tanpa ditutup pun Josie tidak bakalan tahu jalan pulang. Kalaupun tahu, dia pasti sudah pulang sejak pertama terjatuh dan nyasar di pulau tanpa nama ini.

“Nyebelin deh.” Dia bergumam sambil berjalan mengikuti tarikan orang bertangan kasar yang sejak tadi memegangi lengannya.

Dari suaranya, Josie mengenali kalau orang yang memeganginya seorang perempuan. Beberapa kali ia mengajaknya berbicara, sayangnya tidak direspon olehnya.

Sepanjang jalan cuma dia yang terus berbicara, seperti orang bodoh, sementara mereka semua diam bagaikan patung berjalan. Kalau robot masih mending, jalan sambil berbunyi sesuai sistemnya.

Beberapa kali pula dia mengaduh sakit akibat kaki telanjangnya menginjak-injak ranting dan kerikil dengan naas. Ke mana sepatunya? Lenyap dalam rongga monster berwujud tanah basah.

Josie meringis sedih, tak sanggup baginya untuk melihat telapak kakinya nanti apabila dia masih berkesempatan hidup. Lututnya kian kerasa lemas sudah tak berdaya lagi, berharap diberi jatah untuk istirahat barangkali sejenak. Alih-alih istirahat, mereka terus memaksanya untuk jalan. Bahkan, menyeretnya kalau kedapatan berhenti barang sedetik.

Untuk sekarang, Josie hanya mengandalkan indra pendengarnya. Suara ombak laut masih dapat didengarkan, begitupun desisan angin yang menggoda, dan sesekali dia berngidik ngeri ketika medengar raungan hewan buas. Selama tiga hari hidup bersama mayat, sekalipun belum pernah dia mendengarkan jenis raungan hewan seperti barusan. Selain kicauan burung, mana pernah dia mendengarkan suara hewan lain. Oh, pernah sekali dan pada saat itu, Josie langsung memblok suara hewan buas dari pendengarannya.

Samora [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang